Galang berjalan berjingkat , mendekati pondok tua yang dia temukan di tengah hutan. Hujan turun semakin deras, suasana sepi dan lengang bertambah pula dengan udara dingin yang menyayat kulit.
Galang sampai dibagian teras pondok. Terlihat cukup luas , dengan debu tebal yang menempel di lantainya yang tersusun atas balok balok kayu. Atap nampak bocor , meneteskan rintik air hujan di beberapa sudutnya.
Galang mengedarkan pandangannya , memperhatikan secara seksama. Bagian teras terdapat sebuah kursi tua yang terbuat dari rotan. Sebuah pintu menganga dibagian tengah. Daun pintunya yang terbuat dari tripleks dibiarkan terjengkang begitu saja.
Galang yakin , pondok ini sudah sangat lama ditinggalkan. Dia berjalan perlahan , masuk ke dalam pondok. Langit yang kelam membuat pencahayaan temaram , meskipun sebenarnya saat ini masih tengah hari.
Kriett kriett kriett
Lantai dari kayu yang menjadi pijakan terdengar berdecit setiap kali Galang melangkah melewatinya. Galang mengerjap ngerjap , pandangannya sedikit terhalang oleh gelapnya bulan Desember. Beberapa sarang laba-laba bergelanyut hampir memenuhi setiap sudut ruangan.
Di dalam pondok , terdapat sebuah meja berbentuk persegi terletak persis di tengah ruangan. Lemari kayu bersandar pada tembok di salah satu sudut ruangan. Kaki kaki lemari tersebut nampak lampuk digerogoti rayap.
Galang menemukan sebuah kertas usang di atas meja. Ada sebuah tulisan di kertas tersebut yang sudah luntur dan sulit dibaca. Semacam surat yang sepertinya tergeletak disana dalam kurun waktu yang lama.
" Galang mengusap kertas tersebut, berusaha untuk membacanya. Beberapa kata berhasil terbaca sementara kata dan kalimat yang lain Galang hanya mampu mengira ngira.
Aku menunggu kata maaf terucap dari mulut kotor mereka. Namun , hal itu tak pernah terjadi. Aku hanya bisa mengutuk dan meluapkan amarahku dalam tulisan yang kusimpan rapat hingga sekarang. Aku akan menunggu.
Galang membaca sepenggal paragraf yang ia artikan.
Ada beberapa kata yang tidak asing bagi Galang. Seperti kata TABUR TUAI , yang mengingatkan Galang pada password wifi di rumah Zainul. Dibagian akhir tulisan tertulis ' tali gantungan '. Galang tersentak kaget dan langsung mendongak.
Seutas tali tambang yang membentuk sebuah simpul bergelanyut diatasnya. Bagian ujungnya nampak terputus. Galang buru buru melipat kertas yang ada ditangannya , kemudian memasukkannya kedalam saku celana.Galang beranjak , kali ini menuju ke lemari usang di sudut ruangan. Dia membuka lemari itu , ternyata bagian atas kosong. Hanya ada debu tebal yang menempel di sudut sudutnya.
Galang membuka laci bagian bawah , dan akhirnya dia menemukan sebuah buku usang bersampul merah maroon. Galang membuka buku tersebut. Di halaman pertama tertulis sebuah nama dengan tinta warna biru yang sudah luntur sebagian. Zainul Rikhman.
Galang hendak membuka dan membaca buku tersebut , saat terdengar suara langkah kaki dari kejauhan.
" Mungkinkah , Bayu? " Galang bergumam.
Segera ia mengintip melalui celah tembok kayu yang ada dihadapannya. Nyatanya bukan Bayu yang datang. Di antara derasnya air hujan , dengan pakaian basah kuyup , Pak Mardoyo terlihat berlari lari kecil mendekati pondok tempat Galang berteduh.
Galang panik , instingnya mengatakan untuk segera lari dari pondok tersebut. Entah kenapa ia ketakutan melihat kedatangan pak Mardoyo. Secepat kilat Galang memasukkan buku usang dibalik bajunya , menggamit buku dengan ketiaknya.
Galang buru buru keluar ruangan dan melompat ke semak semak di samping pondok tua tersebut. Galang mengintip dari balik dedaunan , memperhatikan kedatangan pak Mardoyo.
Pak Mardoyo berjalan tergesa gesa menuju pondok tua. Dia berhenti sejenak di teras pondok. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kemudian masuk kedalam pondok. Entah apa yang dilakukannya di dalam pondok. Beberapa menit berikutnya , pak Mardoyo nampak keluar dari pondok dan sekali lagi memperhatikan sekelilingnya. Sepertinya dia tahu , ada orang yang baru saja masuk pondok tua tersebut.
Galang tak bergerak dan tak berkedip memperhatikan gerak gerik pak Mardoyo. Beberapa saat lamanya pak Mardoyo berdiam diri memperhatikan sekelilingnya. Hingga akhirnya , penjaga rumah aneh itu berjalan pergi meninggalkan pondok tersebut.
Galang menghela nafas, sedikit merasa lega. Galang keluar dari tempat persembunyiannya. Dia kembali berteduh di teras pondok.
Galang membuka kembali buku bersampul merah maroon yang ada dibalik bajunya. Sambil sesekali mengawasi sekeliling , khawatir tiba tiba pak Mardoyo kembali ke tempat itu.
Galang membolak balik buku tersebut , membaca isinya sekilas. Sebuah buku catatan semacam buku harian Zainul Rikhman.
Hampir seluruh isinya keluh kesah Zainul atas perlakuan teman teman kelasnya yang telah merundungnya.
Hingga akhirnya sampailah Galang pada lembaran tepat dibagian tengah buku. Ada sebuah foto tertempel disana. Foto club' drama semasa SMA dulu. Foto yang serupa dengan yang dikirim Zainul bersama surat undangan beberapa waktu lalu.
Galang memperhatikan foto itu dengan seksama. Entah kenapa Galang merasa ada yang aneh dan kurang dalam foto tersebut.
" Aneh " Galang bergumam sendirian. Kemudian dia menghitung orang yang ada di dalam foto.
" Sembilan ? " Galang memijat mijat keningnya.
Ada ketidakcocokan antara jumlah orang yang ada dalam foto dengan tamu undangan yang datang ke rumah Zainul. Galang mencoba mengingat ingat kembali kejadian di masa lalu. Hingga akhirnya dia sampai pada sebuah kesimpulan , ada orang yang saat ini berada di rumah Zainul namun dia tidak ada hubungannya dengan club' drama dan masa lalu kelam Zainul.
" Untuk apa Zainul mengundang orang itu ? " Galang semakin penasaran.
Kini Galang ragu , harus bertindak seperti apa. Pikirannya goyah , tidak ada lagi yang bisa dia percaya. Orang orang yang saat ini berada di rumah Zainul bisa saja dalam bahaya.
" Yodi.. aku harus tau sekarang , dia dimana. Kalau dugaanku benar berarti laki-laki itu " Galang menopang dagunya. Dia terlihat menguras energinya untuk berfikir.
Ada dua pilihan bagi Galang saat ini , pertama mencoba mencari jalan pulang dengan konsekuensi meninggalkan semua teman temannya yang ada di rumah aneh Zainul. Dan yang kedua , dia kembali ke rumah Zainul kemudian mengajak semua orang untuk segera keluar dari rumah itu dan pulang.
Galang menimbang nimbang keputusan mana yang lebih tepat. Hatinya ragu dan bimbang. Beberapa saat lamanya dia termenung. Sementara hujan dan kabut semakin tak bersahabat.
Galang akhirnya memutuskan untuk mencari jalan pulang. Dia akan menuju kampung terdekat , dan meminta pertolongan. Mungkin itulah keputusan terbaik untuk saat ini , begitu pikirnya.
Namun Galang Juga belum bisa beranjak dari tempat duduknya. Hujan benar benar semakin deras dengan kabut yang juga bertambah semakin tebal. Jarak pandang semakin terbatas , bisa berbahaya untuk siapapun jika berjalan di tengah kondisi seperti ini.
Galang mengusap usap telapak tangannya yang mengkerut kedinginan. Tubuhnya menggigil , bibirnya pucat membiru. Sedari tadi dia terlupa dan tak merasakan hawa dingin menyelimutinya karena terlalu fokus dengan pikirannya. Kini barulah terasa , tubuhnya meriang serta nafasnya sedikit sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Judgment Day
Mystery / ThrillerPENYAKIT HATI AKAN TERUS MENETAP SAMPAI MATI Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu. Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lan...