Di seberang kota, Jungkook bangkit dari tubuh seorang shooter seputih hantu yang sudah tidak bergerak. Dengan belati hitam, ia membuat irisan lebar di leher makhluk itu dan darah hitam mengilap mengalir ke aspal yang dilapisi lumpur salju. Instingnya mengatakan agar ia menikam saja jantung makhluk itu dan membuatnya menjadi debu kembali ke Omega, tapi itu cara lama. Cara baru lebih baik meskipun berakibat buruk bagi Jimin.
"Yang ini siap untukmu," kata Jungkook lalu pemuda itu melangkah mundur.
Jimin maju dengan sepatu botnya berhias rantai bergemerencing menginjak genangan es. Wajahnya suram, taringnya memanjang, aroma tubuhnya kini membawa bau bedak bayi yang manis seperti musuh mereka. Jimin sudah selesai dengan pembantai yang menjadi lawannya berkelahi, melakukan kegiatan khususnya, dan kini ia akan melakukannya lagi. Jimin tampak bersemangat sekaligus kesakitan ketika berlutut, meletakkan tangannya di kedua sisi wajah si shooter yang pucat pasi, dan membungkuk. Jimin membuka mulut, memposisikan diri di atas bibir si musuh, dan mulai menghirup dengan panjang dan lambat.
Mata si shooter menyala ketika kabut hitam keluar dari tubuhnya dan terisap ke dalam paru-paru Jimin. Tidak ada istirahat dalam isapannya, tidak ada jeda dalam tarikannya, hanya aliran kejahatan mengalir dengan lancar dari satu perantara ke perantara berikutnya. Pada akhirnya, musuh mereka berakhir menjadi abu, tubuhnya hancur, kemudian kepingannya berubah menjadi debu halus yang terbawa angin dingin.
Jimin lemas terduduk, kemudian benar-benar menjatuhkan diri, tergeletak menyamping di jalan gang yang berlumpur salju. Jungkook mendekat dan mengulurkan tangan.
"Jangan sentuh aku." Suara Jimin terdengar nyaris bagai bisikan. "Aku akan membuatmu sakit."
"Biarkan aku--"
"Tidak!" Jimin mendorong dirinya dari tanah dan memaksa dirinya bangkit. "Beri aku waktu sejenak."
Jungkook berdiri di hadapan Jimin, menjaganya dan mengawasi gang. Siapa tahu ada lagi keparat shooter yang datang
"Kau mau pulang? Aku akan mencari Taehyung."
"Sial, tidak." Mata hijau Jimin memandang ke atas. "Dia milikku. Aku akan menemukannya."
"Kau yakin?"
Jimin bangkit dan meski tubuhnya goyah seperti bendera tertera angin, ia tidak tampak ingin berhenti. "Ayo kita pergi."
Ketika Jungkook menyejajarkan langkah dengannya dan keduanya berjalan menyusuri Trade Street, Jungkook tidak menyukai ekspresi di wajah Jimin karena ia memiliki ekspresi lemas seperti seseorang yang sudah tidak bertenaga, tetapi tampaknya ia tak akan berhenti sebelum terjatuh.
Ketika keduanya menjelajahi gang-gang sempit di tengah kota Caldwell dan tidak menemukan apa-apa, yang membuat Jimin semakin parah. Mereka berada tepat di pinggiran kota, jauh dari tengah kota di Avenue Merah.
Ketika Jungkook berhenti dan berkata, "kita harus kembali. Aku rasa dia tak pergi sejauh ini." Jimin juga berhenti lalu memandang berkeliling.
Dengan suara bosan Jimin berkata, "Hei, lihat. Ini bangunan apartemen lama Rose."
"Kita harus berbalik."
Jimin menggeleng dan menggosok dada. "Kita harus terus mencarinya."
"Aku tidak bilang kita berhenti mencari. Tapi kenapa Taehyung pergi sejauh ini? Kita di dekat daerah perumahan. Terlalu banyak saksi mata untuk pertarungan, jadi dia tak mungkin datang ke sini untuk berburu."
"Kook, bagaimana kalau dia diculik? Kita belum melihat shooter lain malam ini. Bagaimana kalau ada kejadian besar, misalnya dia diringkus?"
"Kalau Tae sadar, itu hampir tak mungkin terjadi. Apalagi dengan kemampuan tangannya itu. Tae punya senjata yang mematikan, bahkan jika belatinya dilucuti."
YOU ARE READING
THE DESTINY
Fanfiction"Siapa nama laki-laki yang akan kunikahi?" Dia tidak berharap papan itu akan bergerak dan benda itu memang tetap diam. Sampai setelah beberapa kali pun benda itu tetap bergeming. Chrysant frustasi. Lalu tiba-tiba Halley mengangkat dan memantul-mant...