BAB 20: Sekelas dengan pembully

2 0 0
                                    

Aku mengikuti langkah Kepala Sekolah menuju kelas jurusanku di SMA. Rasa takut dan gugup menjadi satu. Kini aku telah sampai di kelas, tidak-tidak. Aku menunggu di luar kelas, biar Pak Kepala Sekolah ini yang masuk terlebih dahulu. Aku melihat beliau berbincang dengan guru yang ada di sebelahnya.

"Ayo, Nak, masuk," ucapnya lalu kulangkahkan kaki ini untuk masuk ke dalam kelas yang tadinya terdengar ricuh.

"Kalau gitu Saya tinggal dulu ya, Bu Rahma," pamit Bapak Kepala Sekolah itu.

Aku menatap murid yang ada di kelas satu per satu, yang paling membuatku terkejut ada seseorang yang pernah ku temui sedang menatapku dengan tatapan yang terlihat sedikit mengejek.

"Ayo, perkenalkan dirimu."

"Halo, Saya Nada Salsabila. Pindahan dari Jakarta, salam kenal semuanya."

"Baiklah, kamu duduk di belakang ya? Soalnya cuma tempat itu aja yang kosong."

"Iya, Bu." Entah kenapa tiba-tiba perasaanku mulai nggak enak. Bangku kosong yang dibilang Guru itu ternyata di samping laki-laki yang baru saja ku temui saat itu.

Aku sedikit menggeser bangku supaya tidak terlalu berdekatan, tapi sayangnya malah ditahan oleh dia. Aku sedikit menahan napasku ketika mata kami bertemu, buru-buru aku mengedarkan pandanganku ke arah yang lain.

"Arjuna! Ibu harap hari ini kamu tidak buat masalah!"

Sepertinya guru itu tahu keresahan diriku, makanya sampai menegur laki-laki yang ada di sebelahku.

"Iya, Bu, tenang aja. Apa sih yang nggak buat Bu Rahma tercantik di sini."

"Sudah-sudah, lanjut materi yang tadi Ibu jelaskan ...."

***

Suara riuh gadis-gadis di kelas ini saat bel istirahat membuatku sedikit melihat-lihat mereka.

"Omaygat!! Melvin beneran ke kelas kita? Ganteng banget woi, pasti dia mau jemput gue."

"Alah, ge er lo, dia itu mau ngajak gue ke kantin."

"Eh, tapi kenapa ya Melvin malah ngelihat si anak baru itu? Apa dia pacarnya?"

Begitulah bisik-bisik yang ku dengar. Aku melihat Melvin ketika dia sedang berdiri di depan pintu kelasku. Dia mengangguk, seolah mengajakku untuk keluar. Aku hanya menuruti perintahnya.

Saat aku menghampirinya, mengapa tiba-tiba raut wajah Melvin seperti sedang menahan amarah. Tatapan tajamnya seakan ingin membunuh, tapi dia tidak melihatku, aku mengikuti pandangan Melvin dan yap, Juna teman sebangkuku sedang beradu tatap dengan Melvin.

Aku segera membawa Melvin menjauh sebelum ada keributan. Selama berjalan di koridor sekolah, kulihat tangan Melvin masih mengepal. Sontak aku langsung mengenggamnya, dia berhenti melangkah, menatapku dengan sendu. Tangannya juga membalas genggamanku, kami berhadapan, aku mengelus dadanya, dia kembali menghembuskan napas kasarnya.

"Maaf."

Aku tidak mengerti kenapa Melvin tiba-tiba minta maaf.

"Untuk apa? Aku rasa kamu nggak buat salah, Vin?"

"Bukan itu," katanya yang membuatku mengerutkan kedua alisku.

"Maaf, karena kamu udah melihat wajah emosiku."

Aku sebenernya ingin tahu kenapa Melvin bisa seperti tadi. Tetapi, untuk sekarang belum waktunya untuk bertanya itu.

"Aku minta kamu jangan dekat-dekat dengan Juna, ya, dia nggak baik. Kamu harus hati-hati. Kalau ada apa-apa, telpon aku."

"Iya, Vin."

Melvin merangkulku menuju kantin. Sesampainya di sana, banyak pasang mata siswi-siswi menatapku dengan sinis, aku hanya bis menundukkan kepalaku sampai Melvin mengajakku untuk duduk di salah satu meja yang berada di sebelah kiri, tepat di samping dinding.

"Sepertinya aku menjadi pusat perhatian saat ini," gumamku pelan.

"Jangan dilihat, mereka memang seperti itu. Kamu mau pesen apa? Biar aku pesenin."

"A-aku ... Samain aja deh."

Aku terkejut saat Melvin bicara, sepertinya dia mendengar ucapanku.

"Yaudah, aku pesen dulu, ya. Kamu tunggu sini," katanya lalu melangkah pergi menuju penjual makanan.

Aku tidak berani melihat sekeliling kantin ini, tatapan siswi di sini seperti ingin menerkamku hidup-hidup, yang bahkan aku sendiri tidak mengerti kenapa aku mendapatkan perlakuan ini, aku merasa aku tidak membuat kesalahan apapun.

Tak lama Melvin membawa nampan yang berisi makanan ini. Ternyata Melvin memesan mie ayam dan es teh.

"Inget, jangan pakai sambel. Nanti lambungnya kumat."

Pergerakan tanganku terhenti saat ingin menyendok sambel.

"Dikit aja, pliss."

"Hem, okey."

Aku mengambil sambel itu satu sendok full, lalu dengan cepat aku menuangkannya ke mangkok mie ayamku. Aku melirik Melvin yang sedang memelototi aku.

"Hehehe, udah dituang ke mangkoknya."

"Awas aja nanti ngeluh sakit, aku nggak mau nolongin," ucapnya. Wajahnya berubah datar. Aku hanya mengacungkan satu jempolku, pertanda baik-baik saja.

Kami berdua tidak ada yang berbicara saat makan, sampai ada seseorang yang menghampiri Melvin.

"Melvin, ini proposal yang harus ditanda tangani."

Satu kata yang aku lihat seseorang yang menghampiri Melvin. Cantik, perempuan itu cantik. Melvin menggeser mangkoknya lalu mengambil kertas dan pulpen dari tangannya. Aku dan dia saling tatap, senyuman sinis yang dia berikan untukku. Sebenarnya aku sangat bingun, kenapa orang-orang yang ada di sini sangat memusuhiku?

"Udah, nanti tinggal kasih ke kepala sekolah aja. Kalau butuh biaya buat acaranya, minta ke bendahara osis."

"Oke. Oh iya, Vin. Ibu nitip ini buat kamu, katanya nyobain steak buatannya." Perempuan itu menyodorkan kotak bekal berwarna biru ke Melvin.

"Oke, nanti gua nyobain."

"Kalo gitu aku duluan, ya."

Melvin mengangguk, perempuan itu langsung pergi begitu saja. Aku menatap matanya yang sedari tadi melihat Mevin. Tatapan yang sangat aku paham ketika melihat orang yang disukanya.

"Nad, kamu cemburu?"

***
Next?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hubungan Tanpa StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang