Taehyung tahu mimpi itu datang kepadanya karena ia bahagia di dalamnya. Mimpi buruk itu selalu dimulai dengan dirinya dalam keadaan tenteram. Taehyung, pada awalnya, bahagia seutuhnya, lengkap, bagaikan permainan kubus rubik yang sudah diselesaikan. Kemudian ada tembakan pistol. Noda merah cerah merembes di kemejanya. Teriakan mengiris udara yang terasa padat. Rasa nyeri menohoknya seolah Taehyung dicabik serpihan bom, seolah disiram bensin kemudian disulut, seolah kulitnya dikoyakkan dari tubuhnya. Ya Tuhan, Taehyung sekarat. Tak ada yang selamat melewati kesakitan luar biasa seperti ini. Taehyung terjatuh berlutut dan laki-laki itu sontak tegak di tempat tidur seperti baru saja mendapat tendangan sepatu bot di kepala.
Dalam sangkar penthouse yang berdinding merah dan kaca diberi pelapis hitam, suara napasnya seperti gergaji logam yang sedang menggergaji kayu yang keras. Sial, jantungnya berdegup begitu kencang sampai Taehyung merasa harus mengangkat tangan agar jantungnya tidak copot. la perlu minum sekarang. Dengan langkah gontai Taehyung berjalan menuju bar, mengambil gelas bersih, dan menuangkan sekitar sepuluh senti Grey Goose. Gelas tinggi itu hampir menyentuh bibirnya ketika menyadari dirinya tidak sendirian. Taehyung mengeluarkan sebilah belati hitam dari sarung yang melekat di ikat pinggangnya dan berbalik . "Hanya aku, Pejuang."
Sang Suci berdiri di hadapannya terselubung jubah hitam dari kepala sampai kaki, wajahnya tertutupi, sosoknya yang kecil mendominasi penthouse. Dari tepi bawah jubahnya terpendar sinar ke lantai saat ini. Yep, pualam, terang seperti matahari di siang bolong. Oh, inilah penonton yang ia inginkan. Taehyung membungkuk dan menunggu. Mencoba berpikir bagaimana ia bisa tetap minum dalam posisi itu. " Saya merasa terhormat."
"Betapa bohongnya," Sang Suci berkata datar. "Tegakkan tubuhmu, Pejuang. Aku ingin melihat wajahmu."
Taehyung berusaha sebaik mungkin menampilkan mimik muka ramah dengan harapan bisa menyamarkan perasaan matilah aku. Keparat. Bang PD pernah mengancam untuk menyerahkannya kepada Sang Suci jika Taehyung tidak bisa mengendalikan diri. Sepertinya keputusan telah dijatuhkan. Sambil menegakkan tubuh, ia berpikir menyeruput vodka akan dianggap sebagai penghinaan.
"Ya, benar," Sang Suci berkata. "Tetapi lakukan apa yang harus kau lakukan ."
Taehyung menelan vodkanya seperti minum air dan menaruh gelasnya di bar kecil. Ia masih ingin lagi, tetapi mudah mudahan Sang Suci tak akan tinggal lama-lama.
"Tujuanku datang ke sini tidak ada hubungannya dengan rajamu." Sang Suci melayang mendekat, berhenti ketika jarak di antara mereka hanya kurang dari setengah meter jauhnya. Taehyung melawan keinginan untuk mundur, terutama ketika Sang Suci mengulurkan tangannya yang bersinar dan mengusap pipi Taehyung. Tenaganya seperti sambaran petir: mematikan dan tidak meleset . Siapapun tidak mau menjadi sasarannya .
"Sudah waktunya." kata Sang Suci.
Waktu untuk apa?
Tetapi Taehyung tetap bungkam. Siapapun tak mengajukan pertanyaan mengenai Sang Suci. Tidak, kecuali ada yang mau menambahkan dalam CV tentang pengalaman menjadi pengkilat lantai."Hari ulang tahunmu sudah dekat." katanya.
Dan memang benar Taehyung akan berusia lima ratus lima tahun sebentar lagi. Tapi ia tak habis pikir mengapa itu membuatnya berhak mendapat kunjungan pribadi dari Sang Suci. Jika Sang Suci ingin meramaikan ulang tahunnya, sesuatu yang bisa dikirim lewat pos juga cukup. Lebih praktis lagi dia bisa mengirim kartu elektronik dan selesai sudah.
"Dan aku punya hadiah untukmu."
"Saya tersanjung." Dan bingung, batin Taehyung.
"Perempuanmu, pasanganmu, takdirmu, sudah siap." Seluruh tubuh Taehyung tersentak seolah ada yang menyodok bokongnya dengan pisau lipat .
YOU ARE READING
THE DESTINY
Fanfiction"Siapa nama laki-laki yang akan kunikahi?" Dia tidak berharap papan itu akan bergerak dan benda itu memang tetap diam. Sampai setelah beberapa kali pun benda itu tetap bergeming. Chrysant frustasi. Lalu tiba-tiba Halley mengangkat dan memantul-mant...