'Selamat ulang tahun Ayah. Reina selalu doain yang terbaik buat Ayah. Ayah selalu bilang kalau tidak ada kado yang tidak spesial. Semua yang diberikan untuk orang tersayang pasti memiliki sebuah arti. Begitu juga sapu tangan yang Reina kasih untuk Ayah. Maaf Ayah, jika Reina akan sering buat Ayah menangis. Ayah bisa pakai sapu tangan ini kapanpun, karena aku tahu Ayah ataupun Bunda pasti enggak akan pernah mau kalau harus nangis di hadapan Reina secara langsung.
Apapun Doa Ayah, Reina aminkan agar Tuhan mengabulkannya. Dan terimakasih karena Ayah sudah menjadi Ayah terbaik untuk Kak Arin, Aku dan juga Rora.'
Bima mengusap pelan sapu tangan pemberian dari Reina. Tersenyum getir dengan air mata yang sudah meluruh sejak membaca surat yang Reina tulis untuknya. Reina tidak mungkin tidak menyadari bagaimana perasaannya yang harus berkeping saat putrinya di nyatakan Leukemia.
"Stt, Ayah jangan bilang-bilang ya, Reina kasih tambahan kado karena kemaren Reina enggak sempat ikut milihin kado buat Ayah waktu Kak Arin sama Rora belanja bareng. Maaf ya, Ayah?"
Kembali tersenyum getir saat usapan tangan Marsya membuatnya mengalihkan tatapannya dari sapu tangan yang Reina berikan untuknya.
"Ayah, anak-anak udah nungguin di meja makan. Udah hampir jam enam lewat, nanti telat ke kantor dan juga antar Reina dan Rora ke sekolah."
Bima mengangguk pelan hingga sapuan tangan Marsya mengusap penuh telaten wajahnya yang penuh air mata.
"Jangan di simpan, Ayah akan bawa kemanapun mulai sekarang."
Bima mengambil sapu tangan yang sempat Marsya ambil untuk istrinya simpan. Menaruhnya didalam saku jas kantornya dengan perasaan yang kembali menguar antara hangat tapi sedikit menyesakkannya.
"Pagi, putri-putri Ayah..."
Bima mengusap bersamaan surai hitam kedua putrinya. Tidak seperti biasanya kali ini dia yang telat untuk bergabung sarapan di meja makan.
"Ayah tumben enggak disiplin?"
Reina terkekeh pelan saat Rora dengan beraninya mengatakan hal itu pada Ayah mereka.
"Ayah masih ngantuk. Kalian kasih kejutan enggak kenal waktu, padahal ayah baru tidur jam dua belas malam. Ayah pikir enggak ada yang ingat."
Rora tersenyum geli melihat ekspresi Ayahnya yang dibuat-buat seolah bad mood pagi-pagi. "Enggak mungkin kan, Bunda enggak jadi yang pertama kali ngucapin ke Ayah?"
Bima dan Marsya langsung saling menatap. Seolah menimpali godaan Rora yang semakin membuat pagi mereka terasa kembali berwarna.
"Tentu saja. Bunda adalah yang pertama, dan ini... lihat." Bima menunjukkan jas barunya yang tidak lain pemberian dari Marsya. "Ayah dapat kado ini. Tentu saja, Ayah akan semakin semangat saat bekerja."
Marsya langsung memukul pelan lengan Bima di hadapan kedua putrinya. Kembali membuat Reina dan Rora tertawa karena ulah Ayahnya yang berhasil membuat Bunda mereka malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
S E A N D A I N Y A ✔
FanfictionKita memilih untuk mengukir cerita bersama. Berjalan beriringan di antara dinding kokoh yang menjulang. Seandainya beda tidak di antara kita. "Janji untuk hidup lebih baik dan terus bahagia ya, Sehandara?" _ Reina "Kamu juga harus janji untuk terus...