Sehandara berulang kali menatap pada Reina. Memperhatikan kedua matanya yang kentara memerah dan sedikit membengkak. Kembali membuat hati kecilnya semakin merasa bersalah karena tanpa sengaja membuat gadis itu menangis.
"Reina?"
Menoleh pelan pada Sehandara yang sudah menggenggam pergelangan tangannya. Reina hanya memperlihatkan senyumannya meskipun jelas tahu apa yang akan Sehandara katakan.
"Maafin aku, kalau tadi udah buat kamu—"
Menggeleng pelan hanya untuk meminta Sehandara tidak melanjutkan kalimatnya. Reina lah yang seharusnya meminta maaf karena tidak bisa mengontrol dirinya sendiri hingga membuat orang lain harus merasa bersalah padanya.
"Aku yang harusnya minta maaf."
Senyuman itu masih terlihat menghias di wajah Reina. Namun bukannya membuat perasaan Sehandara melega, justru semakin membuatnya merasa bersalah. Entah apa yang terjadi pada Reina, sayangnya Sehandara tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal itu.
"Mau pulang bareng?"
"Lain kali aja, ya. Ayah pulang lebih awal, jadi bisa sekalian jemput."
Sehandara mengangguk saat Reina melambai pelan padanya. Hanya mampu menatap pada punggung gadis itu yang semakin mejauh dari pandangannya. Semakin menyisahkan himpitan rasa bersalah yang tidak bisa Sehandara elak sedikitpun.
🍂°°°🍂
"Jadwal kemoterapi kamu sudah Dokter Herman sesuikan kembali. Tapi kamu harus janji untuk menjaga kesehatan, rutin meminum obat dan vitaminya. Dan satu hal yang lebih penting, jangan sampai kelelahan."
Reina mengangguk dengan senyumannya pada Dokter Herman. Hingga kembali saling menatap dengan Bima Ayahnya yang sejak tadi tidak melepaskan rangkulannya sedikitpun. Reina sempat kecewa saat kedua orang tuanya tidak memberikannya ijin untuk kegiatan camping sekolah. Tapi nyatanya sang Ayah benar-benar menepati janjinya untuk meminta ijin pada Dokter Herman agar dia tetap bisa mengikuti kegiatan Sekolah yang selama ini tidak pernah dia lewatkan satupun.
"Makasih ya, Ayah. Maafin Reina, karena kemaren—"
Bima menggeleng dengan dekapannya yang semakin dia eratkan pada tubuh putrinya. Kembali mengingatkannya akan tangisan Reina dalam pelukan Arin kemaren malam semakin membuat Bima dihimpit oleh rasa sesak yang tidak bisa dia kendalikan. Jika hal menyakitkan ini adalah sebuah mimpi buruknya, Bima hanya ingin segera terbangun.
"Ayah,"
Sentuhan jemari Reina yang kali ini mengusap lengan Bima membuat laki-laki itu kembali menatap pada putrinya. Sekuat apapun menyembunyikan atau bahkan menahan butiran air matanya, Reina tetap bisa merasakan bagaimana tatapan kedua mata sendu milik Bima Ayahnya yang tidak lagi sama seperti dulu.
"Ayah, enggak pernah anggap sakit keras aku sebagai beban, kan?"
"Reina," Bima kali ini menggenggam tangan Reina. Saling menatap hingga butiran air mata sama-sama meluruh tanpa bisa untuk di tahan. "Kenapa bertanya seperti itu pada Ayah? Sedikitpun Ayah tidak pernah terbebani. Ayah akan lakuin apapun untuk kesembuhan putri Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
S E A N D A I N Y A ✔
FanfictionKita memilih untuk mengukir cerita bersama. Berjalan beriringan di antara dinding kokoh yang menjulang. Seandainya beda tidak di antara kita. "Janji untuk hidup lebih baik dan terus bahagia ya, Sehandara?" _ Reina "Kamu juga harus janji untuk terus...