The Penthouse

0 0 0
                                    

Setengah jam dan setangkup roti lapis ayam panggang kemudian, Taehyung mengurai diri ke teras penthouse pribadinya di tengah kota. Malam itu menyebalkan, dingin seperti bulan Maret dan basah seperti bulan April, angin yang tidak mengenakkan bertiup kesana kemari seperti pemabuk yang sikapnya menjijikkan.

Taehyung berdiri di hadapan panorama jembatan Caldwell. Pemandangan kerlap kerlip kota yang seperti dalam kartu pos itu membosankan baginya. Begitu pula prospeknya untuk kesenangan dan permainan pada malam itu. Taehyung merasa mirip dengan pecandu kokain lama. Pada awalnya, teler yang ia alami terasa intens, tetapi lama-lama Taehyung melayani ketergantungannya tanpa antusiasme. la hanya merasa butuh, tidak lagi merasa santai.

Taehyung meletakkan tangannya di pembatas teras, dan mencondongkan tubuh sampai mukanya tersemprot udara sedingin es,  rambutnya tegak ke belakang seperti model siap difoto. Atau mungkin dia seperti pahlawan tahun jadul seperti di gambar-gambar buku komik. Atau malah lebih cocok jadi tokoh penjahatnya.

Taehyung menyadari tangannya meremas-remas batu datar yang ia pegang , membelai-belainya. Pembatas itu tinggi nya satu setengah meter dan mengelilingi bangunan seperti tepian baki. Di puncaknya ada bidang datar selebar satu meter yang seolah memohon untuk dijadikan landasan untuk melompat, dengan udara tipis di ketinggian seratus meter di sisi seberangnya sebagai musik sepoi-sepoi yang sempurna untuk pengantar menuju percintaan keras dengan kematian. Nah, pemandangan seperti inilah yang menarik bagi Taehyung.

Dari pengalaman, Taehyung tahu betapa manisnya terjun bebas itu. Bagaimana angin yang kuat menerpa dada sehingga sulit untuk bernapas. Bagaimana mata berair dan air mata mengalir naik ke pelipis, bukan menetes di pipi. Bagaimana tanah tergesa menyambut, seperti tuan rumah yang siap menjamu di pesta. Taehyung tak yakin apakah ia membuat keputusan tepat dengan menyelamatkan diri ketika melompat saat itu. Walaupun demikian, pada saat-saat terakhir, ia mengurai diri kembali ke teras. Kembali ke pikiran akan Jimin.

Jimin keparat. Selalu kembali lagi ke anak sialan itu.

Taehyung berpaling dari dorongan untuk sekali lagi mencoba terjun. Ia membuka kunci salah satu pintu geser dengan menggunakan pikirannya. Ketiga dinding kaca penthouse itu antipeluru, tetapi bisa ditembus cahaya matahari. Bahkan, kalaupun bahannya tidak tembus cahaya, bukan berarti Taehyung akan tetap berada di situ pada siang hari. Ini bukan rumah tinggal.

Ketika melangkah ke dalam,  tempat itu dan apa yang Taehyung lakukan di situ terasa menekan, seolah gaya gravitasi di ruangan itu berbeda. Dinding, langit-langit, dan lantai marmer ruangan yang besar dan lega itu berwarna merah kombinasi hitam. Begitu pula dengan ratusan lilin yang bisa Taehyung nyalakan dengan pikiran.

Satu-satunya benda yang tergolong perabotan adalah tempat tidur berukuran besar yang tak pernah digunakan. Sisanya perlengkapan meja yang dilengkapi pengikat, rantai yang menempel di dinding, berbagai macam topeng, bola penyumpal, pecut, tongkat, dan rantai-rantai lainnya. Laci yang penuh dengan penjepit, mainan-mainan berbahan karet, kaca, dan peralatan baja tahan karat. Semuanya untuk para perempuan itu.

Taehyung melepas jaket kulit dan melemparkannya ke tempat tidur, kemudian melepas kemeja. Ia selalu mengenakan celana kulit selama kegiatan itu. Para sub tak pernah melihatnya polos. Tak seorang pun kecuali para brother saat upacara di Womb. Dan itu hanya karena ritual tersebut mengharuskan Taehyung tanpa sehelai benang. Lagi pun, penampilannya di bawah sana bukan urusan keparat siapa pun.

Lilin menyala atas perintah Taehyung, kilaunya yang cair memantul di lantai yang mengilat sebelum diisap kubah langit-langit yang hitam. Tak ada romantisme di udara. Ruangan ini hanyalah tempat perbuatan tanda kutip dilakukan kepada yang bersedia. Dan pencahayaan hanya berfungsi untuk memastikan penempatan yang tepat; kulit, logam, tangan, dan taring.

THE DESTINYWhere stories live. Discover now