10. Warning Signs

22.4K 856 50
                                    

[Happy Reading]

...

Anara memandang bekas rintikan hujan yang membasahi jendela kamarnya. Ini baru pukul delapan malam, ia membuka jendela kamarnya, lalu naik duduk di kusen jendela tersebut. Di tangannya terdapat gitar yang ia pangku dengan susah payah, seriusan ini posisi yang sulit.

Anara mulai mengatur sinar gitarnya yang berubah, setelah pas. Cewek itu mulai memetik gitarnya, senandung lagu perlahan keluar dari belah bibirnya.

You've been fighting the memory, all on your own
Nothing worsens, nothing grows
I know how it feels being by yourself in the rain
We all need someone to stay
We all need someone to stay

Lagu yang berjudul someone to stay, itu terus mengalun merdu dari belah bibir Anara. Kepalanya ia bawa bersandar di kusen jendela, matanya terpejam rapat. Lirik lagu tersebut terhenti, gadis itu mulai memetik gitarnya dengan asal. Mencoba meluapkan emosinya dari sana, bibir Anara bergetar, terisak pelan.

Sampai sinar lampu mobil mengalihkan perhatian Anara, dengan terburu-buru ia menghapus air matanya. Kepala Anara tertoleh, Thea keluar dari mobilnya dengan menenteng dua kantong plastik di tangannya.

Langkah Thea terhenti, ia melihat Anara dengan tatapan dalam. Lalu kembali melangkahkan kakinya, bukan menuju pintu masuk, melainkan berjalan menuju jendela kamar Anara yang bersebelahan dengan pintu masuk.

Anara turun, mempersilakan Thea melangkahkan kakinya lewat jendela. "Ngapain lo malam-malam, kesini?" tanya Anara basa-basi, padahal sudah biasa Thea yang datang tiba-tiba.

"Kenapa, gak boleh?!" sahut Thea tak kalah tajam, gadis itu duduk di ranjang Anara sembari melepaskan kaos kakinya.

"Apaan tuh?" Anara menunjuk dua kresek yang di bawa Thea. Sang empu tak menjawab, justru Thea merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menarik selimut sampai ke lehernya.

"Yah...gue pikir lo bawa makanan, tante gak ada di rumah. Mana gua lagi gak ada duit lagi," keluh Anara merosot, cewek itu kembali ingin mengambil gitarnya.

"Beras juga hab—" ucapan Anara lebih dulu terpotong.

"Dibuka dulu Nar, dari Mimi." Dengan cepat Anara duduk lesehan, membuka ikatan kresek itu dengan tak sabaran. Setelah terbuka, mata Anara berbinar-binar terang, Thea bisa melihatnya.

Anara beranjak terburu-buru keluar kamar, tak lama sang empu kembali dengan membawa dua piring dan sendok.

"Yok, makan," ajak Anara, gadis itu meletakkan nasi di piringnya, lalu ke piring satunya. Tangannya terulur mengambil ayam bakar yang menarik perhatiannya, ia mengambilnya dengan semangat. Semua itu tak luput dari perhatian Thea hal tersebut berhasil membuat embun di matanya timbul.

"Thea, ayok ma—" Kalimat Anara terhenti, Thea dengan cepat menghapus air matanya yang mengalir.

"Jangan nangis, gue tuh sebenernya gak mau di kasianin, tapi gue emang kasihan sih." Anara terkekeh setelah mengucapkannya, ia menyendok nasi putih di piring nya dengan air mata yang mengalir.

"Asin," keluh Anara, bagaimana tidak asin. Jika air matanya yang bercucuran, masuk ke dalam mulutnya.

Bersahabat dengan Anara selama belasan tahun, menyadarkan Thea. Seberapa tak bersyukurnya ia dulu untuk menghabiskan sepiring nasi, tapi di bawahnya masih ada orang yang sesusah itu untuk mendapatkan sepiring nasi. Thea turun dari kasur, menyendok nasi serta lauk pauknya yang telah di ambilkan Anara tadi. Ia menyantapnya dengan lahap, sesekali melirik Anara yang masih sesenggukan dalam makannya.

GEONARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang