BAB 12: Dicintai atau mencintai?

12 2 0
                                    

"Melepaskan juga bagian terbaik dari mencintai, bukan?

***

"Ih, Kang Melvin teh modus ke Neng Nada, pake segala pegangan tangan ceunah."

Mendengar ocehan dari Mang Didi, Melvin melepaskan tanganku, tatapan matanya terlihat jengkel ke Mang Didi.

"Ah, si Mang Didi mah ganggu aja," ucap Melvin.

"Hihihi, yasudah ini Mamang taro pesanannya, Mamang pergi deh, nggak mau ganggu kalian."

Aku tersenyum kecil melihat tingkah mereka berdua. Mang Didi yang suka ngeledek Melvin tidak pernah hilang sikapnya.

"Nad, besok aku bakal kembali ke Bandung. Aku harap kamu tidak menolak permintaan dari Kakek."

"Sepertinya kamu sudah tau jawabanku, Vin."

Dia mengangguk mendengar perkataanku. Kami berdua memakan es krim sambil melihat warna-warni bunga di taman ini. Sungguh, aku sangat merindukannya.

Hari sudah semakin sore. Astaga, aku baru sadar kalau sekarang lagi ada di Bandung. Aku melihat jam yang ada di ponselku, ternyata sudah pukul lima sore. Haduh, bagaimana ini? Perjalanan ke Jakarta memakan waktu dua jam, bisa mati aku kalau ketahuan ayah pulang telat, apalagi pulangnya bareng sama Melvin.

"Vin, apa kita bisa pulang sekarang. Aku takut dimarahin ayah," ucapku yang entah kenapa malah meneteskan air mata.

"Hey, kenapa nangis. Kita pulang sekarang, ya. Kamu jangan takut, ada aku di sini."

Aku dan Melvin berjalan ke mobil dengan terburu-buru. Pikiranku tidak karuan, perasaan takut dan gelisah menjadi satu.

Selama di perjalanan tidak ada yang berbicara. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang akan terjadi, tanganku terus bergetar. Sangat sulit untuk mengendalikannya, perasaan takut sudah benar-benar menguasai diriku.

Benar saja, hari sudah malam. Senja sudah menutupi keindahannya dengan kegelapan. Mobil milik Melvin memasuki kawasan perumahanku.

Sesampainya di depan pagar rumahku, lantas aku langsung membukanya. Terlihat di sana, di halaman rumahku sudah ada Ayah, Bunda, dan Sarah. Tunggu, bukannya itu Rama? Tapi untuk apa di ada di sana?

Aku berjalan dengan takut, apalagi Ayah menatapku dengan tajam, dengan tangan yang dilipat di dadanya.

"Assalamualaikum, Ayah."

"Darimana saja kamu?"

"Dari Taman, Ayah."

"Perempuan apa kamu ini, main sampai nggak ingat waktu. Ayah dengar kamu dijemput sama laki-laki? Siapa dia?"

Aku diam, tidak menjawab. Bagaimana Ayah bisa tahu kalau aku bersama laki-laki, apa Rama yang memberitahu ke Ayah? Sontak aku langsung mengalihkan pandangan ke Rama, laki-laki yang ada di belakang Ayah ini hanya menunduk, tidak mau menatapku.

"Dengar, nggak! Kamu dijemput sama siapa!" bentak Ayah.

Aku terkejut, jantungku tidak karuan menerima bentakan dari Ayah. Sebenarnya sudah sering mendapat perlakuan seperti ini, bedanya di sini sedang ada orang lain.

"Sama saya, Om."

Aku menengok ke belakang. Kenapa Melvin belum pergi. Gawat kalau ketemu sama Ayah, bisa-bisa perang dunia ketiga terjadi.

"Kamu?" tunjuk Ayah ke Melvin yang berjalan menghampiriku lalu berdiri sejajar denganku.

"Iya. Saya Melvin, cucu dari Kakek Marco."

"Buat apa kamu ke sini? Ingin mengambil anakku? Seperti yang kakekmu lakukan? Saya pastikan itu tidak akan pernah terjadi."

"Niat saya memang itu, Om. Tapi saya memikirkan keadaan, Om, kalau saya menculiknya. Benar, kan, Om? Atau, Om, tidak peduli dengan keadaan anak, Om, ini."

"Kurang ajar." Ayah menarik kerah baju milik Melvin, sebuah bogeman keras dari Ayah melayang ke wajah Melvin. Aku langsung melepas keduanya, sayangnya tenagaku tidak kuat.

"Ayah! Sudah, Yah, kasian Melvin," ucapku yang tidak diindahkan oleh Ayah.

"Nada."

"Nada."

Tiba-tiba pukulan Ayah mengenai wajahku, tubuhku langsung tersungkur. Aku memegangi pipi kiriku yang terasa panas, darah dari sudut bibirku mengalir. Sudah lama aku tidak merasakan pukulan ini.

"Nada, lo nggak apa-apa?" Aku mendongak, melihat Rama di depanku. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika tahu Rama terlihat ingin menangis melihat kondisiku. Dia mengulurkan tangannya, aku masih berdiam diri, menatap tangan orang yang ku cintai.

Lagi dan lagi, Rama tersingkirkan oleh tubuh milik Melvin, dia langsung membantuku untuk berdiri.

"Kamu nggak apa-apa, Nad? Bibir kamu berdarah, ayo ke rumah sakit."

"Aku nggak apa-apa, Vin, sungguh. Justru kamu yang nggak baik, luka kamu lebih banyak dibanding lukaku."

Aku melirik sebentar ke arah Rama, terlihat tatapan marah ke arah Melvin. Aku dihadapkan oleh sebuah pilihan, pilihan yang aku cintai, dan pilihan yang mencintaiku.

"Nada! Masuk!!"

Aku melepaskan pegangan Melvin di pundakku. Aku menuruti perintah dari Ayah. Aku takut, takut Melvin kena imbas dari marah Ayah. Sebelum pergi, Aku melihat Melvin menggeleng, pertanda tidak setuju. Aku mengangguk, seolah mengatakan kalau aku akan baik-baik saja, meskipun tidak tahu nanti.

Aku berjalan masuk ke rumah duluan. Baru saja aku memasuki kamar, terdengar suara pintu ke kunci dari luar. Yang jelas itu pintu kamarku.

Aku langsung mengeceknya, benar saja aku dikurung di kamarku. Tidak boleh, ini tidak boleh terjadi.

"Ayah, Ayah," panggilku yang terus membuka paksa pintu ini meskipun hasilnya nihil.

"Ayah, jangan kunciin aku, Yah. Buka, Ayah." Air mataku terus saja mengalir, sesekali aku menyekanya.

Gedoran demi gedoran aku lakukan, tapi tetap saja Ayah tidak membukanya. Aku tidak menghiraukan tanganku yang sedikit lebam akibat memukul pintu.

"Kamu, Ayah kurung untuk beberapa hari ini, apa peringatan Ayah selama ini tidak kamu dengar? Sudah berapa kali Ayah bilang untuk tidak berhubungan dengan keluarga Marco. Dan, sekarang, kamu melanggarnya."

"Ayah, Nada janji nggak akan ngelakuin ini lagi, buka pintunya, Yah, besok aku ada Olimpiade, tolong buka pintunya untuk besok aja."

Tidak ada suara, tapi aku yakin Ayah mendengar permintaanku. Aku berjalan ke arah kasur lalu merebahkan tubuhku. Sepertinya permintaan Kakek Marco tidak salah juga kalau aku setuju. Aku menatap langit-langit kamar, memikirkan apa yang harus aku lakuin besok.

***

Bersambung..

Hubungan Tanpa StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang