1 bulan kemudian.
Di ruangan yang pekat dengan aroma obat, terlihat Kukila mengenggam erat tangan Pipit yang berangsur mendingin. Air matanya tak berhenti untuk luruh melihat kondisi putranya yang semakin lemah.
"Ma-Ma ... sakit," lirih Pipit diiringi dengan isakan kecil.
Kukila semakin sesak mendengarnya. Seandainya rasa sakit yang dialami putranya bisa dipindahkan ke dalam tubuhnya, maka detik ini akan Kukila lakukan.
"Sayang, kamu pasti bakal sehat lagi ... anak mama bakal sembuh ... Pipit mau apa? Nanti mama turutin." Kukila berusaha menguatkan putranya di tengah rasa takut yang terus berdatangan.
"Maaf, Mama ...." gumam Pipit sembari memejamkan matanya. "Aku nggak kuat ... badanku sa-sakit semua ...."
Kukila praktis menggeleng mendengar kalimat menakutkan tersebut. "Pipit! Jangan ngomong gini! Mama nggak suka dengernya!"
Wanita itu menggenggam erat tangan putranya saat akan mengusap pipinya yang sembab.
"Pipit sayang banget sama Mama."
"Mama juga sayang banget sama Pipit. Jadi Pipit harus bertahan demi mama."
Pipit tak membalas, ia justru menarik lengan sang ibu agar memeluknya.
"Aku ngantuk, Ma," lapor Pipit yang kini telah memejamkan matanya.
"Pipit boleh tidur, asal kalau mama bangunin, Pipit harus buka matanya. Ya, Sayang?" sahut Kukila sembari menatap wajah pucat putranya.
Pipit yang masih bisa mendengar hanya menganggukkan lemah dan memeluk sang ibu begitu erat. Sakit yang dirasakan semakin menjadi, kepalanya seperti dihantam oleh benda keras hingga membuat telinganya berdenging.
Tak berselang lama, suara monitor yang semula tenang, kini berbunyi cukup panjang seiring garis lurus tanpa gelombang.
Detik itu Kukila merasakan jantungnya berhenti berdetak. Ia menatap putranya dengan napas tersendat begitu juga pelukannya yang perlahan terurai.
"Nggak! Vitra, nggak bolehin ninggalin mama! Vitra, bangun!" Kukila memekik sembari menepuk pelan pipi Pipit.
Buliran bening terus berjatuhan, rasa takut kian menjadi ketika putranya tetap bergeming dengan wajahnya yang berangsur damai.
Dengan tangan gemetar wanita itu menekan emergency call diiringi isakan pilu.
"Vitra, bangun! Buka mata kamu!" teriak Kukila begitu histeris.
"Vitraa!"
Kukila terbangun di dalam ruangan yang begitu sepi. Dengan degup jantung yang berpacu begitu cepat, netranya menjelajahi sudut ruangan di mana hanya terdengar suara monitor.
"Vi-Vitra?" Pandangan Kukila jatuh pada putranya yang terlihat bersandar di kepala ranjang dengan pandangan kosong.
"Vitraku udah bangun!" Kukila bergegas menghampiri putranya meskipun tubuhnya masih gemetar hebat karena mimpi buruk tersebut.
"Sayang, kamu udah bangun! Kamu baru aja bikin mama ketakutan, Nak!" seru Kukila sembari mengusap pipi putranya yang masih terdiam.
Akhirnya setelah sebulan berlalu. Pipit terbangun dari tidur panjangnya.
Akan tetapi ada yang berbeda di saat Pipit menjauhkan tangan sang ibu dari pipinya dengan raut datar.
Hal itu membuat Kukila menatap heran.
"Anda siapa?"
Pertanyaan dari Pipit berhasil membuat wanita itu tertegun.
🌱