Stockholm Syndrome

1 0 0
                                    

"Aku bersumpah akan mengembalikan hidupmu. Aku berjanji akan melepaskanmu tanpa luka sedikitpun." Tae mengatakan sumpah dan janjinya tanpa ragu. Bahkan ketika mengucapkannya, dia tidak menarik napas. "Demi kehormatanku dan darah dalam pembuluhku, kau akan bebas segera setelah aku sembuh." Lanjut Tae.

Hal itu membuat Chrysant kesal karena sekali lagi Chrysant terkejut sendiri bahwa dalam hatinya dia yakin dia bisa mempercayai Tae dan kawan-kawannya. Akhirnya Chrysant mengeluarkan tangan dari saku, membungkuk, dan mengambil sebungkus Demerol dari tas yang lebih besar. "Suntikannya tidak ada."

"Aku punya." Jimin mendekatinya dan memberikan suntikan dalam kemasan steril.

Ketika Chrysant mencoba mengambilnya, Jimin tetap memegangnya. "Aku tahu kau akan menggunakannya dengan bijaksana."

"Bijaksana?" Chrysant menyentakkan suntikan itu dari tangan Jimin. "Tidak, aku akan menusuk matanya dengan ini. Karena itulah yang diajarkan di sekolah kedokteran."

Chrysant membungkuk lagi, mengaduk isi tas, dan menemukan sepasang sarung tangan lateks, kemasan kain kecil beralkohol, serta kasa untuk mengganti perban di dada. Walaupun telah memberikan antibiotik melalui infus sebelum pembedahan sehingga risiko infeksi kecil, Chrysant tetap bertanya, "Bisakah kau mendapatkan antibiotik?"

"Apa pun yang kauperlukan."

Ya, tak diragukan lagi mereka memiliki hubungan dengan rumah sakit.

"Aku mungkin memerlukan Ciprofloxacin atau Amoxicilin. Tergantung apa yang terjadi di bawah perban bekas operasi itu." Chrysant meletakkan jarum dan botol obat serta perlengkapan lainnya di nakas, mengenakan sarung tangan, dan merobek bungkus kain beralkohol.

"Tunggu sebentar, Dok," Jimin berkata.

"Kenapa?"

Kedua mata Jimin menatap Chrysant tajam seperti bidikan pistol. "Dengan segala hormat, aku harus menekankan jika kau melukainya dengan sengaja, aku akan membunuhmu dengan tangan kosong meskipun kau wanita."

Ketika tembakan rasa takut membuat tulang punggung Chrysant terasa kaku, suara geraman mengisi ruangan. Seperti geraman yang dikeluarkan anjing mastiff sebelum menyerang. Chrysant dan Jimin sama-sama memandang terkejut kepada Tae si pasien. Bibir atasnya tertarik ke belakang dan giginya yang tajam tampak membesar dua kali lipat.

"Tak seorang pun menyentuhnya. Tak peduli apa yang dia lakukan dan terhadap siapa."

Jimin mengerutkan kening seolah menganggap sahabatnya sudah tidak waras. "Kau tahu kesepakatan kita . Aku menjagamu tetap aman sampai kau bisa melakukannya sendiri. Kau tidak suka itu? Cepatlah sembuh baru kau bisa mengkhawatirkan wanita ini."

"Tak seorang pun." Tae mengulang kata-katanya dengan sangat tegas.

Sejenak ada keheningan, kemudian Jimin memandang bolak-balik antara Chrysant dan Tae seolah sedang mengalibrasi ulang rumus fisika dan tidak berhasil menghitung dengan benar.

Chrysant angkat bicara, merasa perlu menenangkan keduanya walaupun ia sendiri masih mendidih. "Oke oke mari hentikan lagak sok macho ini ya."

Kedua pria itu memandangnya dengan terkejut dan bahkan semakin bingung melihat Chrysant menyikut Jimin untuk minggir memberinya jalan. "Kalau kau mau ada di sini, hentikan sikap agresifmu. Itu tidak membantu." Chrysant melemparkan pandangan kepada Tae. "Dan kau... Kau santai saja, okay?"

Setelah diam seperti ikan mati selama beberapa saat, Jimin berdehem dan Tae memasang sarung tangannya kemudian memejamkan mata.

"Terima kasih," gumam Chrysant. "Sekarang, apakah kalian keberatan jika aku melakukan tugasku agar bisa keluar dari sini?"

THE DESTINYWhere stories live. Discover now