Ini saat yang tepat untuk pulang. Aku tidak akan merindukan tempat ini nantinya. Aku berharap aku dapat pulang bersama dengan Mirror. Aku harap aku kembali kepada hidupku yang sebelumnya. Bangun di siang hari, mendengar ceramah Lady Clarence dan Lord Albert, melakukan banyak hal bosan lainnya dan tetap takut jika terbangun di pagi hari.
Itu saja. Apakah itu saja sulit mengabulkannya?
Aku memejamkan mataku dan menggenggam Mirror yang berupa kalung, aku harap aku dapat kembali bersamamu sampai dengan utuh di rumahku.
Saat aku membuka mataku, dunia di sekitarku berubah. Tak ada lagi kamar dengan warna merah darah. Semua berubah menjadi rumahku. Persis seperti yang terakhir kali aku tinggalkan. Tapi Lady Clarence rupanya telah menunggu kedatanganku, "Kau telah menyakiti hatinya. Hati mereka."
"Siapa mereka itu ibu? Aku tak tahu." kataku acuh.
Lady Clarence tergelak, "Kau tak bisa menyangkal mereka. Mungkin saat ini kau bisa, tapi nanti? You can't my girl. Takdirmu ada di sana. Meskipun kau pulang kemari, akan ada saatnya kau harus kembali."
"Tidak, takdirku disini. Aku di lahirkan disini. Dan jika aku memang harus kembali, maka aku akan kembali kesini."
"Kau di lahirkan disana. Kau di takdirkan disana. Dan kau harus kembali, untuk masa depanmu."
"Masa depanku yang kau tentukan." aku menjambak rambutku, "Kenapa ibu? Kenapa kau membuatku harus merasakan rasanya menjadi penyelamat dari dunia yang tak pernah menganggapmu selain kau adalah calon penolong mereka. Itu saja dan kau tak berarti apa apa lagi."
"Kau berarti banyak dimanapun kau berada."
Aku mengangkat tanganku tidak peduli, "Aku kembalikan Angels Mirror padamu, Lady Clarence. Jangan berikan benda mistis lainnya padaku jika hal itu dapat membuatku terjebak di dunia lainnya lagi."
"Aku tahu kau tidak takut terjebak di dunia lainnya lagi. Kau hanya takut terjebak pada cinta lainnya lagi dan menjebak orang lain lagi."
Aku memberikan tatapan permohonanku agar ia tidak membahas masalah ini terus menerus dan membuatku tambah tertekan. Aku sudah cukup merasa bersalah untuk di tambahkan dengan beban beban lainnya.
Ia menghela nafasnya, "Baiklah. Aku tunggu kau di meja makan. Para pelayan akan membantumu membersihkan diri, kau pasti sangat lelah."
Aku hanya tersenyum menanggapinya dan seperti biasanya, para pelayan itu datang dan menyiapkan semua kebutuhanku. Lega rasanya bisa pulang. Tapi aku merasa sedih di saat bersamaan. Seolah aku pergi ketempat asing dan meninggalkan tempat tinggalku, rumahku.
•••
Seumur hidupku, aku tak pernah benar benar punya seorang teman. Aku memiliki teman saat aku datang ke Dixie Mirror. Tapi aku bahkan tak tahu siapa temanku yang sebenarnya. Mungkin Lady Clarence benar. Temanku adalah sebuah cermin.
Lord Albert berusaha menghiburku sebagaimana usaha ayah kepada anaknya yang ingin memakan permen. Tapi ia tak pernah mencobanya karena semua keinginanku selalu tercapai bahkan tidak sampai lima menit. Ia terlihat buruk dalam menghibur diriku.
"Mungkin kau benar, ayah benar benar payah."
Aku tertawa, "Seharusnya kau menghiburku sejak dulu, My Lord. Sejak aku meminta seorang teman bukan boneka."
Dan lagi, sebuah perkataan mampu menekan perasaan orang lain. Tawaku menjadi miris saat menyadari rasa bersalah ayahku. Apakah aku terlalu sebersalah ini sampai apapun yang bersangkut pautan denganku akan menjadi sedih?
"Aku akan kembali kekamarku, My Lord. Terima kasih atas hiburanmu."
Lady Clarence menghela nafas dan mengikutiku, terlihat dari sudut mataku. Ia menahan tanganku saat aku sudah berada di depan pintu kamarku. "Kau menyakitinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRROR: Reflection
FantasyI. Chapter One Cara Nicole hanyalah gadis biasa yang menjadi kunci kedamaian Dixie Mirror. Dunia Cermin itu terhubung dengannya melalui cermin yang ada di kamarnya bahkan sejak ia belum lahir. Ia tertahan di sana karena tugasnya untuk menyelamat...