06. Rumah Penuh Luka

19.5K 835 20
                                    

Anara memasukkan tas ranselnya dari luar jendela kamarnya dengan gerakan pelan. Hari sudah gelap, tetapi gadis itu baru saja sampai di pekarangan rumah sederhananya. Matanya melirik kesana-kemari, kakinya melangkahi jendela kamar tersebut dengan hati-hati.

Lampu kamarnya masih gelap gulita. Dengan menahan jendela kaca tersebut agar tak menimbulkan suara, Anara berhasil melewati misi menyelamatan dirinya. Dengan tiba-tiba suara saklar lampu terdengar, ruangan yang awalnya gelap menjadi terang benderang.

"Dari mana lo?!" Wajah datar pria dewasa di depannya, membuat Anara terkejut.

"Abis pulang sekolah om, terus langsung kerja tadi," jawab Anara tertunduk.

"Halah, lo dibayar berapa kerja di sana?" Fahri maju, mendekati keponakannya itu.

Satu tamparan melayang di pipi Anara, wajah gadis remaja itu tertoleh ke samping. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, tamparan itu tidak main-main. Pipinya terasa kebas, ia seperti merasakan ada suatu cairan yang ingin mengalir dari hidungnya. Bohong, kalo Anara tidak ingin menangis.

Lagi, Fahri menarik rambut belakang Anara hingga membuat wajah gadis itu mendongak ke atas, langsung saja darah mengalir dari hidung Anara.

"Udah gue bilang, lo enaknya jadi lonte aja, biar bisa bayar semua jasa gua, karena ngasih lo makan dari kecil. Lo ngerti gak sih anak haram?!"

"Lo punya hutang banyak sama gue, lo punya badan bagus sekali-kali dimaafin kek, goblok banget hidup lo!!" Fahri makin menarik rambut bagian belakang Anara.

Anara merintih kesakitan. "Aku gak mau Om, aku masih punya harga diri, aku masih mau sekolah," rintih Anara, sembari memegang tangan Fahri di rambutnya.

Hal tersebut membuat Fahri bertambah emosi, laki-laki berkepala tiga itu, menghempaskan tubuh Anara ke lantai. Dengan emosi, Fahri mengambil kursi kayu lapuk yang ada di dekatnya, tanpa diduga-duga laki-laki itu memukulkan kursi kayu itu ke badan Anara dengan kuat.

Suara teriakan kesakitan dan tangisan terdengar di dalam rumah sederhana tersebut, Anara menangis dengan kencang sembari memegangi pahanya yang terasa amat sakit bahkan rasanya seperti di lintas oleh benda berat, kepalanya pening. Mira yang tengah mengintip dari luar pintu kamar dengan cepet mencegah suaminya agar tak berbuat berlebihan.

"Mas, mas, udah!!"

"Mas, jangan berlebihan," cegah Mira dengan menahan bahu suaminya, yang ingin mengambil kursi kayu yang telah hancur tadi.

"ANARA, PERGI!!" teriak Mira, dengan sisa kesadaran di ambang batas dan bagian paha yang terluka bahkan darahnya telah merembes ke lantai. Anara berusaha bangkit, tapi kakinya kanan nya mati rasa. Tak ada pilihan lain, ia menyeret badannya untuk keluar dari kamar itu. Bahkan darah ikut membekas dimana gadis itu lewat.

Nyatanya menahan Fahri tak semudah itu, Mira didorong dengan kuat sehingga pertahanannya hancur. Anara yang sadar dengan cepet bangkit, ia berjalan dengan menyeret kaki kanannya. Fahri tertawa dibelakangnya, apalagi melihat raut ketakutan dari keponakannya itu.

"Om, ampun!!" teriak Anara ketakutan, masih dengan menyeret kaki kanannya.

"Saya gak suka anak pembangkang kayak kamu, kamu persis kayak ibu mu yang gila itu. Saya heran kenapa Tuhan kasih kamu hidup, kalo akhirnya akan nyusahin orang begini. Salah apa kami punya keponakan kayak kamu!!" sentak Fahri, sambil melepaskan gesper di pinggangnya. Kenapa disaat seperti ini, langkah menuju pintu keluar saja sangat amat jauh bagi Anara.

"Tuhan, kali ini aku pasrah, kalo emang takdirnya begini ya udah. Tapi mohon, kurangi rasa sakitnya. Kenapa harus aku lagi, Tuhan?" batin Anara, ia terkejut ketika rambutnya ditarik dari belakang. Karena rasa sakit di kakinya, cewek itu tak bisa mengimbangi tubuhnya. Ia terjatuh, dengan mudah Fahri menyeret badan Anara dengan menarik rambut gadis itu. Anara di bawa ke ruangan yang tak jauh dari tempat mereka, yaitu gudang yang ada di sebelah dapur.

GEONARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang