Chapter 12

427 37 4
                                    

Krek!

"Terima kasih Umi."

"Pelan-pelan nak."

"Baik Umi."

Dengan perlahan tubuh mungil seorang pemuda direbahkan di atas tempat tidur, pemuda yang tadi menggendongnya itu pun dengan lembut membenarkan posisi tidurnya, tak lupa ia selimuti tubuh mungil itu dengan selimut tebal di sana.

"Umi boleh kan Al tinggal lebih lama?"

"Tentu saja, kenapa tidak Nak? Kita dianjurkan untuk saling membantu bukan."

"Terima kasih Umi."

Malam itu Alviano tertidur dengan pulasnya, walau beberapa kali ia mengigau memanggil kedua orang tuanya serta menangis dalam tidurnya, itu semua tak lepas dari mata elang milik pemuda yang kini tengah duduk di sebuah kain yang ia bentang seukuran tubuhnya, cukup lama ia menatap Alviano yang berulang kali mengigau sampai akhirnya ia bangkit dari duduknya, melipat kain yang ia duduki tadi lalu menyimpannya, tak lupa ia melepaskan kain bewarna putih yang menutupi seluruh rambutnya, menyimpannya bersama kain tadi.

"Al~" panggilnya dengan mengusap kening yang nampak berkeringat itu, "sampai panas gini."

Duduk ia tepat di bibir tempat tidur, disamping tubuh mungil berbalut selimut tebal itu, tangan dengan urat yang terlihat itu mengusap lembut wajah manis yang sedikit kemerahan itu.

"Apa sih yang terjadi ama lo sebenernya Dek? Gue khawatir liat lo gini." Monolognya dengan terus mengusap wajah yang menjadi favoritnya saat ini.

"Bang Hendra." Igau Alviano.

"Iya Dek?" Sahut Mahendra yang hampir terlelap duduk dengan bersandar pada Headboard.

"Bang~" igau Alviano lagi dan kini ia kembali gelisah, kakinya bergerak tak karuan serta raut wajahnya terlihat gelisah kembali. Melihat itu membuat Mahendra merubah posisinya, ia pun berbaring tepat di samping Alviano lalu memeluk pria bertubuh lebih mungil itu ke pelukannya, dipeluknya cukup erat guna menahan pergerakan Alviano, tak lupa ia mengusap punggung serta membesikkan kata-kata berbahasakan Arab secara lembut tepat di telinga kanan Alviano. Cukup lama Mahendra melakukan itu hingga Alviano tertidur dan dirinya ikut terlelap dengan posisi memeluk Alviano.

Entah apa rahasia dan rencana Tuhan untuk dua anak Adam ini, dipertemukan berulang kali oleh keadaan yang kurang baik, berulang kali rindu hadir namun tak ada yang mampu mengutarakannya, entah Alviano yang hanya cinta sesaat kepada sosok Mahendra, atau Mahendra yang merasakan cinta yang tak pernah ia duga sebelumnya.

~ ~ ~ ~ ~

Aroma wangi khas sup tercium menyeruak dari area dapur sebuah rumah, terlihat seorang pemuda tinggi tengah berkutat dengan alat dapur dan perbumbuan serta sayur mayur di sana, dengan telaten ia memasak masakan yang hampir masak itu.

"Bang Mahendra~" suara serak seseorang mengalihkan atensi pemuda tadi, berbalik dan terlihat seorang pemuda dengan wajah pucat berdiri lesu di ambang pintu dapur.

"Loh Dek, kenapa keluar kamar?" Mahendra bergegas menghampiri Alviano dan menuntunnya duduk di kursi makan, tak lupa ia menuangkan segelas air untuk pemuda bertubuh lebih mungil dari dirinya itu.

"Tunggu sebentar ya, sebentar lagi sup nya masak." Dengan lembut Mahendra mengusap surai hitam Alviano lalu kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.

Alviano merasa teramat bahagia saat ini, terlahir sebagai anak tunggal membuatnya tak pernah merasakan kasih serta sayang dari seorang saudara, terlebih lagi kasih sayang dan perhatian yang kini ia dapati dari orang yang baru ia kenal, semua yang saat ini ia rasakan adalah sebuah rasa yang selama ini ia pertanyakan. Tentang cinta, kasih sayang, keluarga serta rasa nyaman yang hadir dari orang terdekat, berbisik ia dalam hati, berharap seandainya saja rasa itu hadir dari keluarganya tanpa harus mengingat masa lalu, namun itu semua hanyalah sebatas hayalan Alviano saja, sebab kenyataan saja ia tak tahu kemana ibu nya pergi, bahkan ayahnya menolak kehadirannya.

Orang tua adalah dunia ternyaman bagi seorang anak, namun itu tak bagi Alviano, walau ia tercukupi dalam materi, namun ia tak sedikitpun pernah merasakan menangis memeluk kedua orang tuanya, bercerita layaknya anak lainnya bahkan makan bersama pun mereka tak pernah lakukan, semua kebersamaan hanyalah karena harta dan tanggung jawab yang sebenarnya tak pernah dilaksanakan. Alviano tumbuh seorang diri dengan melihat serta meniru apa yang ada di sekitarnya, jika orang tua adalah sekolah pertama bagi seorang anak, namun bagi Alviano orang tua nya adalah neraka dunia bagi dirinya. Tak jarang Alviano muda mendapatkan perilaku kasar oleh sang Ayah tepat di hadapan Ibunya, namun wanita yang melahirkannya entah tak melihat atau lebih tepatnya tak perduli dengan Alviano, yang ia lakukan hanya diam atau pergi begitu saja, meninggalkan Alviano yang menangis dengan matanya yang penuh harap akan pertolongan dari sang ibu.

"Ini obatnya, setelah ini istirahat ya."

Alviano menggeleng pelan, kepalanya terasa pusing dan sedikit mual ia rasakan.

"Sebantar." Mahendra beranjak dari tempat duduknya, membawa mangkuk serta perabotan lainnya guna dicuci, tak butuh waktu lama ia kembali menghampiri Alviano dan tanpa aba-aba dirinya menarik Alviano ke pelukannya lalu menggendong Alviano ala koala dan berjalan keluar area dapur. Alviano tidak protes, ia terlalu lemas untuk berdebat dengan Mahendra saat ini.

"Bang~" bisik Alviano.

"Iya Dek?"

"Makasih ya." Ujar Alviano lalu menenggelamkan wajahnya ke curug leher Mahendra, semburan merah muncil di wajah Alviano hingga ke telinganya. Mahendra tersenyum, ekor matanya melihat betapa merahnya telinga pemuda mungil yang tengah ia gendong kini.

Seperti hari-hari sebelumnya, bagaikan seorang saudara atau bisa dikatakan kekasih, perlakuan seorang Mahendra kepada Alviano begitu lembut dan membuat jantung kecil milik Alviano tak aman.

"Andai aja waktu itu gue gak ngeliat lo, mungkin lo udah dibawa pergi sama orang brengsek itu." Ujar Mahendra sembari memperbaiki poni Alviano yang kini sudah terlelap di atas tempat tidur.

"Dek, entah apa rencana Tuhan atas takdir lo nanti, yang pasti gue akan jadi orang pertama yang akan ada di samping lo, gue janji bakal nemenin lo sampai dimana cuman Tuhan yang bisa misahin gue dari lo. " Tangan besar itu turun mengusap pipi lembut nan berisi itu, rasa hangat masih ketara terasa pada wajah manis tersebut.

* * * * *

Putra iri Putra bilang 🥺

365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang