Suara genericik air terdengar dari balik sebuah pintu kayu, di depan pintu itu terlihat seorang pemuda bertubuh jangkung berdiri dengan wajah bingung.
"Dek! Lo kenapa dah?" Panggilnya sembari mengetuk pintu kayu tersebut.
Keningnya mengkerut bingung karena di dalam sana tidak ada sahutan apapun, hanya ada suara genericik air terdengar.
"Kenapa dah? Padahal gue gak kenapa-napa." Ujarnya sembari mengusap bagian lehernya yang terlihat kemerahan itu.
Flashback
"Aw! Sakit!" Teriak Mahendra saat tiba-tiba Alviano tiba-tiba mengigit lehernya begitu saja.
"Eh? Maaf bang!" Panik Alviano lalu bergegas bangkit dari tubuh Mahendra dan segera berlari menuju kamar mandi, meninggalkan Mahendra yang kebingungan.
Kaki mungil itu dengan gesit masuk lantas mengunci pintu kayu tersebut, tubuhnya gemetar serta jantungnya yang berdetak begitu cepat, bagaikan kilat semua yang terjadi tadi, wajah pemuda bertubuh mungil itu memerah hingga ke telinga, dinyalakan nya keran di wastafel itu sambil memasuki wajahnya.
"Mimpi sialan!" Umpatnya lalu mengulum bibirnya, tangan nya terangkat menyentuh bibir ranumnya itu pelan, menatap pantulan dirinya di cermin bersih itu.
"Tapi, nyata banget rasanya." Ujarnya dengan senyum yang mengembang di wajah manisnya, manik setelam malam itu bak menyelam kembali ke mimpi indah yang begitu ia inginkan menjadi nyata, hanyut ia dalam rasa dan asa nya terhadap pemuda tinggi yang sedari tadi mengetuk pintu kamar mandi itu.
Flashback end.
Krek!
"Kenapa celingukan gitu?" Deep voice itu seketika menyapa pemuda mungil yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan tersenyum kikuk.
Alviano tidak menjawab, ia lebih memilih diam lalu berjalan menunduk ke arah Mahendra yang tengah duduk di sebuah kursi dengan menatap ke arahnya seolah meng intimidasi.
"Maaf." Ujar Alviano pelanpelan dengan menunduk takut.
Mahendra diam menatap pemuda lebih pendek dari dirinya itu dari kaki hingga kepala, sungguh saat ini Alviano bagaikan seorang anak yang tertangkap basah karena mencuri.
"Lo harus dihukum." Ujar Mahendra dengan nada yang kini terdengar dingin.
Alviano hanya mengangguk, sungguh ia takut setengah mati karena aura dari pemuda di hadapannya kini sungguh berbeda.
"Mulai besok lo harus cuci baju." Ujar Mahendra.
Alviano mengangguk.
"Masak."
"Beresin rumah."
"Bersihin kamar gue."
"Belanja ke pasar."
Mahendra menekankan setiap perkataannya, membuat Alviano ingin menghilang saat itu juga, ia hanya mampu mengangguk tanpa menyahut semua perintah Mahendra tadi, sungguh aura dari seorang Mahendra sungguh menakutkan saat ini.
"Tapi boong." Ujar Mahendra dengan diikuti gelak tawanya.
"Hah?" Ekspresi bingung seketika hadir di wajah Alviano yang membuat gelak tawa dari Mahendra kian menjadi, pemuda jangkung itu bahkan memegangi perutnya saat ini dengan terus tertawa gelak.
Alviano memilih diam lalu naik ke tempat tidur, membiarkan Mahendra hingga ia lelah tertawa lalu mengikuti dirinya naik ke tempat tidur dan merebahkan dirinya di samping tubuh mungilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Hari
RomanceIzinkan aku egois sekali saja, sebab belum puas aku mencintaimu dan memilikimu seutuhnya.