Chapter 5

817 57 3
                                    

Puluhan burung merpati terlihat beterbangan ke sana serta kemari, singgap di satu pohon ke pohon yang lainnya, merdu suaranya bak tengah menghibur seseorang yang terlihat tengah bersedih, duduk ia di atss rerumputan hijau, bertemankan sebatang rokok di tangannya, kebulan asap perlahan keluar masuk dari bibir ranum itu, terbang terbawa angin yang berhembus.

"Bangsat." Umpatnya sembari menghembuskan asap putih dari mulutnya.

Air mata keluar dari mata sayu tersebut, jatuh perlahan membasahi pipi sedikit berisi itu, menganak sungai dari mata dengan kantung bewarna sedikit kehitaman itu.

Tap!

Sebuah tepukan pelan pada pundaknya membuyarkan lamunan pemuda tersebut, kepala itu bergerak ke samping, menatap ke pada si pemilik tangan berurat yang menepuk pundaknya tersebut.

Pemuda itu menyipitkan matanya, sebab silau cahaya mentari mengenai retinanya.

"Sini." Tangan besar itu menjumput batang rokok, "mau mati muda ya?"

Pemuda tadi masih diam di tempat dengan wajah seribu tanya, menatap pemuda bertubuh lebih besar darinya itu yang kini ikut duduk di samping dirinya dengan tersenyum ramah kepadanya.

"Nih." Segelas minuman kopi disodorkannya untuk pemuda tadi.

"Bang kedai kopi?" Ujar pemuda tadi bingung, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.

"Nama gue Mahendra, nih kopi buat lo Al."

"Ta-tapi ... ."

"Lama." Tanpa permisi mahendra meraih tangan mungil Alviano dan menaruh segelas ice coffee itu di tangan Alviano.

"Ma-makasih, bang."

Mahendra hanya tersenyum lalu menyeruput kopi miliknya, ia tadi membawa dua buah gelas kopi di tangannya. Mata setajam elang itu menatap ke arah depan sana, pada sebuah danau buatan yang di mana terlihat burung-burung bermain di atas serta di bibir danau tersebut.

Sepasang Onix menatap pada ciptaan Tuhan yang kini duduk dengan wajah teduh serta aura hangat yang terasa menyeruak dari dirinya, suara berat itu bak obat bagi pemuda mungil yang kini diam menikmati pahatan tangan Tuhan yang begitu indah hadir pada seorang Mahendra.

"Al ... Dek Al."

"Eh? I-iya Mas ada apa?" Alviano menjadi gagap seketika, sebab ia ketangkap tengah melamun sambil menatap Mahendra.

"Lo kenapa?"

Alviano menggeleng pelan, namun ia tak mampu menyembunyikan rona merah di wajahnya saat ini.

"Muka lo kok kek udang gini? Merah." Tanpa permisi tangan besar itu mengusap wajah Alviano, manik tajam menatap wajah yang kian merah itu dengan seksama, dengan jemarinya bergerak pelan di kening hingga pipi besiri Alviano.

Hening.

Hanya ada suara angin yang terdengar meniup pepihonan, onix sekelam malam itu kian terpana oleh ciptaan Tuhan di hadapannya kini, wajah mereka begitu dekat hingga aroma kasturi yang menyeruak dari seorang Mahendra tercium jelas.

"Loh? Kok makin merah, lo mabok ya?" Spontan Mahendra mendorong tubuh Alviano sehingga pemuda mungil itu terkejut bukan main.

"Gak ya sat! Gue bukan anak pemabuk asal lo tau." Alviano bingung harus bereaksi bagaimana, sebab jujur saja jika saat ini hatinya begitu senang, namun ia tak ingin perasaan yang tumbuh untuk pemuda di hadapannya kini diketahui.

Mahendra. Nama yang sederhana, namun mampu membuat seorang Alviano jatuh cinta pada pandangan pertama oleh barista di salah satu kedai kopi tersebut. Entah apa yang membuat seorang Alviano jatuh cinta seketika pada Mahendra, pemuda pemilik deep voice dan mata elang yang mampu menjadi raja dalam sekali pandang di hati Alviano.

"Gue mau balik, jangan mabok lagi lo, Tuhan gak suka ama hambanya yang suka minum minuman keras." Mahendra bangkit dengan membersihkan celananya dari debu.

"Makasih bang." Ujar Alviano, ia tak tahu harus mengatakan apa pada Mahendra.

"Iya, gue balik. Assalamualaikum." Mahendra pun pergi dari sana dengan setengah lari, sedangkan Alviano hanya mampu mengangguk dengan menatap kepergian Mahendra dari taman tersebut.

"Ya... Beda server." Ujar Alviano, namun seutas senyum terlukis indah di wajah manisnya, ia pun merubah posisinya menjadi berbaring di atas rerumputan, menatap langit dengan gumpalan awak putih di sana.

"Gak papa, akan aku dapatkan lo bang, walau dengan cara yang ugal-ugalan."

* * * * *

Krek!

"Masih ingat rumah?"

Baru selangkah kaki pendek itu masuk ke dalam sebuah rumah, dirinya sudah disambut oleh seorang pria paruh baya yang berdiri dengan sebuah koper besar di tangannya.

"Maaf... Pa." Ujar pemuda itu dengan wajah tertunduk serta menahan air matanya yang sedari halaman runah tadi hampir tumpah.

Brak!

Koper besar itu dilempar oleh pria yang tak lain adalah ayah dari Alviano, pria tua berkaca mata tersebut menatap sang putra semata wayangnya itu dengan tatapan tak suka.

"Pergi sana, pergi bersama mama mu, aku tidak ingin anak haram sepertimu tinggal di rumah ini." Tanpa ada rasa kasihan sedikitpun ia mengusir Alviano, bahkan darah dagingnya sendiripun ia sebut anak haram, sebenci itukah ayahnya kepada Alviano?

"Pergi kau iblis!"

Bak sembilu yang menikam hati, air mata yang berusaha Alviano tahan sedari tadi tumpah jua akhirnya, pemuda mungil itu memungut koper yang dilempar oleh Ayahnya lalu pergi dari rumah tersebut dengan deraian air mata yang telah menganak sungai di pipinya, langkah kakinya lemah, serasa dunia bagaikan meluluhlantakkan dirinya.

Awan kelabu mulai memenuhi langit sore itu, namun kelabunya langit tak sekelabu perasaan seorang pemuda yang terduduk di halte bus dengan sebuah koper besar di sampingnya, wajahnya tertunduk lemah, pandangannya jatuh ke tanah, bersamaan dengan derai air mata yang senantiasa masih jua jatuh dari mata sayu tersebut.

"Al~" suara familyar itu menarik perhatian Alviano, kepalanya terangkat dan mendapati seorang pria bertubuh jangkung berdiri di hadapannya dengan sebuah payung di tangannya.

OoO

Maaciw

365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang