Chapter 25

612 41 4
                                    

Suara burung camar terdengar saling bersahutan terbang di atas tebing-tebing tinggi, desir ombak menyapu bibir pantai, lembut membasahi kaki-kaki orang yang tengah menikmati laut sore itu, angin laut berhembus lembut membelai wajah-wajah orang-orang di sana.

"Masih marah?"

"Diam!"

"Udahan dong marahnya, kita kan lagi liburan."

"Lo kan penumpang gelap."

Kaki pendek itu melangkah pergi menjauh dari pemuda tinggi yang sedari tadi terlihat mengikuti pemuda bertubuh lebih mungil darinya itu.

"Rencana lo apaan sih Barra? Gue yakin liburan ini cuman akal-akalan lo kan."

"Gue kemarin liat Al sama si bokap dan lo tau gimana pasti keadaannya, dari situ gue mikir alesan Al selama ini selalu bilang mau pindah agama, walau gue gak bisa nerima seutuhnya dengan keputusan Al itu, tapi -" Barra diam sejenak, matanya terus menatap ke arah Alviano yang menjauhi Mahendra sedari mereka sampai di penginapan itu satu jam yang lalu, "gue mau liat langsung gimana cinta yang Alviano kasih ke Bang Mahendra itu diterima baik atau gak sama Bang Mahendra, gue gak mau Alviano nyia-nyiain waktu, perasaan juga hidup dia untuk tujuan yang sia-sia."

Stella tertegun mendengar apa yang Barra katakan, sebab tak biasanya pemuda dengan sejuta tingkah ajaib itu bisa berpikiran dewasa seperti saat ini.

"Ini, lo beneran Barra?"

"Selama ini ada lo kenal Barra selain gue?"

"Gak, cuman kaget aja lo bisa sedewasa ini."

"Bacot ah." Barra berlalu pergi masuk ke dalam penginapan, meninggalkan Stella dengan tanda tanya besar tentang sahabatnya tersebut.

Penginapan bergaya khas Bali itu terlihat sangat indah dan nyaman, nuansa kayu memenuhi hampir seluruh penginapan tersebut, aroma terapi khas yang hadir dari lilin-lilin yang ditata rapi di sepanjang ruangan menambah kesan hangat serta nyaman.

Tok!

Tok!

"Al, ini gue Barra." Tak berapa lama pintu itu terbuka, menampilkan seorang pemuda dengan wajah masam dan kaos kebesaran serta celana pendek yang hampir hilang tertutup oleh kaos over size yang dikenakannya.

"Apa?" Ketus Alviano.

"Kita makan bareng mau? Gue pesenin makanan kesukaan lo nih."

"Ogah!"

Pintu itu ditutup kasar oleh Alviano, membuat Barra memutar bola matanya malas.

"Prahara rumah tangga satu ini." Barra beranjak pergi dari sana, menghampiri Mahendra yang berdiri di ujung lorong sana bersama Stella.

"Lo apain dah anak orang? Ampe ngambek gitu dia." Tanya Barra.

"Gue aja gak tau, keluar dari toilet tuh anak mukul gue terus pergi gitu aja."

"Bener itu aja? Atau lo ngintipin dia ya? " Tanya Barra lagi.

Mahendra mengangguk, "gue pas nungguin Al itu gue bantuin cewek iketin tali sepatunya, soalnya tangan dia banyak bawa barang gitu, gitu doang." Tutur Mahendra.

Barra dan Stella saling tatap dengan menghembuskan nafas pelan, mereka tak habis pikir dengan ketidak pekaan seorang Mahendra.

"Dahlah Bang, ntar juga ntu anak kalau laper keluar kamar kok, lo ikut gue aja nyari makan." Barra merangkul bahu Mahendra walau ia harus sedikit berjinjit lalu membawa pemuda bertubuh jangkung itu pergi.

"Gue gimana nih?" Tanya Stella pada dirinya sendiri, "ck! Ke kamar ajalah gue."

Hampir seharian Alviano mengurung dirinya di kamar, hingga mal tiba barulah pemuda itu keluar dari kamarnya dengan wajah lebih segar daripada siang tadi.

"Ck! Lapar banget gue." Kaki pendek itu melangkah menuju sisi lain penginapan, menyusuri lantai berbahan kayu nan mengkilat itu, menuju restoran yang terletak di belakang penginapan tepat berhadapan dengan laut lepas.

Rembulan malam itu begitu indah terlihat, terlebih pantulannya yang terlukis di laut malam itu begitu indah, obor-obor di pesisir pantai menghadirkan kesan hangat yang memanjakan mata, belum lagi tirai-tirai putih yang sengaja dipasang itu melambai-lambai seolah memanggil orang-orang untuk mendekat ke arahnya.

"Sepi banget." Ujar Alviano, duduk ia di atas pasir putih itu usai mengisi penuh perutnya, semilir angin laut meniup poninya yang hampir menutupi alisnya, manik bercahaya itu menatap lurus ke laut lepas sana.

"Ma, Pa. Al kangen." Lirih Alviano dengan tatapan sendu, mata sayu itu terlihat mulai berkaca-kaca serta bibir ranum itu pun mulai bergetar, tubuh mungil itu terlihat bergerak gelisah.

"Salah ya Al lahir di dunia? Salah Al apa? Gak pantas apa Al ngerasain cinta dari Mama juga Papa?"

Desir ombak kian terdengar mendominasi malam itu, burung malam berterbangan kembali ke sarang mereka, obor-obor di sana mulai padam, sepertinya minyak tanahnya sudah habis.

"Dek." Usapan lembut pada wajah teduh namun tersirat luka, jemari panjang itu membelai lembut wajah manis sembari membersihkan pasir yang terbawa angin dan naik ke wajah itu.

"Dek Al." Deep voice itu begitu lembut terdengar, lambat laun tubuh mungil yang tergelak di atas pasir itu bergerak gelisah.

"Bangun yuk, tidur di kamar ya." Ucap pemuda jangkung yang tak lain adalah Mahendra, dengan lembut ia mencoba membangunkan Alviano yang tertidur di atas pantai itu.

"Bang Mahen." Alviano perlahan bangun, namun seketika kepalanya terasa berat serta tubuhnya terasa berputar, membuatnya oleng dan beruntungnya Mahendra sigap menahan tubuh itu.

"Pusing ya?"

Alviano mengangguk lesu.

"Sini biar gue obatin." Tangan berurat itu menarik tubuh mungil itu ke atas pangkuannya, dipeluknya tubuh mungil itu erat serta ditenggelamkannya wajah bulat Alviano ke dadanya.

"Sekarang tutup mata lo terus dengerin suara jantung gue."

Alviano hanya mengangguk patuh, mata sayu itu kembali tertutup dan dengan nyamannya ia bersandar pada dada itu, walau ini bukan pertama kalinya mereka melakukan hal tersebut, namun kali ini Alviano benar-benar merasakan bahagia yang tak mampu ia ungkapkan, suara detak jantung pemuda yang menjadi raja di hatinya itu bagaikan obat yang membuat rasa pusing di kepalanya mulai menghilang.

Hening.

Suara desir ombak serta musik yang sayup-sayup terdengar itu menjadi teman mereka, sang raja malam serta hamparan bintang bak ikut bahagia melihat dua anak Adam yang saling merebah riuhnya rasa sesak di dada mereka, semua rasa yang seharian ini menganggu keduanya seolah hilang terbawa arus laut dan menenggelamkan rasa itu ke dasarnya.

"Jangan marah lagi ya, gue khawatir kalau lo diemin gue gitu, gue takut lo pergi lagi dari gue gitu aja, gue belum siap untuk pisah sama lo." Ucap Mahendra sembari mengecup pucuk kepala Alviano lembut.

"Maaf." Sahut Alviano pelan.

Mahendra tersenyum, ia merasa lega bisa memeluk pemuda mungilnya itu seperti biasanya.

"Jangan gini lagi ya, gue takut lo pergi."

Alviano hanya mengangguk.

"Gue sayang lo Dek."

Angin kembali berhembus kencang meniup pepohonan di pesisir pantai sana.

"Tidur dia." Mahendra tersenyum melihat wajah damai Alviano.

Cup!

"Sehat terus ya kesayangan gue." Ucapnya usai mencium pipi Alviano.

* * * * *

Eh eh eh

Gue mau juga dicium bang Mahendra,😊

365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang