Tia

9 3 0
                                    

Norita telah menyelesaikan makan siangnya sendirian saat Hendra datang dan mengambil tempat duduk di sebelahnya. Wajah Hendra tampak masam dan kusut.

" Kamu kenapa? Wajahmu kaya baju yang belum di setrika," Norita mencibir.

" Nggak papa. Makanannya enak?" Tanya Hendra mengacuhkan pertanyaan dari Norita.

" Enak, semur dagingnya ini juara," ucap Norita sambil mengacungkan dua ibu jari tangannya.

" Oh ya? Hendra tersenyum sekilas. Norita mengangguk meyakinkan.

Hendra pun juga sudah merasa lapar. Dia segera mengambil piring, nasi, beberapa jenis sayur, perkedel kentang, dan sambel kacang. Dia tidak menyentuh daging yang direkomendasikan oleh Norita.

" Kuperhatikan kamu dari kemarin nggak makan daging Hen?" Norita bertanya heran.

" Oh ya? Kamu memperhatikanku?" Hendra menoleh, tatapan matanya terasa dingin.

" Hmm, yah aku adalah orang yang suka mengamati. Aku kan penyanyi panggung. Sudah terbiasa mengamati orang orang di hadapanku," ucap Norita beralasan

" Aku memang nggak makan daging," jawab Hendra pendek.

" Oh ya? Vegan? Sejak kapan. Bukankah waktu sekolah dulu kamu bukan seorang vegan? Aku masih ingat, ulang tahunmu yang ke 17 kamu mentraktir semua orang makan beef steak."

" Bisa nggak sih kamu nggak kebanyakan bertanya?" Hendra menghentakkan sendok di tangan kanannya.

" Yaelah, biasa aja dong. Nggak usah nunjukin urat marahnya gitu," Norita meledek Hendra yang terlihat jengkel.

" Bisa diem ngga? Atau .... " Hendra melotot pada Norita.

" Atau apa?" Norita menantang. Senyumnya terlihat benar benar menjengkelkan.

Hendra mendengus kesal. Entah apa yang membuatnya gampang marah dan uring uringan saat ini. Dia menggenggam garpu yang ada di tangan kirinya dengan erat. Menatap tajam pada Norita yang tersenyum meledek dihadapannya.

Dan pada saat itulah Denis, Ellie , Iva datang. Mereka ikut bergabung di meja makan. Denis duduk di sebelah kanan Norita. Kini Norita diapit oleh para laki laki. Sementara Ellie dan Iva duduk di sebrang meja.

" Ada apa sih? Kalian kok seperti sedang berantem?" Ellie bertanya pada Hendra. Sedangkan Denis dan Iva tak memperhatikan. Mereka sibuk mengambil piring dan makanan yang telah tersaji.

" Berantem apanya? Kamu nggak lihat aku sedang makan," jawab Hendra ketus.

Denis tak memperdulikan Hendra. Dia sibuk menyuapkan nasi hangat dengan semur daging berwarna cokelat kemerahan ke dalam mulutnya. Detik berikutnya dia melotot dan terdiam.

" Hmmm... Ini enak banget bangkee!" Denis sedikit berteriak. Mulutnya penuh dengan makanan sehingga suaranya terdengar kurang jelas.

" Makan yang sopan ah" Norita menepuk bahu Denis.

Sementara itu Iva masih terlihat enggan memasukkan makanan kedalam mulutnya. Dia masih teringat dan terngiang kondisi mayat Dipta yang mulai membusuk. Indera pengecapnya ingin sekali menyicipi makanan yang tersaji, aroma harus masakan benar benar menggoda. Namun sayangnya perut terasa menolak, mual dan begah menyiksa Iva.

" Sialan! Aku menyesal tadi tak ikut saja denganmu Nori," ucap Iva sambil melempar sendoknya.

" Melihat mayat di depan mata nyatanya membuat nafsu makanku hilang," Iva terus menggerutu kesal.

" Hahahahaha, bagus lah. Jadi kamu bisa diet sekalian," Norita menimpali. Dia tertawa lepas dan terasa meledak.

" Maksudmu aku gendut gitu?" Iva tak terima

" Lhoo. Aku nggak ngomong gitu loh ya,' Norita berdalih.

" Jangan bertengkar dimeja makan!" Bentak Hendra. Dia menjejalkan makanan yang ada di piringnya ke dalam mulut, mengunyahnya dengan kasar, kemudian berdiri dari duduknya.

" Mau kemana Hen?" Tanya Ellie.

" Cari angin, disini gerah," jawab Hendra dan segera pergi meninggalkan ruang makan.

Meskipun teman temannya nampak berseteru, Denis tak mempedulikannya. Tangan kanannya sibuk menjejalkan semur daging ke dalam mulut, sementara tangan kirinya dengan nakal Mengger*yangi paha Norita yang duduk di sebelahnya.

Iva terlihat menyerah, dia tak jadi makan. Sedangkan Ellie hanya menyantap buah buahan saja.

" Sekarang apa yang harus kita lakukan? Menurutku bergerak sendiri sendiri itu berbahaya. Sebaiknya kita tetap berpasangan atau sebisa mungkin berkelompok," ucap Ellie setelah Denis menyelesaikan makannya.

" Aku mungkin akan ikut Hendra saja," jawab Iva.

Setelah berkata demikian, Iva berdiri dan segera pergi berlalu meninggalkan tiga temannya yang masih berada di meja makan.

" Kalian gimana?" Tanya Ellie pada Denis dan Norita.

Denis dan Norita terlihat senyum senyum tak jelas. Mereka tidak memperhatikan pertanyaan dari Ellie. Denis sebenarnya masih sibuk memegangi paha sintal Norita.

" Hei!!" Ellie menghardik sambil melotot. Ellie sebenarnya sangat mematuhi tata krama saat berada dimeja makan. Tapi tingkah dua orang di hadapannya itu benar benar membuat Ellie gagal menahan emosi.

" Oh iya Ell. Gimana gimana?" Denis bertanya.

" Tak usah dipikirkan," ucap Ellie sambil tersenyum masam. Akhirnya Ellie pun memutuskan untuk pergi dari ruang makan meninggalkan Denis dan Norita yang masih ketawa ketiwi nggak jelas.

Ellie berjalan ke ruang tamu. Tidak ada siapapun disana. Saat dia sendiri entah kenapa ruang tamu terasa begitu luas.

Ellie mondar mandir di ruang tamu. Dia merasa gundah, langkah apa yang sebaiknya dia lakukan saat ini. Menyusul Bian ke hutan untuk mencari Galang? Terlalu berbahaya, begitu pikirnya.

Beberapa saat lamanya, akhirnya Ellie membuat sebuah keputusan. Dia beranjak menapak anak tangga menuju lantai dua. Dia bukan hendak ke kamarnya melainkan menuju kamar Tia.

Dok dok dok

Ellie mengetuk kamar Tia perlahan. Beberapa saat kemudian pintu terbuka sebagian. Tia terlihat berdiri berpegangan pada pintu. Wajahnya tampak pucat dengan tatapan mata yang sayu.

" Ada apa ell?" Tia bertanya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar.

Ellie menaruh curiga pada keadaan Tia. Dia merasa ada yang tidak beres dan sedang ditutup tutupi.

" Kamu kenapa ti? Sakit?" Tanya Ellie.

" Nggak kok," Tia menggeleng pelan.

" Kalau ada yang nggak penting, biarkan aku istirahat," ucap Tia hendak menutup pintu kamarnya. Dengan sigap Ellie meletakkan tangannya di daun pintu dan mendorongnya. Tia terdorong mundur, dan pintu kamar terbuka sepenuhnya.

Ellie masuk ke dalam kamar dan sangat terkejut melihat kondisi tempat tidur Tia. Terlihat tissue berserakan dimana mana. Ada beberapa noda merah darah di lembaran lembaran tissue tersebut. Ellie menoleh dan menatap Tia yang masih berdiri berpegangan pada daun pintu.

" Kamu kenapa Tiii?" Ellie bertanya, suaranya bergetar penuh kekhawatiran.

Tia tak menjawab, malah menutup pintu kamarnya. Tia berjalan tertatih kemudian duduk di sudut ranjang tempat tidurnya. Tia mengangkat rok yang dia pakai. Menunjukkan betis kanannya yang terlihat sebuah luka menganga.

" Itu... ," Ellie memekik tertahan.

Ellie teringat, Tia kemarin sempat diserang oleh anjing liar. Semua orang tak menyadari, anjing liar itu telah melukai kaki Tia.

" Kenapa kamu kemarin nggak ngomong Tii?" Ellie kembali bertanya.

" Aku nggak mau karena lukaku ini, kalian memulangkanku," jawab Tia.

" Kenapa?"

" Karena aku butuh uang itu Ell, aku butuh 200 juta yang Zainul janjikan. Makanya aku sekuat tenaga akan tetap bertahan disini sampai besok. Aku butuh uang itu," suara Tia terdengar sendu.

Judgment DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang