Perselisihan

38 11 21
                                        

Jam 2 siang, langit mulai menunjukkan warna birunya. Air hujan menyisakan gerimis gerimis halus dan tanah basah nan becek di halaman rumah. Semua sudah berkumpul diruang tamu. Bian, Ellie, Hendra, Iva juga Denis dan Norita yang datang paling akhir.

" Kalian lama banget sih! " Iva menggerutu kesal pada Denis dan Norita.

" Namanya juga nyari orang hilang, ya lama lah," jawab Denis santai.

" Nori, kamu kenapa? Kok terlihat lelah?" Tanya Ellie heran. Sedari tadi memperhatikan sikap Norita yang terlihat lesu.

" Ngga apa apa kok. Capek saja sih," Norita tersenyum sekilas.

" Kalian ketemu Mella, atau mungkin menemukan sesuatu?" Bayu bertanya penuh selidik.

" Ngga tuh," Denis menggeleng cepat.

" Oke, begini untuk kalian yang baru datang, Denis dan Norita. Kami baru membuat keputusan untuk tidak ada lagi sosok yang seolah olah menjadi pemimpin di antara kita, memberi instruksi, mengatur kegiatan kita dan sebagainya. Intinya kita bebas bergerak sendiri," Hendra menatap Bayu sekilas, kemudian beralih memandang Denis dan Norita.

" Ya setuju sih. Tidak ada alasan untuk kita menjadi panik berlebih. Dipta bisa jadi memang tewas tersedak kan? Bukankah tadi pagi dia masih membalas WA mu Hen?" Denis bertanya pada Hendra.

" Oh, Ah... Iya sih, benar," Hendra nampak mengingat ingat.

" Bagiku tidak masalah, apapun yang mau kalian lakukan, lakukan saja. Keselamatan diri menjadi tanggung jawab masing masing," Bayu menimpali. Dia merasa dipojokkan oleh teman temannya.

Bayu berdiri dari duduknya, kemudian melangkah pergi menuju pintu depan.

" Kamu mau kemana Bay?" Ellie bertanya.

" Aku mau mencari Galang," jawab Bayu singkat.

Sepeninggal Bayu, ruang tamu terasa lebih senyap. Tidak ada yang saling berbicara, sibuk dengan pikiran masing masing.

" Apa dia tersinggung?" Norita bertanya setelah beberapa saat lamanya hening.

" Entahlah," Denis mengangkat kedua bahu.

" Denis, bukankah kamu salah satu orang yang dicurigai oleh Bayu?" Ellie bertanya pada Denis.

" Ah yaa, aku dicurigai karena menemukan mayat Dipta. Juga aku tidak ada bersama kalian saat sang tuan rumah muncul dari kamarnya. Waktu dimana Yodi menghilang dari kamar tamu," ucap Denis sambil menggaruk garuk alisnya. Dia jelas terlihat gelisah membahas hal itu.

" Kukira itu kecurigaan tak berdasar," sambung Norita, berusaha membela Denis.

" Ngomong ngomong soal itu, sebenarnya Bayu pun orang yang layak dicurigai juga," ucap Hendra santai.

" Kok bisa begitu?" Ellie mengernyitkan dahi.

" Ya iya dong. Dia memeriksa Dipta sendirian. Meminta kita untuk tidak mendekat. Dia yang mengatakan di mulut Dipta ada kue kukus pandan. Kita semua nggak ada yang tahu kan kebenarannya seperti apa? Bagaimana jika dia berbohong? Bagaimana jika Bayu mengetahui sesuatu dan tak mengatakannya pada kita? Aku tak pernah bisa mempercayainya," Hendra nampak berapi api dengan kalimatnya.

" Baiklah. Kenapa kita tidak mencoba memeriksa mayat Dipta untuk membuktikan Bayu berbohong atau tidak?" Ellie memberi saran.

Denis dan Norita nampak bertukar pandang mendengar pertanyaan Ellie.

" Oke, ayo," Hendra nampak bersemangat.

" Ini waktunya makan siang kan? Masa sih kita mau lihat mayat? Nafsu makan bisa hilang nanti," Norita menggerutu tak setuju.

" Yasudah kamu makan saja duluan. Biar yang lain saja memeriksa mayat Dipta," Hendra menimpali.

" Aku takut sendirian. Denis temenin lah," Norita merengek.

" Kamu bisa sendiri kan? Lagian didapur  ada Mak Ijah. Aku penasaran soalnya. Tadi memang aku yang menemukan pertama kali mayat Dipta. Tapi aku tak sempat melihat dan memeriksanya," jawab Denis. Norita cemberut, bibirnya terlihat manyun kesal.

Akhirnya Hendra, Denis, Ellie dan Iva menuju lantai atas. Sementara Norita ditinggal sendirian di ruang tamu. Dengan menghentakkan kakinya, Norita berjalan menuju dapur. Dia benar benar merasa kesal terutama pada Denis.

Hendra, Denis, Ellie, dan Iva sampai di lantai atas dan langsung menuju kamar Dipta. Hendra membuka pintu kamar yang tak terkunci. Mayat Dipta masih tetap di tempatnya. Tak ada yang berubah, kondisi kamarpum sama persis seperti saat mereka tinggalkan tadi pagi.

Ellie,Denis dan Iva mendekati mayat Dipta. Mayat Dipta mulai mengalami dekomposisi atau proses peluruhan. Sehingga mulai timbul aroma aroma yang kurang sedap.

Iva memegangi hidungnya. Dalam hatinya dia membenarkan apa yang dikatakan Norita tadi. Seharusnya dia ikut Norita saja ke ruang makan. Rasa penasaran dibenaknya menuntun Iva untuk ikut memeriksa mayat Dipta. Dan keputusan itu dia sesali kini. Perutnya serasa di aduk aduk. Pusing dan mual terasa menyiksa.

Dan saat mayit Dipta diperiksa, nyatanya Bayu tidak berbohong. Sepotong kue berwarna hijau berada di ujung pangkal lidah Dipta. Beberapa ekor lalat sudah hinggap disana.

Denis dan Iva tak tahan, segera mundur beberapa langkah menjauhi mayat Dipta. Sementara Ellie masih bertahan mengamati mayat teman sekelasnya itu.

" Kamu ngapain Hen? Ngga ikut lihat?" Tanya Denis pada Hendra yang sedari tadi celingak celinguk saja di sebelah tempat tidur Dipta.

" Kalian kan sudah lihat. Aku sih cukup jadi saksi saja," Hendra beralasan.

" Bayu ngga bohong. Ada sepotong kue yang utuh di pangkal lidah Dipta. Kue yang tidak dikunyah. Jelas sekali kue itu dijejelkan ke mulut Dipta saat dia sudah tewas. Yang artinya Dipta tewas bukan tersedak, tapi karena sebab lain yang tidak kita ketahui,"ucap Ellie meyakinkan.

" Sekarang kita harus gimana?" Ellie menatap satu persatu temannya yang kini sedang berdiri mematung.

" Hendra, kamu tadi yang paling keras mengecam Bian. Kamu juga yang mengajak kita memeriksa mayat Dipta. Sekarang kamu diam saja celingak celinguk nggak jelas," Ellie menatap Hendra dengan tatapan tajam menusuk.

" Kenapa jadi menyalahkan aku? Ya sekarang terserah masing masing dong mau gimana," Hendra membela diri.

Hendra sesekali masih celingukan, seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian dia keluar kamar tanpa berbicara sepatah katapun.

" Brengsek, dia malah pergi," Ellie menggerutu geram.

Akhirnya Denis, Ellie dan Iva keluar dari kamar Dipta. Ellie kembali menutup pintu, membiarkan jasad Dipta tetap seperti semula, karena tak tahu harus berbuat apa.

" Kasihan Dipta. Apa tidak sebaiknya kita kuburkan dia dengan layak?" Denis bersuara. Dia terlihat prihatin.

" Posisi kita serba salah, kalau kita kuburkan bagaimana kalau pihak keluarganya nggak terima nanti? Belum jelas juga dia mati karena apa. Mungkin yang paling benar adalah menghubungi pihak kesehatan, atau pihak kepolisian agar mereka datang kemari," gumam Ellie.

" Iya sih. Tapi gimana caranya menghubungi pihak luar sana, saat jaringan wifi mati nggak jelas," sergah Denis.

" Harusnya ada yang keluar dari rumah ini, pergi ke desa, mencari bantuan warga. Atau kita pulang saja sore ini bareng bareng," Ellie meyakinkan.

" Hah? Nunggu besok lah, baru kita pulang. Kan besok ada warga yang kesini," Iva menimpali.

" Iya, ell. Aku nggak setuju dengan idemu kali ini," Denis pun menolak.

" Kalian lebih mementingkan uang 200 juta rupanya," ucap Ellie sinis.

" Ya bukan begitu Ell. Kita memang nggak mungkin pulang hari ini. Medan yang harus kita lewati terlalu sulit saat hujan deras baru saja mengguyur. Lagipula bagaimana dengan Mella? Yodi? Mereka belum ketemu kan? Apa iya kita tinggalkan begitu saja tanpa kejelasan. Lebih baik kita menunggu warga desa yang datang mengantar uang esok hari," Denis beralasan.

Ellie menghela nafas. Rasa kesal, jengkel dan perasaan tak berdaya bersambuk di benaknya. Mungkin benar apa yang disampaikan Bayu bahwa semua orang yang datang ke rumah ini layak untuk dicurigai. Karena bagi mereka nyawa seorang teman lama tak terlalu penting. Yang paling penting bagi mereka adalah uang.

Judgment DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang