Dugaan Denis

6 1 0
                                    

Ellie menyentuh dahi Tia, terasa panas. Ibu rumah tangga itu terlihat menggigil, giginya gemeretak beradu tak terkontrol. Juga keringat nampak mengalir di pelipisnya.

" Tii, kamu akan segera mendapat penanganan medis. Mungkin saja anjing liar yang menyerangmu kemarin menderita rabies," Ellie menggenggam tangan Tia.

" Besok saja Ell. Aku bisa tahan kok. Pokoknya aku nunggu uangnya datang. Percuma aku sampai jauh jauh kemari jika tidak membawa hasil," Tia menyandarkan kepalanya pada dinding kamar.

" Apa gunanya uang, jika kamu kesakitan Ti? Uang bisa dicari, kesehatan dan nyawa nggak ada yang bisa ganti," Ellie merasa benar benar khawatir dengan kondisi Tia.

" Bagimu mencari uang itu mungkin mudah ell. Namun tidak denganku," Tia meratap. Matanya  bergetar menahan air mata. Ada rasa sedih dan malu. Dia merasa menjadi satu satunya yang gagal di antara personil ekskul drama. Bukankah dulu mereka setara? Tapi kenapa kini Tia merasa nelangsa? Merasa tertinggal begitu jauh dibandingkan yang lainnya.

" Tii, please. Di luar sana Yodi dan Mella hilang. Dipta pun tewas yang mungkin saja dibunuh oleh seseorang yang berada di rumah ini. Aku nggak mau melihatmu sampai kenapa kenapa.  Kita harus keluar dari rumah ini dan segera cari pertolongan."

" Bahkan kematian terasa lebih baik daripada aku harus kembali pada kehidupanku tanpa uang dari Zainul," jawab Tia dengan tegas.

" Begini saja. Aku akan mengantarmu keluar dari rumah ini, dan aku akan memberimu uang yang senilai dengan pemberian Zainul," Ellie mencoba membujuk Tia. Bagi Ellie, nyawa  dan keselamatan temannya itu lebih utama.

" Semudah itu kamu menawarkan uang ratusan juta pada orang lain ya ell?" Tia semakin terasa terhina.

" Tia kumohon. Aku kesini memang bukan untuk mengincar uang. Aku datang ke rumah ini karena dijanjikan buku limited edition karya terbaru milik Zainul," Ellie merasa sedikit kesal dengan Tia yang kepala batu.

" Mungkin memang kamu sedang kesulitan keuangan, tapi bukan berarti harus mengorbankan keselamatanmu. Manusia itu memiliki ujiannya masing masing. Ada yang diuji dengan kekurangan ada yang diuji dengan kelebihan," Ellie menghela nafas.

" Bagaimana mungkin sebuah kelebihan kamu anggap sebagai ujian ell? Ketika banyak orang menginginkan bisa menjalani kehidupan sepertimu, kamu anggap itu ujian? Bhulsit!" Tia mendebat, meski saat ini kepalanya terasa semakin berat.

" Setiap hal ada pertanggung jawabannya Tia. Bisa di dunia ini atau di dunia sana. Bukankah kita harus bersyukur atas apa yang kita miliki sekarang dan berusaha untuk lebih baik lagi?" Ellie meninggikan nada suaranya. Dia kehabisan kata kata untuk membujuk Tia.

" Andai saja waktu bisa diulang," ucap Tia lirih. Detik berikutnya dia ambrug di tempat tidur.

Ellie panik. Dia merangkul Tia yang terlihat tak berdaya. Suhu tubuh Tia terasa benar benar panas. Tia juga mengalami kejang kejang, dengan air liur yang menetes dari mulutnya secara berlebihan.

Ellie segera keluar kamar dan berlari menuruni tangga. Hampir saja dia terpeleset karena terburu buru. Ellie menuju keruang makan. Sedikit lega, ternyata Denis dan Norita masih asyik bercengkerama di depan meja makan.

" Tolong! Tolong Tia!" Teriak Ellie di antara nafasnya yang tersengal.

" Ada apa?" Denis nampak kaget. Dia sedang bermesraan dengan Norita saat Ellie datang.

" Tia.. Tia demam dan kejang. Ternyata, kemarin kakinya tergigit oleh anjing liar yang menyerangnya," ucap Ellie gusar.

" Hah? Gimana dong? Aku nggak ngerti penanganan yang begituan," Denis panik. Sementara Norita terlihat memperbaiki hot pantes yang dia kenakan.

" Ya pokoknya cari alkohol kek, atau apa gitu. Handuk kecil juga, untuk membersihkan luka di kakinya," Ellie terlihat hendak menangis saking bingungnya.

" Mana ada? Aku nggak bawa begituan," jawab Denis.

" Di kamar Mella pasti ada. Kita dobrak saja pintu kamar Mella," Norita memberi ide.

" Oke kalau begitu," Denis menyetujui.

Mereka bertiga berlari menuju ke lantai atas. Mereka sempatkan melihat keadaan Tia terlebih dahulu. Tia terlihat kejang kejang dan juga baru saja memuntahkan air dari mulutnya. Perutnya memang kosong , belum terisi sedari tadi pagi.

" Ayo cepat bantu aku mendobrak kamar Mella!" Perintah Denis.

Kini Denis, Norita dan Ellie berada di depan kamar Mella. Mereka kompak menghantamkan tubuhnya pada daun pintu kamar. Dan setelah beberapa kali percobaan, akhirnya pintu berhasil di jebol.

Ellie langsung masuk dan mengobrak abrik tas Mella yang tergeletak di bawah ranjang dengan tergesa gesa. Dia menemukan sebuah kotak P3K di dalamnya.

Ellie hendak berlari ke kamar Tia, saat denis mencegahnya. Denis mencengkeram lengan Ellie, menahannya agar tidak terburu buru pergi dari kamar itu.

" Apa apaan kamu?" Ellie melotot pada Denis.

" Bentar dulu!" Bentak Denis tak kalah garang.

" Tia dalam bahaya, mau apa lagi? Kita harus cepat menolongnya," Ellie mencoba melepaskan tangan Denis yang mencengkeramnya.

" Ell! Lihat itu!" Denis kembali membentak sembari menunjuk sudut kamar Mella.

Ellie dan Norita serempak menengok apa yang ditunjuk oleh Denis. Di sudut ruangan, bawah lemari kayu, tergeletak sebuah tas ransel Kumal ber merk seger.

" Apa sih?" Ellie bertanya tak mengerti.

" Tas ransel milik Yodi," gumam Norita.

Tanpa disuruh, Norita berjalan mendekati tas ransel tersebut dan membukanya. Isinya satu stel baju, topi, kupluk, dan sebuah HP dengan wallpaper bergambar Yodi menggendong anak kecil berambut panjang.

" Ini memang tas Yodi," ucap Norita.

" Hah? Bagaimana bisa?" Ellie bertanya seolah tak percaya.

" Mungkin nggak sih Mella yang menjadi dalang atas menghilangnya Yodi? Juga kematian Dipta, bisa jadi kan itu semua ulahnya," Denis bergumam sendiri.

" Nggak mungkin. Untuk apa dia melakukannya?" Ellie membantah praduga Denis.

" Coba kita pikirkan matang matang. Mella adalah seorang petugas kesehatan, bisa saja kan dia dengan alatnya memasukkan racun atau semacamnya ke tubuh Dipta? Apalagi saat Dipta tewas, tidak ada seorang pun di antara kita yang bersama Mella. Jadi, dia tak punya alibi," Denis menjelaskan argumennya.

" Lagipula aku memang curiga padanya. Semua orang yang diundang ke rumah ini adalah orang yang pernah bermasalah dengan Zainul di masa lalu. Tapi kalian sadar tidak kalau sebenarnya ada dua orang yang tidak pernah bermasalah dengan Zainul ikut pula datang kemari. Dua orang itu salah satunya adalah Mella. Sedangkan satu lagi adalah Bayu," Denis terlihat serius dengan ucapannya.

" Mungkin saja kan Mella bersekongkol dengan Zainul untuk membalas dendam pada kita?" Bisik Denis kemudian.

" Jangan mengarang. Mella pernah bercerita padaku, bahwa dia berhutang maaf pada Zainul. Dia sama dengan kita semua, orang orang yang berbuat jahat pada Zainul di masa lalu," Ellie terus membantah.

" Omong kosong Ellie. Aku tahu semua kejadian perundungan yang diterima Zainul dulu. Mella tidak pernah menjahati Zainul, tak pernah!" Denis menatap Ellie dengan tajam.

" Simpan kecurigaanmu yang tak berdasar itu! Ada yang lebih penting daripada kita berdebat kusir disini. Kita harus merawat Tia!" Ellie mengibaskan tangannya hingga cengkeraman tangan Denis terlepas.

Ellie berlari menuju ke kamar Tia. Sejujurnya dia terganggu dengan ucapan Denis. Di sudut hatinya ada ras percaya atas dugaan yang diutarakan Denis. Namun hati kecilnya berkata Mella tak mungkin sejahat itu. Ellie kenal betul siapa Mella, mereka teman sebangku sejak masa SMP dulu.

Judgment DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang