Galang mengerjap ngerjap membuka matanya. Awan hitam yang tadi menghuni langit, kini perlahan mulai pergi. Galang merasakan kepalanya berdenyut. Entah apa yang terjadi ada tubuhnya, apakah dia baru saja ketiduran atau mungkin dia baru pingsan. Yang jelas terakhir kali yang dia ingat adalah saat duduk di emperan pondok di tengah hutan.
Badan Galang basah kuyup. Dingin sudah tentu dia rasakan. Buku lusuh yang tadi dia pungut masih aman terjepit di ketiak kanannya.
" Hujan telah berhenti. Ini waktunya untuk aku pergi," Galang bergumam sendiri.
Galang susah payah mencoba untuk berdiri. Badannya terasa dingin dan lemas. Disaat dia berhasil berdiri, dunia terasa berputar. Perutnya mual seketika.
"HOOOEEK!"
Galang muntah. Sarapan lezat buatan Mak Ijah tadi pagi terbuang sia sia. Galang kembali terduduk lemas di emperan pondok. Dia menyandarkan kepalanya pada tiang pondok yang terbuat dari kayu.
" Sial!" Galang mengumpat.
Galang tahu tubuhnya tak kuat menahan hawa dingin karena basah kuyup kehujanan. Dia masuk angin. Memang selama ini pekerjaannya mengharuskan dia duduk di kantor seharian, sehingga tubuhnya jarang digerakkan. Olahraga pun tak pernah dia lakukan. Makanan cepat saji acap kali dia nikmati. Dan beginilah akhirnya, tubuhnya tak begitu tahan dengan perubahan cuaca.
Galang terdiam diri sejenak. Melihat sekeliling berharap ada sesuatu yang bisa dia manfaatkan. Dia merasa harus bertindak cepat segera pergi dari pondok tua tersebut. Foto yang tersimpan dibagian tengah buku yang dia jepit diketiak membuatnya khawatir dan was was. Dia yakin di antara teman temannya yang datang ke tempat Zainul, ada dua orang yang memiliki motif terselubung.
Galang masih terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hingga akhirnya Galang menemukan serumpun tumbuhan empon empon di antara semak belukar yang lebat.
Galang memaksakan tubuhnya untuk berdiri. Dengan kaki gemetar dan sempoyongan, dia berjalan ke tempat tanaman obat tersebut berada. Dengan tergesa gesa, Galang menjatuhkan pantatnya pada tanah becek di depannya.
Kepalanya terasa benar benar pusing, dan perutnya semakin terasa mual tak tertahankan. Kemudian secara membabi buta Galang mencabuti satu persatu tanaman yang ada di depannya. Lengkuas, kunyit, temulawak dia lemparkan begitu saja. Galang belum menemukan apa yang dia cari.
Galang tak peduli lagi dengan jari dan kuku tangannya yang menghitam karena tanah basah yang dia cakar dan gali. Dia terus menerus mencabuti tanaman di hadapannya. Hingga akhirnya Galang menemukan apa yang cari. Satu ruas jahe berukuran besar di genggaman tangannya.
Aroma jahe menyeruak di udara. Pedas, panas dan harum yang khas mampu menenangkan perut yang bergejolak. Galang membersihkan tanah yang ada di lipatan ruas jahe tersebut. Mengusapkan pada celananya yang basah agar setidaknya tak terlalu banyak lumpur dan tanah yang menempel.
Setelah dirasa cukup bersih, Galang mengunyah jahe tersebut. Mengecap dan mengesapnya dengan mata terpejam. Sensasi pahit pedas, dengan bau tanah yang tajam sebenarnya semakin membuat Galang merasa mual. Namun, dia memaksa mulutnya untuk terus menelan.
Galang duduk terengah engah. Indera pengecapnya seperti mati rasa. Namun, efek jahe memberi rasa hangat di dada dan perutnya. Galang bisa bernafas lebih lega, dan perutnya terasa lebih nyaman.
Setelah beberapa saat dan beberapa kali sendawa terdengar, Galang merasakan kepalanya tak lagi berat. Pusingnya berangsur angsur sembuh. Gejolak di perutnya pun juga jauh berkurang.
Galang mencoba berdiri dari duduknya. Dan akhirnya, pijakan kakinya tak goyah. Bumi terasa normal dan tenang, tak lagi berputar putar seperti sebelumnya. Galang menghela nafas lega. Terucap syukur di benaknya.
Galang bersiap untuk pergi meninggalkan pondok tua tersebut saat di kejauhan terlihat sesosok manusia , memakai jas hujan berwarna hitam legam berlari ke arahnya. Jarak antara Galang dan sosok misterius itu mungkin sekitar 50 an meter.
Galang sadar, sosok itu memiliki niat jahat padanya. Sekilas terlihat kilatan benda tajam dibawa oleh sosok tersebut. Tanpa berpikir panjang, Galang mengambil langkah seribu.
Galang berlari menyibak rumput gajang yang cukup tinggi. Menerjang semak belukar, juga tanaman berduri di hadapannya. Dia tak peduli dengan rasa perih di kakinya yang tergores. Juga sendalnya yang terlepas, terjebak di tanah berlumpur.
Galang terus berlari, sesekali menoleh kebelakang. Dan benar dugaannya, sosok berjas hujan hitam itu masih terus mengejarnya. Terlihat jelas, sosok itu sangat lincah berlarian di wilayah hutan tersebut. Jarak antara Galang dengan sosok misterius itu semakin dekat.
Peluh membanjiri tubuh Galang rasa takut pun menjalar di hatinya. Nafasnya tersengal, degup jantungnya bertalu talu terekam oleh indera pendengarannya.
Sekali lagi Galang menoleh, dan kali ini sosok misterius itu tidak terlihat lagi. Galang berhenti sejenak, mengatur nafas. Dia berjongkok memegangi lututnya yang terasa nyeri.
Galang memperhatikan sekeliling, kini dia benar benar tersesat. Tempatnya berdiri terasa asing. Beberapa pohon akasia menjulang tinggi, dengan rumput gajah setinggi perut ada di sekitarnya.
" Janvok! Aku nggak sudi mati konyol di tempat seperti ini," Galang mengumpat kesal.
Galang semakin jengkel pada dirinya sendiri karena tidak sempat melihat wajah sosok yang mengejarnya tadi. Yang jelas dari perawakannya, sosok itu bukanlah Pak Mardoyo.
Dengan sedikit berjingkat, Galang kembali berjalan. Dia sempat merogoh HP di saku celananya. Namun sayang, HP nya basah kuyup dan mati total, membuat Galang semakin jengkel dengan kesialannya hari ini.
Galang terus berjalan, hingga sampailah pada sebuah tanah lapang dengan banyak tumbuhan bunga Kamboja putih di sekelilingnya. Rumput ditempat itu nampak terawat, tak dibiarkan terlalu tinggi.
Tepat ditengah tanah lapang itu, terdapat sebuah nisan dari batu dengan taburan bunga yang masih nampak baru. Aroma wangi melati pun menyeruak di udara.
Galang berjalan mendekati batu nisan tersebut kemudian dia duduk bersimpuh, melihat nama yang terukir di nisan.
Tertulis dengan huruf yang cukup besar Zainul Rikhman 07 Juni. Galang melotot kaget, seakan tak percaya. Nisan di hadapannya itu adalah kuburan dari Zainul, orang yang telah mengundang Galang dan teman masa SMA nya dulu untuk datang ke rumahnya.
" Kalau benar ini kuburan Zainul, lalu siapa sosok yang berada di kursi roda waktu itu? " Galang terlihat kebingungan.
Srakk srakk srakk
Terdengar langkah kaki mendekat. Galang menelan ludah dan segera bersiap untuk kembali berlari. Namun, dia merasa harus melihat dan memastikan wajah dari sosok misterius itu terlebih dahulu sebelum kabur.
Sosok berjas hujan hitam itu benar benar muncul. Dengan wajah tertunduk, sosok itu berjalan sambil memegangi sebuah pisau lipat kecil. Saat sosok misterius itu mendongak menatap Galang, terlihat jelas wajah di balik tudung jas hujan tersebut.
" Kamu? " Galang melotot kaget.
" Apa maumu? " Galang kembali bertanya.
Namun bukan jawaban yang Galang dapatkan melainkan sosok misterius itu berlari mendekat sambil mengayunkan pisaunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Judgment Day
Mystery / ThrillerPENYAKIT HATI AKAN TERUS MENETAP SAMPAI MATI Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu. Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lan...