"Batinku capek, mentalku hancur, isi kepalaku berantakan."
***
"Ambil saja anak itu, saya sudah mendapatkan keingan saya. Saya rasa sudah tidak penting untuk mengurusnya."
Deg.
Apa maksud Ayah? Keinginan apa? Sepertinya belum ada yang menyadari kehadiranku di sini. Aku melihat ada Ayah, Bunda, Sarah, Kakek Marco, dan Melvin.
"Keterlaluan memang kamu ini, saya pastikan setiap langkah anak itu karmamu selalu berjalan," kata Kakek Marco dengan wajah yang menahan marah.
"Hahaha, saya tidak peduli. Yang penting harta milik Salsa jatuh ke tangan saya. Sisanya saya tidak mau," jawab Ayah dengan senyum sinis. Hatiku terasa sakit, ternyata kebaikan Ayah selama ini hanya pura-pura saja.
Ya Tuhan, kenapa dengan aku? Kenapa aku selalu menerima masalah yang bertubi-tubi.
"Kurang ajar kamu!" Kakek Marco berdiri bersiap untuk memukul Ayah.
Aku langsung bergegas masuk. Mereka semua terkejut dengan kehadiranku. Aku menatap tidak percaya ke Ayah. Apa mungkin alasan Ayah selama ini menyuruhku untuk memutuskan hubungan dengan Kakek Marco adalah untuk menguasai harta Bunda Salsa.
"Nada," lirih Kakek Marco. Aku berlari, memeluk erat tubuh rentanya. Kakek Marco mengusap rambut belakangku, aku menangis tanpa suara. Rasanya sakit sekali ketika dikhianati oleh keluarga sendiri.
"Kebetulan kamu ada di sini, kamu tanda tangan ini," ucap Ayah yang membuatku melepaskan pelukan Kakek Marco. Aku menatap kertas yang ada di meja lalu beralih ke Kakek Marco, beliau mengangguk. Sepertinya beliau memahami gerakanku. Aku segera menandatangani kertas yang ada namaku di bagian kiri bawah.
"Sekarang kamu boleh ikut mereka, Ayah tidak melarang lagi," kata Ayah sembari menyenderkan punggungnya ke sofa yang tangannya dilioat di dada.
Aku menggeleng, tertawa rendah seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.
"Kenapa Ayah tega banget sama aku? Kenapa Ayah lakuin ini sama aku? Dan perlakuan yang Ayah tujukan selama ini hanya pura-pura?" Ayah hanya mengangkat kedua bahunya dengan kedua bibir yang sedikit dimajukan seolah mengejek.
"Haha, oke. Aku akan ikut dengan Kakek Marco, semoga Ayah sehat selalu, ya," ucapku lalu melangkah memasuki kamarku untuk mengambil baju dan yang lainnya.
Ketika aku membuka pintu kamarku, pemandangan yang tidak pernah aku pikirkan. Kosong. Barang-barangku tidak ada. Tetapi, aku melihat ada tiga koper besar yang berdiri di samping kasurku. Apa memang ini sudah direncanakan? Aku menangis, hatiku semakin sakit, ternyata Ayah memang sekejam itu untuk mendapatkan harta bunda Salsa.
Aku berjalan ke arah koper itu dengan rasa sakit yang sangat sulit diartikan. Sosok ayah yang selalu baik selama ini ternyata menjadi ujung belati yang menancap di hati, yang entah kapan akan sembuhnya.
Aku meraih gagang koper itu dengan tangan gemetar. Sepertinya anxiety ku kambuh lagi, tiba-tiba ada tangan kekar yang memegang tanganku di gagang koper ini. Aku menoleh lalu mendongak, posisi orang itu ada di samping kananku.
Aku langsung menubrukkan tubuhku ke pelukannya. Dia hanya mengusap rambut belakangku tanpa bicara.
"Vin, kenapa Ayah seperti itu, hiks, hiks," kataku yang sudah tidak kuat menahan tangis. Yap, Melvin menghampiriku. Entah kenapa perasaanku sekarang nyaman berada di pelukannya? Aku tidak memikirkannya saat ini, air mataku terus sama mengalir, membasahi kemeja biru yang dia pakai.
"Padahal selama ini aku selalu mendambakan sosoknya, aku selalu bilang ke teman-temanku kalau ayah adalah orang tua terbaik, ayah adalah sosok yang penyayang, ayah selalu ada untuk anak perempuannya, tapi sekarang apa, Vin? Ayah rela buang aku yang anak perempuan kandungnya demi harta!"
"Menangislah, jika dengan tangisanmu itu memang bisa buat hati kamu tenang, meskipun sedikit," katanya yang terus mengusap rambutku lalu dia melepaskan pelukannya dan menangkup kedua pipiku, dengan kedua ibu jari yang mengusap air mata yang mengalir.
"Nad, kamu nggak salah berasumsi seperti itu, wajar saja jika seorang anak memiliki pikiran seperti kamu. Tapi yang kamu harus ingat, tidak ada seseorang yang memang benar-benar sempurna, mungkin hanya satu atau dua persen dari orang-orang yang ada di dunia ini. Sudah, sekarang kita pergi dari rumah ini. Pintu rumah kakek selalu terbuka buat kamu," ucapnya lalu menarik dua koper milikku, sedangkan aku hanya membawa satu koper.
Aku melewati ruang tamu, aku menengok sebentar ke arah mereka yang selama ini aku anggap keluarga. Satu per satu kulihat wajah mereka yang berbeda ekspresinya. Ada Bundanya Sarah yang menatapku dengan tatapan antara senang dan sedih. Aku beralih ke Sarah, dia menatapku dengan tatapan mengejek, "Gue menang," ucapnya tanpa suara, aku tidak memedulikannya. Terakhir, aku melihat wajah Ayah yang enggan untuk menatapku. Pandangannya lurus ke depan menatap jendela. Se menyedihkan ini hidupku.
Aku membuang kasar napasku dan ku lanjutkan langkahku menuju mobil Melvin yang ternyata sudah ada Kakek Marco yang menunggu. Aku memberikan koperku ke Melvin untuk dimasukkan ke bagasi mobil, lalu aku masuk ke dalam mobil.
Melvin membawa mobil dengan kecepatan sedang, dengan kakek yang berada di sampingnya. Tatapanku saat itu memang kosong, pikiranku sangat ramai. Bahkan aku bingung aku sedang memikirkan apa.
Aku baru sadar ketika mobil tiba-tiba berhenti. Aku melihat ke arah luar yang ada hanya mobil-mobil saja yang lewat. Tunggu, ini bukannya di tol?
"Kakek, kita mau ke mana?" tanyaku sambil melihat-lihat luar mobil dari jendela.
"Kita akan ke Bandung, Nak. Nggak apa-apa, kan?"
"Ke Bandung? Gimana sekolahku, Kek?"
"Itu akan diurus besok oleh suruhan Kakek, kamu tenang aja."
"Baik, Kek."
Hanya itu percakapan kami, mataku tertangkap oleh Melvin ketika melihat dirinya dari kaca mobil yang ada di depan. Aku sedikit ... salah tingkah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Tanpa Status
Teen FictionCERITA INI MENGGUNAKAN ALUR MUNDUR, YA, TEMAN-TEMAN!! SELAMAT MEMBACA! "Dari awal memang salahku, mencintai seseorang yang memang tidak menginginkan untuk bersama. Senang pernah bersama mu, mungkin jika ada kehidupan yang kedua kalinya, aku tidak ak...