Sosok misterius berusaha mencelakai Galang. Dia mengayunkan pisau lipatnya ke arah perut Galang. Beruntung Galang masih bisa berkelit. Namun, ternyata sosok misterius itu jago berkelahi. Saat serangan pertama gagal, serangan kedua ia lancarkan.
Sebuah tendangan mengenai punggung Galang dengan telak. Galang jatuh tersungkur mencium tanah. Galang merasakan mulutnya penuh lumpur. Tapi tak ada waktu untuk mengaduh. Galang segera menggulingkan tubuhnya kesamping.
Jraasssh
Pisau lipat milik sosok misterius itu menancap di tanah. Seandainya Galang telat sedetik saja berguling, sudah tentu dadanya tertembus benda tajam mengkilat itu.
" Bangsa*! Apa salahku " Gilang melotot. Dia bangun sempoyongan. Namun lawan bicaranya itu diam saja, mencabut pisaunya dari dalam tanah dan bersiap menyerang lagi.
" Bukankah kita bisa membicarakannya baik baik? Kenapa harus begini? Apa tujuanmu? " Tanya Galang sembari berjalan mundur perlahan untuk tetap berjaga jarak.
Galang sadar betul, dalam keadaan normal dia sulit menghadapi lawannya. Apalagi kini kondisi tubuhnya sedang tidak fit. Namun dari yang terlihat, sosok di hadapannya itu juga sedang kelelahan. Sosok itu nampak mengatur nafas. Atau mungkin jangan jangan sosok itu belum terbiasa melakukan penyerangan seperti saat ini?
" Kita adalah kawan lama. Dan setahuku kamu bukan seorang penjahat. Jadi, mari kita bicara baik baik," Galang mencoba berjudi dengan nasibnya. Hatinya sedikit meyakini bahwa sosok dihadapannya itu masih bisa diajak untuk berunding.
" HAH? HA HA HA HA , " sosok di hadapan Galang tergelak. Tawanya pecah, terdengar cukup keras di tengah hutan yang sunyi.
Secara tiba tiba sosok itu kembali berlari menerjang ke arah Galang. Galang yang kurang waspada terlambat menghindar.
Srraattt
" Arrgghhhh " Galang berteriak mengaduh.
Galang menggunakan lengan kirinya untuk menutupi perutnya. Sebuah sayatan memanjang dan cukup dalam merobek lengan kirinya tersebut. Darah terciprat cukup banyak.
Serangan kedua datang, sebuah tendangan kaki kanan menghantam dada Galang. Sebuah tendangan yang terlatih, membuat Galang terjengkang.
Galang dalam kondisi terlentang, sosok misterius itu langsung menubruk, dan menindihnya. Sosok itu mengacungkan pisaunya di dekat leher Galang.
Galang memejamkan matanya ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat. Dia hendak menangis, bahkan tanpa dapat dikontrol Galang ngompol di celananya.
" Takutlah, menangislah, memohonlah. Rasakan bagaimana rasanya jadi ' dia ' di masa lalu, " ucap sosok itu sambil menindih Galang.
Galang terdiam, di tengah rasa takutnya dia teringat kembali kejadian masa lalu. Ingatanya seperti diseret ke ruang club drama XI IPA 2.
Galang ingat betul, dia dulu adalah siswa yang hanya fokus mengejar nilai akademis. Dia sama sekali tak berminat mengikuti kegiatan ekskul apapun jenisnya.
Namun, di pertengahan semester pertama ternyata setiap siswa diwajibkan untuk mengikuti salah satu ekskul yang ada di sekolahnya. Galang secara acak acak masuk di ekskul drama bersama beberapa teman sekelasnya.
Waktu itu Galang tak terlalu akrab dengan Zainul, begitupun dengan teman temannya yang lain. Yang dia tahu hanyalah Zainul merupakan siswa yang selalu menjadi sasaran kejahilan teman temannya.
Dan siang itu, Yodi mengajak Galang untuk mengerjai bocah kurus berambut ikal tersebut. Awalnya Galang menolak, namun pada akhirnya dia tak kuasa menghindari ajakan nakal Yodi.
Yodi membawa sekantong plastik besar serangga serangga menjijikkan. Kecoak, belatung, ulat, rayap dan hewan hewan kecil lainnya yang entah dari mana Yodi mendapatkannya.
Galang ditugasi untuk mengajak Zainul ngobrol di luar ruangan club drama. Sementara Yodi memasukkan serangga menjijikkan itu ke dalam tas Zainul.
Siang itu, Zainul lari tunggang langgang saat membuka tas ranselnya. Wajahnya pucat pasi, dia menangisi diantara sorak sorai siswa lainnya yang merasa bangga dan bahagia telah berhasil merundung anak manusia paling lemah pada masanya.
Galang menangis tersedu teringat perlakuannya dulu pada Zainul. Namun, bukan berarti saat ini dia harus menyerah terhadap hidupnya. Mungkin Galang salah di masa lalu. Tapi sosok yang mengacungkan pisau dihadapannya itu tak punya hak untuk menghakiminya.
Tangan kanan Galang bergerak, mencari cari benda yang mungkin bisa dia gunakan sebagai senjata. Sedikit keberuntungan berpihak padanya. Ada sepotong dahan kayu kering dengan ujung yang cukup lancip dia temukan tergeletak di tanah.
Galang mengambil dahan kering tersebut, dengan cepat mengayunkan dan mengarahkannya pada betis sebelah kiri lawan yang menindihnya itu.
Jraasshh
Dahan itu menancap cukup dalam. Cairan berwarna merah menyembur dari otot kaki yang kekar itu.
" Bangsa*!! " Sosok itu mengumpat dan mengerang.
Galang segera mendorong tubuh lawannya yang tengah kesakitan. Dia buru buru berdiri, hendak berlari. Namun, sosok itu masih memiliki tenaga untuk mengayunkan senjatanya dengan membabi buta. Dua sayatan cukup untuk memberi luka pada dada dan bagian perut Galang.
Galang hampir terjatuh, namun berhasil menahan rasa sakit dan menguasai dirinya.
Dia berlari dengan sekuat tenaga dalam keadaan luka parah. Galang tak peduli dia berlari ke arah mana, yang penting dia bisa menjauh dari sosok yang hendak membunuhnya itu.
‡‡‡
Iva menyusuri tepian hutan, mencari keberadaan Hendra yang pergi entah kemana. Hampir satu jam lamanya dia disana. Hendak kembali ke rumah pun Iva ragu.
Iva percaya apa yang dikatakan Hendra, bahwa semua orang yang berada di rumah itu tidak ada yang bisa dipercaya. Kematian Dipta membuatnya semakin ketakutan. Hendra lah harapannya, dia yang tadi telah menjanjikan keselamatan pada Iva.
Saat berkeliling mencari Mella tadi, Hendra berjanji untuk segera membawa Iva keluar dari rumah tepi sungai, rumah sang Rich Man itu. Namun kini, laki laki itu malah menghilang entah kemana.
Di tengah keraguannya, Iva duduk di atas sebuah batu berwarna abu abu besar di bawah pohon laban. Dia menatap hamparan rumput yang hijau dari kejauhan. Terlihat pula rumah megah milik Zainul. Rumah yang awalnya sangat dikaguminya. Namun kini, dia merasa ingin cepat pergi dari rumah itu.
Iva rindu dengan keluarga kecilnya. Rindu pada suaminya, yang meskipun telah membawa keluarganya pada jurang kebangkrutan akibat judi online, tapi suaminya itu adalah cinta pertamanya. Dia rindu dengan perut buncit yang biasa dia jadikan bantal untuk tiduran di depan tv.
Saat Iva tenggelam dalam lamunannya, di kejauhan nampak Hendra berjalan ter seok seok menuju ke arahnya. Tanpa diminta, Iva segera berdiri dan berlari mendekati Hendra. Dia membantu Hendra untuk berjalan.
" Kamu kenapa Hen? " Iva bertanya penasaran.
" Terpeleset, terus kena bebatuan tadi," ucap Hendra sambil meringis kesakitan.
Iva kemudian berjongkok memeriksa kaki Hendra sebelah kiri. Sebuah luka yang masih baru nampak menganga di betisnya. Iva bergidik membayangkan betapa perihnya luka tersebut.
" Kita harus segera kembali ke rumah, minta alkohol untuk membersihkan lukamu ini, " ucap Iva kemudian.
Hendra mengangguk setuju. Dengan perlahan Hendra dan Iva berjalan kembali menuju ke rumah. Sementara langit yang tadi mulai cerah, kini nampak kembali meredup. Siang mulai beranjak pergi digantikan oleh sinar kemerahan matahari di sore hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Judgment Day
Mystery / ThrillerPENYAKIT HATI AKAN TERUS MENETAP SAMPAI MATI Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu. Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lan...