"Mau sampai kapan kamu mencintainya?"
***
Mentari pagi mulai menerobos masuk ke kamarku. Kicauan burung terus saja bersuara memenuhi isi ruangan ini. Sedari tadi aku berjalan gelisah, menunggu pintu kamarku akan dibuka atau tidak oleh Ayah. Pasalnya, hari ini Olimpiade akan dimulai.
Krek..
Sepertinya pintu kamar sudah dibuka. Benar saja, Ayah yang membukanya. Beliau masuk ke kamarku, dengan tatapan tajamnya lalu berkata, "Hari ini Ayah izinkan kamu untuk sekolah, untuk ke depannya kamu akan sekolah di rumah."
"Ayah, kok gitu, aku juga mau sekolah seperti anak-anak biasa."
"Kamu mau nurut, atau hari ini tidak usah sekolah."
Aku mengangguk pasrah, ingin menolak tapi tidak mau meninggalkan lomba ini.
"Ayah yang antar hari ini ke sekolah, Ayah tidak mau kamu berurusan lagi dengan keluarga Melvin."
Melvin? Bagaimana dengan keadaannya sekarang? Pukulan Ayah semalam tidak sebanding dengan pukulannya, meskipun Melvin pernah menjuarai karate, tetapi dia lebih memilih untuk mengalah.
"Baik, Ayah."
Aku segera menyambar tasku yang berada di kursi belajar, dan mengekori Ayah menuju mobilnya. Selama di perjalanan, tidak ada yang berbicara, baik aku maupun Ayah.
Aku melihat dari sudut mataku, Ayah sedang mencoba menelpon seseorang.
"Kamu tunggu depan saja, nanti Ayah titipikan dia sama kamu."
Begitulah kata Ayah ketika sedang menelpon seseorang. Aku berpura-pura tidak mendengar ucapan Ayah, mataku terus fokus ke jalanan yang lumayan ramai.
Selang beberapa menit, akhirnya gedung sekolahku terlihat, banyak para murid yang berdatangan. Ayah menghentikan mobilnya tidak jauh dari pagar sekolah.
Saat aku ingin membuka pintu mobil, ternyata masih dikunci oleh Ayah. Baru saja aku ingin protes, Ayah kembali menelpon seseorang.
"Ayah sudah sampai, kamu cepat ke sini."
Telepon dimatikan sepihak oleh Ayah. Apa yang sedang Ayah rencanakan? Huh, menyebalkan sekali. Aku melipatkan kedua tanganku di dada lalu menyenderkan kembali punggungku ke kursi mobil.
Mataku menangkap sosok laki-laki yang sedang celingak-celinguk lalu berlari ke arah mobil Ayah. Buat apa dia ke sini? Apa jangan-jangan Ayah yang menyuruh dia?
Ceklek...
Terdengar suara kunci dibuka, buru-buru aku langsung keluar dari mobil dan diikuti oleh Ayah juga.
"Rama, Ayah titip Nada, ya," kata Ayah sembari menpuk pundak Rama dua kali.
"Iya, Ayah, nanti aku yang jagain Nada."
"Ayah, aku udah besar, nggak perlu dijaga oleh siapa pun!" kataku yang menatap Rama dengan tajam.
"Nurut atau kita pulang."
Selalu aja begini, Ayah tahu kalau aku tidak bisa menolak perintahkan karena tidak bisa memilih. Aku menghela napas kasar lalu berkata, "Terserah." Aku memilih untuk masuk ke sekolah daripada mendengarkan ucapan mereka. Toh, sama saja.
"Kalau gitu, Rama susul Nada dulu, ya, Yah." Begitulah kalimat terkahir yang aku dengar sebelum memasuki pagar sekolah. Entah apa jawaban Ayah, yang pasti aku berjalan dengan cepat menghindari Rama.
"Nada, tunggu!"
Tuh, kan, Rama pasti mengejarku. Aku memelankan langkahku, percuma kalau aku mempercepatnya, tidak akan bisa menghindar.
"Kenapa?" tanyaku saat posisi aku dan Rama berjalan dengan sejajar.
"Ayah nitipin lo ke gue, jadi gue harus jagain lo terus hari ini," katanya yang membuat jengkel.
"Terus kalau aku mau ke kamar mandi, Kak Rama juga ikut?" tanyaku yang tidak suka ucapan dari Rama.
"Ya ... Mungkin."
"Gila."
Aku kembali melangkah, kali ini aku tidak ke kelas, melainkan ke ruangannya Bu Lala. Sesekali melewati siswi yang berada di koridor sekolah tampak sinis ketika melihatku, sudah pasti karena ada Rama di sampingku.
Tok tok tok...
"Permisi," ucapku sembari membuka knop pintu ruangan Bu Lala.
"Masuk." Aku dan Rama memasuki ruangan Bu Lala, lalu duduk di sofa yang kosong.
"Nada, untuk hari ini kamu ke sekolah Bina Bangsa ditemani oleh Ibu dan Rama, ya, dan juga nanti kita pakai mobilnya kepala sekolah."
"Baik, Bu."
"Rama, kamu sudah mengajari Nada, kan?" tanya Bu Lala dengan serius ke arah Rama.
"Sudah, Bu," jawabnya.
"Kalo kamu, Nada, gimana? Susah tidak materi yang diajarkan oleh Rama?"
"Saya sudah mempelajarinya, Bu."
Bu Lala mengangguk, "Baiklah kalau gitu. Mari kita berangkat ke sana. Takutnya kita terkena macet, karena perjalanannya lumayan jauh."
Aku dan Rama segera berdiri, lalu mengikuti Bu Lala untuk menuju parkiran. Suasana koridor kali ini tampak sepi, karena bel masuk sudah berbunyi dari lima menit yang lalu.
Aku dan Rama berjalan di belakang Bu Lala yang sedang menelpon entah dengan siapa. Tiba-tiba, tanganku digenggam. Aku langsung menoleh ke arah Rama, pandangan laki-laki itu fokus ke depan, tidak membalas tatapanku. Aku mencoba ingin melepasnya, tapi sangat sulit. Aku pasrah, sepertinya biarkan saja seperti ini sampai waktunya tiba, genggaman ini tidak akan pernah merasakannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Tanpa Status
Teen FictionCERITA INI MENGGUNAKAN ALUR MUNDUR, YA, TEMAN-TEMAN!! SELAMAT MEMBACA! "Dari awal memang salahku, mencintai seseorang yang memang tidak menginginkan untuk bersama. Senang pernah bersama mu, mungkin jika ada kehidupan yang kedua kalinya, aku tidak ak...