"Ayah tahu apa yang Bunda pikirkan. Tapi sebelum tes pemeriksaan Reina keluar, kita engga semestinya memikirkan hal-hal yang buruk."
Marsya masih di balut perasaan bimbang. Terus menatap pada Reina yang kembali beradu candaan bersama Rora di ruang tengah sembari belajar seperti biasanya. Hingga perlahan menyeka kasar air matanya yang terjatuh saat tangan Bima menyentuh pundaknya.
Bukan hanya Marsya yang harus dipeluk oleh rasa khawatir yang begitu besar, tapi Bima juga merasakan hal yang sama. Mengingat kembali bagaimana penjelasan Dokter Herman setelah mendengar segala keluhan dan semua yang Reina alami belakangan ini. Tentu saja semua itu bukanlah sebuah kebetulan yang kecil kemungkinan jika putri mereka baik-baik saja.
"Bunda hanya takut, Ayah. Bunda sangat takut kalau apa yang Bunda khawatirkan itu harus terjadi. Bagaimana kalau Reina-" Marsya menangis dalam pelukan Bima saat tidak lagi bisa menahan kegelisahan di hatinya. Bahkan sekeras apapun Bima dan Marsya saling meyakinkan satu sama lain kekalutan hati mereka tetap tidak bisa dienyahkan begitu saja.
"Kak Rein enggak usah mulai, ya... aku enggak mau kalau sampai Kak Rein mimisan lagi kayak waktu itu." Rora menahan pukulan bantal dari Reina yang sejak tadi terus memulai kejailannya.
Reina mengrucut pelan hingga kembali tertawa setelah berhasil memukul punggung adiknya dengan bantal. "Cemen kamu, Rora!"
"Biarin! Daripada harus nanggung rasa bersalah."
Rora menjulurkan lidahnya. Semenjak kejadian beberapa waktu lalu Rora benar-benar kapok jika harus saling perang bantal dengan Reina. Kebiasaan jahil keduanya yang sebenarnya sangat menyenangkan. Tapi sekarang tidak peduli jika Reina yang memulai lebih dulu, Rora tidak akan meladeninya.
"Kak Rein enggak selemah itu ya, kemaren cuma kebetulan aja kok." Reina seolah menampik semua itu. Walaupun sejak saat itu dia sering kali mengalami mimisan.
"Jangan adu bantal deh, lainnya aja."
"Apa?"
"Adu mulut! Ck!"
"Dih, enggak mau. Mulut kamu kan bau jigong!"
"Kak Reinnnn..." Reina tertawa puas saat Rora langsung menyerangnya. Menindih tubuhnya yang sejak tadi rebahan pada Sofa ruang tengah seolah beradu gelut.
"Roraaa, ihhh... bauuu"
"Rasain nih, wanginya jigong aku!"
"Bundaa, Ayaaahh... Rora enggak sopan, nih!"
Rora tidak peduli dengan teriakan Reina yang mengadu pada kedua orang tuanya. Dia tetap melakukan aksinya untuk membuktikan seberapa bau wangi mulutnya yang baru saja Reina ejek. Berani memulai maka Reina juga harus menerima akibatnya jika Rora sudah tersulut kesal karena ulah jahilnya itu.
🍂°°°🍂
Sehan, besok minggu ikut nonton ya.
Enggak ada penolakan. Harus mau!
Janie juga udah ajak Reina.
KAMU SEDANG MEMBACA
S E A N D A I N Y A ✔
FanfictionKita memilih untuk mengukir cerita bersama. Berjalan beriringan di antara dinding kokoh yang menjulang. Seandainya beda tidak di antara kita. "Janji untuk hidup lebih baik dan terus bahagia ya, Sehandara?" _ Reina "Kamu juga harus janji untuk terus...