"Turun, Nya! Udah sampai nih, ngelamun terus lo!" ujar Pipit setelah menghentikan mesin motornya di halaman rumahnya.
Gadis itu segera turun dari motor Pipit dengan pikirannya yang masih melalang buana.
Melihat Anya yang hanya diam saja, membuat Pipit kembali berujar dengan nada sedikit ketus. "Lo kesel karena nggak dapetin kos-kosan?"
Melihat sorot mata Pipit yang terlihat lelah sekaligus kesal, membuat Anya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, aku bisa cari kos-an lain besok."
Pipit menghela napas kasar sembari turun dari motornya. "Udah gue bilang tinggal di sini aja! Jelas lebih aman."
"Tapi--"
"Mama ... anakmu yang paling ganteng pulang!" Pipit tak menghiraukan Anya dan memilih masuk ke dalam rumah sembari memanggil ibunya.
Mendengarnya membuat Anya praktis memasang ekspresi mual.
"Gimana, gimana, gimana?" tanya Kukila yang keluar dari dapur dengan langkah heboh. "Gimana? Udah dapat kos-annya?"
"Nggak ada kos-an yang cocok!" jawab Pipit sembari berkacak pinggang dan menggelengkan kepalanya. "Masa dia mau ngekos di tempat rawan jambret, terus dia main tertarik aja sama kosan yang kamar mandinya umum ... kalau ada yang ngintip terus ngapa-ngapain dia gimana?"
Kukila mengangguk-anggukkan kepalanya saat putranya bercerita mengenai kos yang dicari. Pandangan wanita itu beralih menatap Anya yang masih berdiri di belakang Pipit.
"Yaudah kalau gitu, kamu tetap tinggal di sini aja! Jelas lebih aman. Kamar mandi di dalam ada dua, makan nggak usah beli, yang punya rumah nggak galak. Pokoknya harus tinggal di sini, biar rumah makin rame. Mau ya?" Kukila menatap Anya penuh harap.
"Tapi Tante--"
"Mama," ralat Kukila. "Kan udah dibilang panggil mama aja!"
Pipit menoleh menatap Anya yang kini tersenyum kikuk. Diam-diam senyum tipisnya tercetak di wajahnya yang terlihat datar.
"Aku tidak enak kalau harus tinggal di sini," ucap Anya.
"Nggak enak ya dikasih micin!" timpal Pipit.
Hal itu membuat Kukila praktis menabok pantat putranya.
"Yang sopan kamu sama tamu!" ujar Kukila menatap Pipit dengan galak. Pandangannya kembali pada Anya yang sedang memainkan jemarinya.
"Kenapa nggak enak?" Kukila bertanya lembut sembari berjalan menghampiri gadis itu.
Giliran sama gue, ngomongnya pakai otot. Batin Pipit merasa kesal. Curiga gue anak pungut kayak Apin. Eh, astaghfirullah ... nggak boleh gitu!
Pipit memutar tubuhnya hingga kini dirinya berada di belakang Kukila.
"Kan lumayan ... kamu bisa hemat uang, terus nggak tinggal sendiri, ada teman ngobrol. Kalau kamu sekolah juga udah pasti ada yang nganter. Jadi, simpan aja uang kamu, oke?"
Kalimat Kukila membuat Pipit praktis melayangkan pertanyaan bernada protesan. "Yang nganterin dia sekolah siapa? Aku?"
"Ya iya dong! Emang siapa lagi?" sahut Kukila melirik sekilas Pipit yang berada di belakangnya.
"Ya nggak bisa gitu dong, Ma! Kecuali kalau dia bayar aku," ujar Pipit. Enak saja, jika gadis itu tak membayar jasanya.
"Diem. Uang bensin juga dari mama! Motor harga puluhan juta juga yang beli mama sama papa. Kamu tinggal nyetir aja masih banyak protes!" ujar Kukila.
Pipit yang mendengar hanya bisa menghela napas pasrah. Jika membantah pun dirinya akan tetap kalah.
"Jadi gimana? Mau, 'kan tinggal di sini? Biar Awa punya teman main," bujuk Kukila sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada.