BAB 15: Kebenaran 1

9 1 0
                                    

"Akan ku pastikan, anak broken home sepertiku akan sukses"

***

"Juara pertama diraih dari Sekolah Bunga Bangsa, Ananda Mawar. Selamat buat Ananda Mawar, kami persilakan untuk naik ke atas podium."

Suara riuh tepuk tangan menggema diruangan ini. Aku berdoa dalam hati supaya aku masuk ke dalam list juara ini.

"Sekarang kita lanjut yang juara kedua ini. Wah! Sepertinya sekolah ini tidak ketinggalan juga. Juara dua kali ini dimenangkan oleh sekolah yang sama tahun lalu? Siapa dia?"

Aku memejamkan mataku sambil menangkup kedua tanganku.

"Juara kedua dimenangkan dari Sekolah SMA Pelita Jaya. Selamat buat Nada Salsabila."

Aku membuka mataku, mataku tiba-tiba berembun. Ya Tuhan, terima kasih sudah mengabulkan permintaanku. Bu Lala yang di sampingku langsung memeluk. Beliau juga menangis.

"Huhuhu, Selamat, ya, Nak. Kamu hebat," ucapnya lalu memberiku dua acungan jempol.

"Untuk yang juara kedua, kami persilakan untuk naik ke podium."

Suara MC membuatku langsung keluar dari barisan bangku lalu melangkah untuk menaiki podium yang di bawahnya tertulis angka dua. Dari sini aku melihat wajah Rama yang menenangkan. Tidak-tidak, aku tidak mau mengembalikan rasa itu lagi.

Setelah juara tiga diumumkan, pihak panitia segera memberikan piala, medali, dan juga sertifikat. Aku menunduk sedikit tatkala panitia ingin memasangkan medali ke leherku.

Bunda Salsa, aku berhasil, batinku.

Suara riuh tepuk tangan kembali menggema. MC mengumumkan untum bubar karena acara sudah selesai.

Saat kami sedang berjalan keluar. Aku mendengar percakapan antara Ayah dan anak. Sepertinya anak itu sedang menangis. Tunggu, bukannya dia yang mendapat juara tiga?

"Kamu itu gimana sih? Udah Papah bilang harus mendapat juara satu. Ini malah dapat juara tiga. Dasar bodoh."

"Maaf, Pah."

"Maaf kamu itu tidak berguna. Papah akan menambah jadwal les kamu supaya lebih pintar, biar tidak main terus."

Aku melihat kondisi anak itu sepertinya tidak baik. Tubuhnya yang kurus serta lingkaran matanya yang hitam, mungkinkah anak itu sangat bekerja keras untuk menuruti perintah Papahnya? Aku sangat tidak tega melihat itu.

Aku kembali sadar ketika tertinggal jauh, buru-buru aku mensejajarkan langkahku.

"Maaf, Bu, Pak, sepertinya kami akan pulang terlebih dahulu, soalnya Ayah Nada menitipkan Nada untuk diantar pulang sama Rama."

Aku, Bu Lala, dan Pak Jumo tiba-tiba menghentikan langkah ketika Rama meminta izin kepada mereka. Aku sama sekali tidak beraksi apa pun, percuma juga menolak, pasti akan diadukan oleh ayah.

"Baiklah kalau gitu. Awas aja kamu macam-macam dengan Nada, Ibu jewer kamu," kata Bu Lala yang langsung mendapat anggukkan cepat dari Rama. Humh, sepertinya laki-laki itu sangat takut dengannya. Unik juga.

Aku dan Rama memilih berpisah dari Bu Lala dan Pak Jumo. Rama menarik tanganku untuk masuk ke sebuah mobil. Aku tidak khawatir ketika masuk ke dalam mobil ini bersama Rama, karena ini taksi online yang sudah Rama pesan tadi. Darimana aku tahu, aku melirik sedikit ke arah ponsel Rama ketika ada notifikasi kendaraan yang hampir sampai.

Diperjalanan kami sama-sama diam, aku sama sekali tidak berniat untuk berbicara. Tidak tahu dengan Rama.

"Nad, maaf untuk hari itu."

Aku mendengarnya, mataku masih menatap jendela mobil, tidak menoleh sama sekali.

"Maaf untuk apa, Kak? Apa Kak Rama berbuat kesalahan sehingga meminta maaf?" tanyaku tanpa menoleh.

"Iya, gua udah buat kesalahan sampai lo kena pukulan dari ayah."

Aku menengok ke arah Rama. "Lalu apa bisa Kak Rama mengembalikan waktu supaya aku tidak kena pukulan dari ayah?"

"Maaf, Nad."

"Kamu tau, Kak, dia hampir kehilangan nyawanya kalau aku tidak memisahkan dari ayah," kataku dengan mata yang berkaca-kaca mengingat kejadian semalam di mana Melvin benar-benar pasrah ketika dipukuli oleh ayah.

"Gua nggak peduli dengan dia yang lo maksud, Nad. Gua cuma peduli sama lo."

"Tapi, aku peduli, Kak. Aku peduli sama dia. Aku sudah mengenal dia dari aku masih kecil, sedangkan Kak Rama? Hanya sebentar, bukan? Jadi, jangan merasa Kak Rama telah mengenalku lebih lama."

Setelah berkata seperti itu, aku langsung membuang pandanganku. Tidak sanggup menatap matanya. Aku tahu, dia menangis. Matanya juga berkaca-kaca ketika aku membandingkan dirinya dengan Melvin.

Tak lama akhirnya sampai juga di depan rumahku. Aku sedikit bingung ketika melihat ada mobil hitam terparkir di halamanku. Tunggu? Bukannya ini mobilnya Melvin? Jadi, dia belum pulang ke Bandung.

Aku langsung turun dari taksi online itu dan berjalan cepat untuk masuk ke rumah. Tidak memperdulikan Rama yang memanggilku. Sepertinya Rama juga ikut turun. Baru saja aku ingin mengetuk pintu, aku mendengar obrolan yang membuatku sangat terkejut apa ayah memang setega itu kepadaku?

***
Lanjut?

Hubungan Tanpa StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang