"Aku kuat,
Aku? Kuat?"***
Tok... Tok.. Tok..
"Nada, ayah mau bicara."
Aku menghentikan kegiatanku yang sedang membaca buku novel ketika mendengar pintu kamarku diketuk oleh Ayah. Entah kenapa, perasaanku sedikit tidak enak. Pasalnya hari ini aku tidak membuat kesalahan apapun.
Aku langsung bergegas turun dari kasur lalu membuka pintu kamar. Benar saja Ayah sudah di hadapanmu sekarang.
"Ayah tunggu di ruang keluarga," ucapnya lalu melangkah pergi, aku pun mengikutinya.
Aku melihat Bunda dan Sarah berada di sana. Aku duduk berhadapan langsung dengan ayah, sedangkan Sarah duduk di samping Bunda seraya menggelayut lengan Bunda dengan manja. Perasaanku melihat sikap Sarah sangat jijik.
"Ayah dengar dari Sarah katanya kamu pergi sama cowok sampai sore, benar itu, Nada?"
"Benar." Aku mengangguk, aku menjawab jujur, tidak ada yang ditutupi.
"Kamu tau kan kalau Ayah sangat melarang kamu untuk pergi bareng cowok asing."
"Aku tau, ...."
"Kalau kamu tau, kenapa kamu lakuin larangan Ayah?"
Ini yang aku sukain dari Ayah, walaupun sedang marah, dia tidak pernah bermain tangan dan bicaranya pun tidak keras, hanya tegas dan sedikit mengintimidasi.
"Ayah jangan potong pembicaraan aku," ucapku yang mendapat anggukan darinya.
"Sebelumnya aku minta maaf sama Ayah karena aku tidak mengabari Ayah atau Bunda kalau aku pulang sore. Pertama, cowok itu bukan cowok asing, Yah, dia sering main ke sini, kalau tidak tau mungkin bisa tanya Bunda sama Kak Sarah," Aku berhenti sebentar berbicara untuk melihat wajah Sarah yang sedikit tegang, "kedua, harusnya Ayah cari tau dulu, bukannya menyalahkan satu pihak aja. Ayah pikir aku ini wanita apa pergi sama cowok asing? Ketiga, cowok itu Kak Rama, dia diminta sama Bu Lala untuk ngajarin aku buat Olimpiade nanti."
Kulihat Ayah menunjukkan wajah bingungnya lalu dia menengok ke arah Sarah seolah minta penjelasan.
"Satu lagi, buat Kak Sarah. Cara Kakak buat jatuhin aku klasik banget," kataku yang membuat wajah Sarah memerah menahan marah.
Aku meninggalkan mereka semua menuju ke kamarku, bahkan Ayah memanggilku berkali-kali tapi aku tidak peduli. Mereka pikir aku ini cewek apaan yang dengan gampang pergi dengan cowok asing.
***
Pagi ini cuacanya sangat mendung, untung saja aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Seperti biasa kini aku sudah berada di meja makan, dan sepertinya juga mereka sudah melupakan kejadian semalam, tapi tidak dengan aku.
Tidak ada berbicara di meja makan, semua sedang asyik dengan sarapannya. Tiba-tiba terdengar suara deruan motor yang aku kenal, seperti motornya Rama. Decitan bangku terdengar, Sarah bergegas menyambar tasnya lalu pamit cium tangan Ayah sama Bunda.
Aku sedikit heran, untung saja makananku sudah habis, aku juga ikutan pamit seperti Sarah. Sesampainya di teras, aku melihat Sarah menaiki motornya Rama.
Pandangan mata kami bertemu. Aku menatapnya dengan perasaan yang sangat susah diutarakan. Dadaku sedikit sesak melihat adegan tangan Sarah memeluk pinggang Rama, dan yang lebih sakit lagi melihat Rama tidak melepaskan pelukan itu.
Aku membuang mukaku, lalu membalikkan badanku untuk menutup pintu. Aku sengaja berbalik lama, menunggu Rama dan Sarah pergi. Aku mendengar suara motornya perlahan menjauh, pertanda mereka sudah pergi.
Tanpa disadari mataku sedikit berembun, aku sedikit mengarahkan kepalaku ke atas supaya air mata ini tidak jatuh. Tapi tetap saja, yang namanya sakit mau bagaimana pun dipertahankan pasti air mata jawabannya.
Aku berjalan menuju pangkalan angkot, seperti biasanya tukang angkot langgananku sudah menunggu.
"Neng, dari tadi bengong aja. Awas kesambet setan," ucap tukang angkot yang bernama Bang Supri itu yang melihatku dari spion di dalam angkotnya.
"Biasalah, Bang, lagi stres sama pelajaran."
"Ah elah si Eneng, gitu aja stres, apalagi Abang yang udah S2."
Aku terkejut dengan ucapan dari Bang Supri. "Hah? Bang Supri lulusan S2?"
Pria paruh baya itu mengangguk. "Walaupun sekarang Bang Supri tukang angkot, seenggaknya Bang Supri udah mewujudkan keinginan Bang Supri buat kuliah. Neng Nada jangan pernah putus, ya," katanya.
Aku mengangguk cepat. Sangat kagum dengan pemikiran dari Bang Supri ini. Bisa-bisanya aku mengeluh di depan orang yang semangat mewujudkan impiannya.
"Semangat, ya, Neng Nada," ucapnya lagi. Aku mengangguk lalu memberikan uang lima ribu untuk bayar.
"Hari ini gratis buat Neng Nada supaya semangat belajarnya."
"Yang bener, Bang Supri?"
"Iya, Bang Supri jalan lagi ya, Neng."
"Makasih, Bang," teriakku ketika angkotnya mulai menjauh.
Hari ini aku beruntung ketemu orang baik seperti Bang Supri yang mengajarkanku untuk tidak menyerah ketika mempunyai keinginan. Tapi kalau keinginan untuk mencintai seseorang apa Aku harus semangat juga atau mungkin menyerah?
Aku menggeleng, melupakan pemikiran seperti itu. Buru-buru Aku melangkah masuk ke sekolah, untung saja bel sekolah masih belum berbunyi.
Saat berjalan memasuki koridor sekolah, aku merasa sedang ditatap oleh seseorang. Entah, feelingku mengatakan seperti itu. Dan benar saja, pandangan mataku bertabrakan dengan milik seseorang, tatapannya sulit untuk ku artikan.
Siapa lagi kalau bukan Rama. Laki-laki itu sedang berdiri di depan kelasnya, aku langsung melemparkan pandanganku ke arah yang lain. Melihat kejadian yang tadi saja sudah membuatku sedikit cemburu. Tidak, itu bukan sedikit. Bisa dibilang, iya, aku cemburu.
***
Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Tanpa Status
Teen FictionCERITA INI MENGGUNAKAN ALUR MUNDUR, YA, TEMAN-TEMAN!! SELAMAT MEMBACA! "Dari awal memang salahku, mencintai seseorang yang memang tidak menginginkan untuk bersama. Senang pernah bersama mu, mungkin jika ada kehidupan yang kedua kalinya, aku tidak ak...