BAB 1: Perhatian yang pertama

53 4 1
                                    

"Bun, Nada telat nih, topi kardus yang Nada buat mana?" teriakku sembari memasang sepatu seraya berdiri.

Aku melihat bunda sedang tergesa-gesa menghampiriku.

"Ini, lain kali disiapin biar nggak ribet kalau mau berangkat," ocehnya. Aku hanya tertawa mendengarnya, meladeni ocehan bunda sepertinya tidak akan selesai.

"Iya Bundaku, Nada berangkat dulu ya, takutnya malah dihukum kalo telat." Aku mencium tangan bunda sebelum pergi.

"Hati-hati, Nad."

Itulah ucapan terakhir Bunda yang aku dengar, pasalnya aku sedang berlari menuju pangkalan angkot yang tak jauh dari rumah.

"Bang, ke SMA Pelita Jaya, ya."

"Oke, Neng. Baru mau masuk ya?"

"Iya, Bang, buruan, takut telat."

Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk menuju ke sekolah baruku. Sesampainya di sana, aku melihat banyak sekali murid-murid yang memakai atribut sepertiku berdatangan. Itu artinya acara belum dimulai.

Aku segera memasuki sekolah baru ini, rasanya seperti mimpi ketika diterima di sekolah impian.

"PERHATIAN-PERHATIAN! UNTUK SISWA DAN SISWI BARU DIHARAP BERBARIS DILAPANGAN. TERIMA KASIH."

Mendengar itu, lantas aku langsung berbaris asal. Banyak orang yang tidak ku kenal di sini, beginikah rasanya datang ke tempat baru?

Acara demi acara sudah berlangsung, dari pembukaan oleh kepala sekolah sampai penutupan dengan membaca do'a.

Kini aku berada di kantin sekolah, menyantap mie ayam yang baru saja ku pesan. Sebelum itu, aku berebut tempat duduk karena saking padatnya murid-murid sekolah ini.

Saat sedang asik makan sambil berseluncur di sosial media, aku dikejutkan oleh suara yang berada di sampingku.

"Hai, boleh duduk di sini?" Aku menoleh, mendapati seorang laki-laki yang memakai almamater sekolah ini sembari memegang mangkuk mie ayam. Dan, sepertinya aku juga baru menyadari kalau ternyata di sampingku sudah kosong tempatnya.

"Duduk aja," jawabku. Aku sama sekali tidak mengajaknya untuk mengobrol, begitu pun dia.

Tiba-tiba hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya terjadi. Guyuran air es mengucur dari atas kepalaku. Sangat terkejut, terlebih ada suara tertawa seorang gadis.

Aku mengusap wajahku dengan kasar. "Maksudnya apa ya, Kak? Kenapa Kakak siram aku? Apa aku buat salah?" Aku menatap gadis dan  dua temannya yang ada di depanku ini.

"Alah, nggak usah banyak bacot lo, lo emang salah, salah karena lo udah sekolah di sini."

Sungguh aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Aku hanya menerima beasiswa di sekolah ini, dan aku rasa menerimanya ada keputusan terbaik.

"Sekolah yang kasi beasiswa ke aku, kenapa Kakak yang marah. Kalau mau salahin, salahin aja ke pihak sekolah," sahutku yang kini seakan menantangnya.

"Si miskin makin belagu, guys!" ucapnya seraya tertawa sombong yang diikuti oleh teman-temannya.

"Iya nih, Kak, aku emang miskin, setidaknya kalau mau berantem nggak bawa teman." Lagi dan lagi aku berucap seperti itu. Tentu saja dia yang mendengar ucapanku wajahnya terlihat merah padam, seakan tidak terima.

"Maksud lo apa, Miskin! Ngajak ribut lo, ya!" Dia dan teman-temannya bersiap untuk memukulku, tetapi suara seseorang yang membuat gerakan mereka berhenti.

"Nadia! Bisa nggak sih jangan buat masalah di sini, lo malu-maluin tau nggak!"

Aku langsung menengok tatkala orang itu membentak gadis di depanku ini. Bukannya dia yang barusan duduk di sampingku, ya? Dan juga, bukannya dia ketua OSIS yang memperkenalkan diri pas mpls tadi? Aku mencoba mengamati wajah itu. Benar, meskipun hanya sekilas melihatnya, tidak salah lagi.

"Aduh, Rama, dia harus dikasi pelajaran tau, bisa-bisanya dia dekatin kamu," ucapnya dengan manja lalu ingin menghampiri laki-laki itu, namun nahasnya dirinya ditolak mentah-mentah. Rasanya aku ingin tertawa saja, apalagi melihat wajah garang dari laki-laki yang bernama Rama itu.

"Dia nggak deketin, gua cuma mau makan di tempat yang kosong, dan kebetulan di samping dia ada tempat yang kosong. So, lo nggak usah buat keributan yang nggak penting kayak gini. Buat gua nggak nafsu makan aja. Sekali lagi gua liat lo ngebully murid di sini, nggak segan-segan gua laporin ke kepsek. Paham lo!"

Aku melihat gadis yang bernama Nadia ini menelan ludah secara kasar setelah diberi ancaman oleh Rama. Rasanya aku ingin tertawa melihat dirinya yang menciut ini, sangat berbanding terbalik sikapnya.

"Dan buat kamu murid baru, cepat ke UKS. Sekolah punya beberapa seragam khusus cadangan, sekalian bersihkan wajahmu. Tunggu di sana, nanti saya akan konfirmasi ke penjaga UKS nya."

"Baik, Kak."

Aku hanya menurut saja, daripada mencari masalah. Melihat Rama yang melenggang pergi membuat aku sedikit terkesima. Entah lah, rasanya seperti ada kupu-kupu di dalam perutku ini.

"Heh, miskin! Senangkan lo dibelain Rama. Awas aja kalo gua liat lo lagi berduaan sama Rama, gua bakal buat lo lebih kayak gini. Paham lo!" tunjuk Nadia ke wajahku. Entah apa yang harus aku ekspresi kan untuk ancaman dia. Tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Aku hanya diam menatap kepergian Nadia dan teman-temannya dengan datar.

Belum juga masuk sekolah sudah menjadi pusat perhatian. Malu, sangat malu ketika dipermalukan seperti ini. Tapi aku bisa apa, kecuali diam.

Aku mengambil ponselku lalu berjalan menuju UKS. Sebenarnya aku tidak tahu tempat itu ada di mana, untung saja aku membaca pesan grup mpls sekolah yang memberikan denah sekolah. Saking fokusnya memahami denah itu, kepalaku tiba-tiba terbentur. Tidak sakit, dan sepertinya ini bukan tembok. Aku mendongak, astaga kenapa dia lagi, pikirku. Aku menabrak dadanya, tapi kenapa dia diam saja. Huh, bikin aku malu saja.

"Hati-hati kalau jalan. Mau ke uks?"

Aku mengangguk. Mengikuti laki-laki itu di belakang. Mungkin aku harus hati-hati kali ini, supaya kejadian barusan tidak terulang. Huh, dasar!

"Lain kali kalo Nadia kayak gitu, lebih baik pergi aja, jangan ngeladenin orang nggak jelas itu." Mendengar Rama berbicara, aku langsung mengangguk meskipun Rama tidak melihatnya.

Sesampainya di UKS, Rama berbicara dengan penjaga di sana, entah apa yang dibicarakan aku tidak tahu, aku menunggu di luar, menunggu intruksi dari Rama.

"Masuk, ganti baju kamu. Dia bakal temanin kamu disini, soal acara lanjutan nanti kamu nggak usah ikut, nanti saya akan kasi tau anggota OSIS yang lain. Takutnya Nadia akan berulah lagi, tunggu disini, jangan ke mana-mana. Nanti saya kesini lagi," ucapnya lalu pergi begitu saja. Jujur aku dibuat melongo, untuk apa aku tunggu dia di sini? Lebih baik aku pulang saja. Eh, tapi gimana aku mau keluar, kan dijaga sama satpam. Huft, malas banget nungguin laki-laki itu, protektif banget, kayak orang pacaran aja.

Hubungan Tanpa StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang