Part 22

2.6K 219 7
                                    

Mata sudah semakin mengantuk, mengingat waktu yang telah masuk pukul satu dini hari.

Namun, tak akan bisa beristirahat tenang jika belum bertemu dan bicara dengan Hemmy.

Terutama, memberi tahu pria itu mengenai kebenaran anaknya. Tidak bisa lebih lama disembunyikannya dari Hemmy.

"Kapan dia akan pulang?"

"Apa tidak akan kemari?"

Pertanyaan-pertanyaan yang meluncur, tentu tak mendapat jawaban pasti karena ia pun masih dalam kebingungan sekarang.

Jika saja punya ponsel, pasti sudah dihubungi Hemmy dan menanyakan keberadaan pria itu agar bisa mengantisipasi kedatangannya.

Sayang, handphone miliknya tak akan bisa digunakan beberapa waktu kedepan untuk menghindari dirinya terlacak di sini.

Sempat terlintas dalam bayangannya tentang malam pengantin manis akan dilalui dengan Hemmy, setelah siang tadi resmi menikah.

Namun, pria itu tidak urung kembali.

Sikap Hemmy juga berbeda kepadanya. Tak ada kehangatan ditunjukkan. Mata pria itu senantiasa menatapnya dengan dingin.

Bicara pun amat sedikit, selama mengikuti upacara pernikahan keagamaan bersamanya.

Sanji berusaha memahami jika perubahan sikap pria itu karena mungkin merasakan ketegangan menghadapi situasi hari ini.

Namun, hati kecilnya menyerukan adanya kejanggalan dalam perlakuan Hemmy.

Entah apa yang menyebabkan. Tetap seperti terasa aneh. Dan hal tersebut tidak akan bisa membuatnya nyaman akan sikap Hemmy.

Harus dicari tahu? Tentu saja, perlahan-lahan akan digali lebih dalam, jika benar ada alasan khusus penyebab dinginnya pria itu.

Cklek.

Kesunyian yang menguasai kamar, membuat fungsi kedua indera pendengarannya dalam kondisi bisa menangkap suara sekecil apa pun, termasuk pintu ruangan dibuka.

Langsung dipusatkan pandangan ke sana.

Sosok Hemmy pun dilihatnya.

Penantiannya tak sia-sia menunggu pria itu.

Segera dibawa diri mendekati Hemmy. Dan berdiri saling berhadap-hadapan dengan jarak pemisah yang tidak cukup panjang.

Mereka juga sudah melakukan kontak mata.

Sanji cukup bergidik menyaksikan bagaimana kedua netra Hemmy memandangnya dingin. Ekspresi pria itu pun datar tanpa senyum.

Bahkan, belum keluar satu pun patah kata dari mulut Hemmy yang ditujukan padanya.

Tentu, ia yang harus memulai percakapan.

Namun, belum sempat dilontarkan satu pun pertanyaan, Hemmy sudah menjauh.

Tak akan dibiarkan pria itu tidur dulu karena mereka harus bicara. Tidak bisa ditahannya hingga besok semua yang mesti dikatakan.

Diberanikan dirinya untuk meraih lengan pria itu, walau sikap Hemmy kurang bersahabat.

Langkah pria itu langsung terhenti. Badan pun dibalikkan menghadap dirinya lagi.

Perasaannya yang malah tersentak karena melihat mata Hemmy semakin tajam. Rahang wajah juga mengeras seolah menahan emosi.

"Kamu marah?" Refleks keluar pertanyaan untuk mencari tahu perubahan sikap Hemmy.

Pria itu tidak menjawab. Namun tak berhenti juga melempar tatapan sinis padanya.

"Apa aku berbuat kesalahan?" Sanji tak bisa jika tidak mendapatkan jawaban pasti.

Hemmy tetap diam.

Berjalan kembali menjauh darinya.

Tentu, ia juga tak akan menyerah untuk mengajak bicara.

Sebelum Hemmy naik ke ranjang, diraih lagi lengan pria itu yang sama seperti tadi.

"Apa?"

Ya, kali ini Hemmy bersuara, namun singkat dan sangat sinis.

Mata kian tajam diarahkan kepadanya.

"Apa yang membuat kamu marah padaku?"

"Kamu ingin tahu, Sanji?"

"Kamu siap mendengarnya?"

Tak langsung dibalas ucapan Hemmy. Perasaan mendadak kurang enak.

"Sebelum kamu melampiaskan marahmu padaku, ada yang ingin aku sampaikan."

Konsentrasinya masih penuh sekarang, jadi harus diberitahukan informasi tentang buah hatinya pada Hemmy. Ia sudah memikirkan sejak pagi.

Pria itu bergeming, tak memberikan tanggapan.

"Kamu ingat aku pernah bercerita tentang anakku yang masih hidup? Aku dikirimi foto anakku saat baru oleh kakakku."

Disaksikan perubahan pada ekspresi Hemmy, seperti tampak kaget.

Namun, tak ada sepatah kata dilontarkan pria itu sebagai komentar.

Nihil respons, tidak akan membuatnya berhenti menyampaikan semua yang harus diberitahukan kepada Hemmy.

Napas diembuskan dengan panjang, upaya mengurangi gugup.

Keheningan berlangsung di antara mereka, terasa mulai mencekam.

"Soal siapa ayah dari anakku, belum pernah aku kasih tahu ke kamu, 'kan?"

"Sekarang saatnya kamu tahu, Hem."

"Aku mengandung anakmu." Sanji berucap dengan sangat mantap.

"Kamu ingat kita pernah tidur bersama beberapa kali, 'kan? Terakhir kali, aku tidak minum pil kontrasepsi."

"Aku akhirnya hamil."

"Kenapa aku berani mengandung? Saat itu, aku ingin sekali bebas dari kekangan orangtuaku. Dengan hamil, aku pikir aku akan mereka buang."

"Keputusan yang bodoh."

Sanji sebenarnya masih ingin bicara karena belum semua disampaikan, namun ucapan sinis Hemmy menghentikannya. Justru, ia terpikirkan sebuah pertanyaan.

Tentu, akan langsung dikonfirmasi ke suaminya.

"Kamu tidak kaget tahu itu anak kamu, Hem?"

"Tidak."

"Aku juga tidak peduli."

Hati Sanji tiba-tiba terasa dihantam sangat keras, sehingga sangat perih dan nyeri.

Tanggapan Hemmy benar-benar menyakitkan.

"Kamu tidak peduli? Oke, kalau bagimu tidak penting."

"Lalu, apa yang buat kamu marah denganku, Hem?" Sanji rasa mengganti topik lebih bagus.

"Menikahimu."

"Kamu marah karena sudah menikahiku?" Ditarik kesimpulan atas jawaban singkat Hemmy.

"Aku marah menikahi anak dari pembunuh seperti Nana Dermawan."

"Mamaku? Ada apa dengan Mamaku? Siapa yang dibunuh?" Sanji kaget bukan main.

"Dia ikut menggugurkan dua calon anak dari Mamaku dulu."

"Apa itu tidak termasuk pembunuhan, Sanji?"

"Mamaku harus kehilangan dua calon anaknya, sebelum Affandra lahir."

Tak bisa dikatakan apa-apa lagi. Mengendalikan diri dari serangan kejut luar biasa pun tak bisa. Ia berdiri dengan seluruh tubuh amat kaku.

"Aku akan marah pada siapa pun menyakiti keluargaku, apalagi Mamaku."

"Kamu menyesal menikahiku?" Sanji masih bisa bersuara.

"Aku tidak bisa menyukai perempuan dari seorang pembunuh."

.....................................

Buah Hati RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang