Lemari

27 9 47
                                    

Tia meringis menahan perih, saat Ellie membasuh luka di kakinya menggunakan alkohol. Norita mengambilkan air minum dan obat pereda nyeri. Hanya itu yang dapat mereka lakukan saat ini.

Denis berdiri di ambang pintu kamar Tia. Menatap teman temannya dengan pandangan nanar. Ada kekhawatiran di benaknya saat melihat kondisi Tia. Denis memang laki laki nakal, tapi dia masih memiliki moral.

" Sebaiknya kita segera bawa Tia ke dokter atau layanan kesehatan terdekat. Nyawanya bisa terancam jika harus seperti ini," ucap Denis pelan.

" Ya aku pikir demikian. Tapi sedari tadi dia kekeuh bertahan disini sampai besok," Ellie menghela nafas.

" Lha gimana, soalnya si Zainul juga nggak main main janjinya. Ngasih 200 juta cuy," Norita menimpali.

" Sialan. Di saat seperti ini kita malah terpisah dan bergerak sendiri sendiri," Denis menggerutu.

" Bukankah kamu juga yang menyetujui ide kita bergerak masing masing. Makanya setiap ambil keputusan, pikirkan dulu matang matang," Ellie mencibir.

Denis tak membalas ucapan Ellie. Memang benar, dia juga yang menyetujui usulan dari Hendra untuk bergerak sendiri sendiri. Keputusan yang dia sesali saat ini.

" Baiklah. Aku mau cari Hendra dan juga Bayu. Butuh tenaga seorang lelaki untuk membawa Tia keluar dari hutan. Dalam keadaan seperti ini, Tia harus ditandu," ucap Denis mengambil keputusan.

" Hei, kamu mau meninggalkan aku sendirian?" Norita memprotes.

" Kamu nggak sendirian Norii, kamu kan sama Ellie," Denis sedikit jengkel dengan sikap Norita yang manja di situasi seperti saat ini.

" Aku mau ikut," Norita merengek.

" Kalau kamu ikut, itu malah berbahaya. Dengan sendirian aku bisa bergerak lebih leluasa," Denis beralasan.

" Tapi, bagaimana jika dugaan kita benar? Dipta dibunuh seseorang? Terlalu berbahaya untuk mu berkeliaran sendirian," Norita terus merengek. Dia begitu khawatir pada Denis. Meskipun apa yang baru saja mereka lalui hanyalah sebuah kencan singkat, tapi Norita nyatanya sudah benar benar terpikat pada Denis.

" Ya kalaupun benar Dipta dibunuh, kecurigaanku hanya pada satu orang yaitu Mella. Dan jika bertemu Mella atau perempuan itu berusaha menyerang ku, tentunya mudah bagiku untuk meringkusnya, tenanglah," Denis mengepalkan tangan kanannya. Denis cukup percaya diri dengan kemampuan beladirinya.

" Aku nggak tahu hubungan apa yang kalian jalin selama dirumah ini. Tapi tolong sudahi perdebatan, dan lekaslah lakukan apa yang menjadi rencanamu Denis," Ellie menyela. Dia merasa jengkel dengan percakapan dan adegan layaknya sinetron yang terjadi di depan matanya. Sementara Tia terlihat semakin lemah.

" Ingat kalian jangan kemana mana. Tetaplah di kamar ini. Jagain Tia, dan aku akan segera kembali," Denis berkata penuh penekanan.

Denis segera beranjak keluar kamar, setengah berlari dia menuruni tangga. Norita memperhatikannya dengan perasaan cemas. Dia memiliki firasat buruk yang sulit dijelaskan dalam hatinya.

" Nori, kupikir kamu sudah bersuami. Tidak dibenarkan CLBK ataupun cinlok dengan teman sekolah dulu," ucap Ellie sesaat setelah Denis pergi.

" Asal kamu tahu saja, aku sedang dalam proses perpisahan. Minggu depan adalah sidang putusanku," jawab Norita acuh tak acuh.

" Maaf bukannya aku mau ikut campur. Tapi semua orang tahu siapa Denis. Playboy cap burung merak, terkenal dari jaman SMA hingga sekarang. Bukankah dengan kegagalanmu menjalin rumah tangga yang sekarang seharusnya membuatmu lebih selektif menentukan pasangan?" Ucap Ellie. Seperti biasa kata katanya tajam dan menusuk.

" Hahahaha, malah sebaliknya Ellie. Dengan kegagalanku saat ini akhirnya sadar, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Bahkan soal hati, soal cinta. Cinta ada masa berlakunya, suatu saat kita akan bosan. Untuk apa kita selektif memilih pasangan, toh muaranya juga bisa ditebak. Manusia akan bosan dan mencari hal baru untuk mengatasi rasa bosannya. Selalu saja begitu," Norita tersenyum masam.

" Terserah kamu saja Nori, aku hanya mengingatkan," Ellie menghela nafas. Dia sadar tibak bisa memaksakan sebuah prinsip dan pandangan soal kehidupan pada orang lain. Karena pada dasarnya setiap orang menjalani alur hidupnya masing masing.

" Ngomong ngomong, aku kepikiran sesuatu," Norita mengalihkan pembicaraan.

" Apa itu?" Ellie bertanya.

" Dipta mati dengan cara yang sama seperti saat dia melakukan perundungan pada Zainul waktu dulu. Sebuah kue kukus pandan tersumpal di kerongkongannya," ucap Norita sambil mengingat ingat.

" Terus?" Ellie mengernyitkan dahi.

" Mungkin nggak sih Yodi saat ini juga sudah mati, dengan cara yang sama seperti saat dulu dia mengerjai Zainul?"

Ellie terdiam sesaat, ikut mengingat ingat apa yang telah Yodi lakukan pada Zainul waktu dulu.

" Bukankah Yodi dulu mengunci Zainul dalam lemari gudang seharian penuh?" Norita bertanya, memandang Ellie yang masih terdiam membisu.

" Ya, aku ingat kejadian itu. Dan jika demikian, berarti kemungkinan Yodi masih ada di dalam rumah ini," Ellie bergumam, kemudian berdiri dari duduknya.

" Kamu mau kemana?" Tanya Norita.

" Ke kamar tamu," ucap Ellie, suaranya terdengar bergetar.

" Aku ikut. Aku nggak mau disini sendirian," pinta Norita

Ellie berpikir sejenak sambil menatap Tia yang tengah tertidur lemas. Mata Tia terpejam namun keringat masih terus menetes di dahi dan pelipisnya.

" Baiklah. Kita kunci kamar ini dari luar. Lagipula aku pun tak cukup punya nyali untuk ke kamar tamu sendirian," Ellie mengambil keputusan.

Setelah itu, Ellie dan Norita keluar dari kamar. Tak lupa Ellie mengunci kamar Tia dari luar. Kunci dia masukkan ke dalam saku celananya.

Ellie dan Norita berjalan menuruni tangga dengan perlahan. Suasana rumah benar benar lengang dan sepi. Mak Ijah pun tak terasa dimana keberadaannya. Perempuan tua itu memang tak pernah terlihat batang hidungnya kecuali jam makan tiba.

" Aku baru sadar sekarang rumah ini auranya mengerikan. Padahal pagi tadi aku di depan tv sendirian tak merasakan apapun," ucap Norita menggandeng tangan Ellie. Sementara itu Ellie diam saja tak menyahut.

Dua perempuan itu sampai di depan kamar tamu, tempat terakhir kali Yodi terlihat. Sedikit ragu Ellie memutar kenop pintu.

Kriiieeetttt

Suara pintu kamar berderit memecah kesunyian. Bulu kuduk Ellie meremang seketika. Dia berkali kali menelan ludah karena tenggorokannya terasa kering. Keringat dingin juga mengalir membasahi wajahnya. Sedangkan Norita menggenggam erat lengan Ellie.

Setelah beberapa saat pintu terbuka, tercium aroma anyir dari dalam kamar. Aroma darah yang tercampur minyak wangi yang memuakkan. Membuat perut terasa diaduk.

" Brengsek! Bau apa ini?" Norita menutupi hidung mungilnya.

Ellie terdiam tak bergeming. Dari depan pintu nampak puluhan bahkan ratusan lalat hijau dengan ukuran sedang menggerubuti lemari kayu yang terletak di sudut kamar sebelah jendela yang terbuka.

" Nori, jika dugaanku benar kita akan melihat sesuatu yang mengerikan. Kuharap kamu siap dan jangan berteriak apapun yang akan kita lihat. Kita cukup melihatnya saja dan segera kembali ke kamar Tia. Kamu mengerti?" Ellie berbisik. Suaranya terdengar lirih dan bergetar.

Norita mengangguk setuju. Dengan perlahan dua orang itu memasuki kamar tamu. Aroma anyir semakin menusuk hidung. Ditambah pula aroma busuk  yang tak tertahankan semakin menjadi ketika mereka semakin dekat dengan lemari kayu  di dalam kamar itu.

Ellie berkali kali menguatkan hatinya berusaha tegar, berusaha kuat mengalahkan rasa takutnya. Tangannya terkepal erat, meskipun kedua kakinya terasa lemas tak bertenaga.

Akhirnya mereka sampai di depan lemari. Lalat hijau nampak berkumpul, berebut mencari celah untuk bisa masuk ke dalam lemari. Suara dengungan dan jumlahnya yang tak terhitung membuat siapapun akan merinding jijik.

Ellie dengan kebulatan tekadnya, menarik gagang pintu lemari dengan perlahan. Dia membuka dan melihat apa yang sebenarnya ada di dalam lemari. Dan ternyata dugaannya benar.

Judgment DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang