"Kak Rein, udah siap belum?"
Rora mengetuk pintu kamar Reina berulang kali. Namun tidak ada juga jawaban dari Reina yang biasanya membalas teriakan kesal karena Rora yang selalu saja berisik.
Dan berhasil mengejutkan sang Kakak saat gadis itu sudah masuk ke dalam kamarnya.
"Kak Rein itu kena-"
"Sttt!" Reina dengan cepat menenpelkan telapak tangannya pada bibir Rora yang langsung bungkam. Namun tidak merubah bagaimana tatapan mata gadis itu pada memar yang menghias di kedua lengan Reina kakaknya.
"Kak Reinnn..."
"Jangan berisik, Kak Rein enggak mau kalau sampai Ayah sama Bunda tahu."
"Iya, ngerti. Tapi itu kenapa?" Rora benar-benar memelankan suaranya kali ini.
Reina menggeleng pelan yang membuat Rora semakin penasaran untuk mengecek kedua lengan kakaknya. "Kak Rein juga enggak tahu, bangun tidur udah kayak gini. Enggak sakit, tapi-"
"Reina, Rora... ayo sarapan."
Marsya sudah berdiri di ambang pintu kamar Reina. Membuat gadis itu dengan cepat memakai kembali sweaternya untuk menutupi kedua lenganya.
"Udah siang, Sayang... kalian berdua kenapa malah bengong, sih?"
Reina langsung mendorong bahu Rora untuk beranjak keluar dari kamarnya. Tidak ingin mengulur waktu atau semakin membuat Bunda mereka menaruh curiga.
"Pagi, Ayah..."
Bima hanya tersenyum sembari melanjutkan sarapannya. Hanya berempat lantaran Arin sudah kembali ke Asrama karena jadwal kuliahnya yang mulai padat.
"Rora nanti pulang jam berapa? Ayah sama Bunda mau antar Kak Rein ke rumah sakit. Mau sekalian Ayah jemput atau gimana?"
Rora menggeleng pelan sembari menatap pada Reina yang sengaja menyibukan diri dengan sarapannya.
"Enggak usah, Ayah. Rora bisa naik taksi atau bareng sama temen. Yang penting Bunda ninggalin kunci rumah."
Marsya mengangguk dengan tangan hangatnya yang mengusap surai hitam milik anak bungsunya. "Naik taksi aja ya, Sayang. Bunda enggak tega kalau kamu bonjengan motor sama temen kamu. Nanti kunci rumah Bunda taruh di tempat biasanya."
"Oke, Bunda."
Reina tersenyum tipis saat Bima sang Ayah menatapnya. Kembali mengingat memar yang menghias kedua lengannya membuat Reina semakin takut untuk melakukan pemeriksaan yang sudah Ayahnya jadwalnya.
🍂°°°🍂
Sehandara melepas helm merahnya dengan tatapan yang langsung mengarah pada Reina yang terlihat berjalan sendirian menuju kelas. Bukan hal yang aneh, tapi Sehandara menangkap wajah sendu yang menghias begitu kentara pada Reina yang biasanya tidak pernah lepas dari senyum cerianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
S E A N D A I N Y A ✔
FanficKita memilih untuk mengukir cerita bersama. Berjalan beriringan di antara dinding kokoh yang menjulang. Seandainya beda tidak di antara kita. "Janji untuk hidup lebih baik dan terus bahagia ya, Sehandara?" _ Reina "Kamu juga harus janji untuk terus...