BAB 8: Dia datang!

18 3 0
                                    

"Nad, mau sampai kapan lo jauhin gua?"

Aku melihat wajah yang selama ini aku rindukan, sudah lima hari aku menghindari dia. Terlihat dari tatapan matanya yang mungkin mengisyaratkan untuk menyemangatinya. Entah lah, perasaanku kadang tidak benar juga.

"Aku nggak jauhin Kak Rama, Kak Rama aja yang merasa begitu," ucapku lalu melanjutkan kegiatanku yang sedang menyalin catatan milik Anggi.

"Nad, plis, liat gua," pintanya.

Lagi dan lagi aku menghentikan kegiatanku.

"Kenapa, sih, Kak? Apa yang Kak Rama mau? Apa Kak Rama nggak puas ngeliat aku tersiksa terus?"

Napasku sedikit memburu ketika berbicara seperti itu. Sedikit emosi yang aku keluarkan untuknya, aku tidak mau memperkeruh keadaan.

"Maksud lo apaan, Nad? Ada yang nyakitin lo? Siapa, Nad? Bilang sama gua."

Rama memegang kedua pundakku, tatapannya berubah menjadi sangar. Aku menggeleng, mencoba melepaskan cengkeramannya dipundakku.

Kamu, Kak, kamu yang udah buat aku sakit. Sakit melihat kamu jalan dengan perempuan lain. Sakit ketika kamu mencintai orang lain, dan itu bukan aku, batinku.

"Kak, mulai sekarang jangan temuin aku lagi, ya? Kita akhiri aja persahabatan ini."

Setelah mengucapkan itu, aku membereskan buku yang ada di meja lalu memasukkannya ke tas. Tidak ada jawaban apapun dari Rama. Laki-laki itu terlihat sangat syok ketika aku meminta hal itu.

Aku bingung harus berekspresi senang atau sedih, terasa hambar untuk keduanya. Aku meninggalkan Rama sendirian di kelas. Yup, seperti biasa siswa di kelas memang sudah sepi dari tadi. Hanya ada aku dan ... dia.

Aku menghentikan langkahku sebentar untuk menengok ke belakang, tidak ada panggilan untuk menahan kepergianku. Aku menghela napas berat. Ah, sial, aku berharap apa darinya?

Tidak ada lagi yang kuharapkan untuk ke depannya. Bohong kalau aku tidak menyesal berbicara seperti itu ke Rama. Perasaanku seakan dikunci oleh gembok milik logikaku.

Langkah gontaiku menyusuri koridor sekolah yang sepi, hanya ada beberapa orang yang terlihat di lapangan. Sudah menjadi rutinitas setiap harinya.

Sepertinya aku harus kembali menyendiri di tempat donat. Ya, itu adalah pilihan yang tepat. Buru-buru aku berjalan menuju tempat pemberhentian angkot.

Tin..

Aku melihat angkot berwarna biru itu menghampiriku. "Neng, udah pulang?" tanya supir angkot itu yang ternyata Bang Supri.

"Eh, iya, Bang," jawabku lalu menaiki angkot tersebut. Di dalam angkot hanya ada dua ibu-ibu yang sepertinya baru pulang dari pasar, terbukti banyak kantong plastik berwarna merah yang berisi sayuran. Ibu yang satu memakai baju gamis berwarna hitam dengan kerudung berwarna pink. Yang satunya lagi, memakai atasan berwarna hijau dengan celana jeans abu-abu.

Bang Supri langsung menjalankan angkot ini, aku duduk di bagian belakang. Selama di perjalanan aku hanya melamun, entah apa yang ku pikirkan.

Aku baru sadar ketika angkot ini berhenti, soantak langsung kelihat jalanan ini, ternyata lampu merah sedang menyala. Tetapi mataku malah terfokus ke salah satu pengendara motor yang tepat berada di samping angkot ini.

Bukannya itu ... Rama? Tapi, siapa perempuan yang diboncengnya. Kedua tangannya memeluk pinggang Rama dari belakang. Aku tidak mengenalinya. Sangat asing wajahnya, pikirku.

Tiba-tiba Rama menoleh ke arahku. Menatapku dengan tatapan tajam, bukan lagi dengan tatapan teduh yang menghangatkan. Apakah aku akan kehilangan sosok yang selalu membuatku ada di rumah? Tanpa sadar aku meneteskan air mata melihat pemandangan di depanku.

Suara klakson motor dan mobil bersautan, rupanya lampu hijau sudah menyala. Mataku mengikuti arah motor itu melaju, bukannya itu ke arah rumahnya Rama?

Secepat itu kah dia mempunyai pasangan? Aku langsung menyeka air mata ini supaya tidak ketahuan oleh orang-orang.

Sayangnya, pergerakanku diketahui oleh ibu-ibu berkerudung pink.

"Neng, kenapa nangis?" tanyanya membuatku langsung salah tingkah.

"Gapapa, Bu. Biasa kelilipan ini," jawabku, matanya menatapku dengan dalam.

"Nggak usah bohong, tadi Ibu lihat si Neng nangisin cowok yang boncengan itu, kan?"

Aku menggeleng cepat lalu menumdukkan kepalaku.

"Neng, kalau memang dia suka sama Neng, dia nggak akan berpaling kok, tenang aja," katanya.

Bukan, dia yang suka, tapi aku yang suka sama dia. Aku yang mencintainya duluan, entah dia sadar atau nghak. Tapi yang jelas ini salahku dari awal, mencintai seseorang yang bahkan hanya menganggap sahabat," batinku.

"Bang, berhenti di sini aja," kataku.

"Rumah Neng Nada, kan, masih jauh," jawab Bang Supri yang langsung menghentikan angkotnya.

"Gapapa, Bang, mau mampir ke toko dulu sebentar," ucapku yang langsunh turun dari angkot dan menyerahkan uang sebesar lima ribu rupiah ke Bang Supri.

"Makasih, ya, Neng. Hati-hati pulangnya."

"Iya, Bang."

Sebelum pulang, aku berhenti di tempat donat. Memakan yang manis-manis rasanya sangat tepat ketika hati lagi sedih. Dan, kurasa pelarian semua orang ketika lagi sedih hatinya pasti memilih makan yang manis-manis, meskipun ada sebagian orang yang bertarung dengan makanan pedas.

Aku memasuki tempat donat. Suara lonceng yang terdengar ketika pelanggan masuk ke tempat ini.

"Mbak Nada, huhuhu, sekarang jarang main ke sini," ucap seorang gadis yang langsung menghampiriku dan memelukku.

"Iya, Dea. Biasalah, aku sibuk belajar, lusa aku olimpiade. Apa kabar kamu sekarang? Makin gemoy aja," tanyaku yang tak lupa membalas pelukan Dea.

"Ihh, aku nggak gemoy, ya, Mbak. Berat badanku udah turun lima kilo," jawabnya yang melepaskan pelukannya.

"Iya, kah? Tapi kok tetap humphhh," ucapku yang menggembungkan pipiku.

"Ihh, Mbak Nada. Huhuhu."

Dea berlari pelan meninggalkanku. Aku tertawa melihat tingkahnya. Ketemu Dea adalah hiburan tersendiri bagiku. Bahkan aku hampir lupa kalau lusa itu waktunya olimpiade, untung saja aku membawa bukunya walaupun tidak semua, setidaknya aku bisa belajar di sini.

Aku berjalan ke arah kasir untuk memesan makanan sekaligus membayarnya, lalu aku memilih untuk duduk di tempat seperti biasanya. Di pojok kiri belakang dengan di sampingnya ada kaca besar yang melihatkan pemandangan luar tempat ini.

Aku menaruh tasku di atas meja lalu aku keluarkan buku geografi yang lumayan tebal. Sembari aku menunggu pesanan datang, aku membuka buku untuk membaca dan memahaminya, tidak lupa juga aku membuka ponselku untuk membaca file yang dikirim oleh guru geografi.

Di tempat donat ini tidak banyak pelanggang, hanya ada aku dan seorang kakek yang sedang menyantap donat.

Kring...

Suara lonceng berbunyi, entah kenapa aku malah melihat pintu itu sedang dibuka oleh seseorang. Aku terkejut bukan main ketika melihat seseorang yang datang ke tempat ini. Bukan kah dia ...

***
Next?

Hubungan Tanpa StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang