"Percayalah, keputusanku untuk kembali ke Bangkok adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat.,"
Pukul 15.28
Cafe de Atelier
Gang Sukhumvit 33 No. 27/1,
Khlong Tan Nuea, Watthana, BangkokDua bulan terlewat. Pintu Cafe de Atelier terbuka kembali. Cahaya matahari sore di bulan Juni yang cerah masuk kembali mengenai debu - debu ruangan di lantai satu. Yang baiknya ternyata sudah dirapikan oleh pemiliknya. Pasangan kursi dan meja kayunya masih berjajar teratur. Ada tambahan beberapa jaring laba - laba di sudut - sudut ruang. Beberapa lampunya meredup. Sisanya sudah padam dimakan waktu.
"Putraku sudah pulang? Kau pasti lelah setelah seharian kuliah. Ibu sudah membuat secangkir kopi latte untukmu. Masih hangat. Minumlah, sayang.,"
"Joong, putraku, ke mana kau pergi selama ini?,"
Joong terenyuh. Sepasang telinganya menangkap suara khayal yang terasa begitu nyata. Tersalurkan dalam aliran syaraf, menyentuh matanya. Membuatnya basah. Menetes, basah ganti di pipi. Joong membuang napas panjang. Mengerjapkan mata yang kembali berkaca - kaca. Di sanalah ia, berdiri di ambang pintu, memandangi ruang penuh kenangan di setiap sudutnya.
Tak ada yang begitu saja rela atas kepergian seseorang. Akan ada yang kehilangan. Akan ada yang berusaha untuk merelakan. Akan ada yang mengenang mereka yang telah pergi, memutarnya kembali saat mereka rindu. Begitu pula Joong, yang bersama kenangan itu ia ditinggalkan dengan segala penyesalannya. Menggenggam cerita yang tak sempat diutarakan.
Joong menghela napas lagi. Ia tegar untuk sekali lagi. Berjalan melewati porselen - porselen berdebu menuju ruang penyimpanan, mengambil kain lap dan pembersih kaca. Ia berada di sana untuk membersihkan tempat itu. Tepat sebelum ia menyemprotkan pembersih kaca, bayangan yang sangat dikenalnya muncul dari balik jendela. Mahasiswa semester 5 Seni Rupa, Pond Naravit Lertratkosum dengan seragam kuliahnya, masuk ke kafe menemui Joong.
"Bernostalgia, eh?," sambut Joong. "Aku ingat aku tidak mengabari siapa pun saat memutuskan untuk bersih - bersih kemari."
"Kau tidak tau seberapa sering aku dan Tian bergantian mengunjungi tempat ini hanya untuk berharap ini akan buka lagi.," jawab Pond. "Dan siapa akan menyangka, apakah harapanku menjadi nyata?"
"Kau ingin mencari pekerjaan paruh waktu?,"
"Pekerjaan penuh waktu juga tidak masalah.,"
"Kalau harapanmu adalah kafe ini mungkin dibuka kembali, ya, itu terkabul. Tapi untuk kau kubolehkan bekerja lagi di sini, aku rasa tidak.,"
"Oh, kenapa? Kau sudah membuatku menjadi orang tersedih di kota ini.,"
"Aku tidak punya uang untuk menggajimu. Dan sepertinya pembayaran sewa untuk gedung ini tidak sampai bulan depan. Mungkin akan tutup kembali.,'
"Kenapa kau tidak beli saja gedungnya?,"
"Punya uang untuk membayarmu saja aku tidak, aku sudah bilang. Aku hanya akan bersih - bersih untuk saat ini.,"
"Tapi, kau tau. . . . tempat ini terlalu indah untuk tutup secepat itu. Dan kenangannya, . . . bukankah akan sangat disayangkan kalau tutup lebih awal?,"
"Aku tau. Aku lebih merasakannya. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak untuk ini.,"
"Kau . . . . sudah bilang pamanmu?,"
"Menurutmu? Setelah perkelahian tempo hari?,"
"Tapi bagaimanapun beliau itu pamanmu.,"
"Tak perlu.," sahut seseorang dari sisi lain ruang, datang sosok jangkung tinggi mengenakan blazer cokelat khas miliknya, Dunk Natachai diikuti pemuda lain di belakangnya yang menyelobok masuk ke area barista, Gemini Norawit. "Aku sudah membeli gedung ini. Lunas. Kalian boleh memakainya."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOLD ME TIGHT a joongdunk alternative universe
FanficDunk tidak pernah berniat kembali ke Bangkok setelah ia tinggal dengan nyaman di Cambridge. Ia punya flat yang sudah lunas, pekerjaan yang menyenangkan, aman, tenteram, dan teman baik yang akrab. Namun pada pukul tiga pagi di hari Jum'at, keputusan...