Dia? Melvin?
Tunggu? Kenapa dia ada di sini, bukannya dia sudah pindah ke Bandung? Tapi, untuk apa dia ke sini. Kakek itu? Apa dia Kakek Marco?
Aku mendengar pembicaraan mereka. Terdengar sekali kalau laki-laki itu sedang merajuk ke lelaki paruh baya yang sedang asyik menyantap donat di tangannya.
"Ayolah, Kek, Melvin capek kalau harus nungguin Kakek di sini terus. Gadis itu nggak bakal datang, Kek, buktinya dari kemarin Kakek di sini terus, dia nggak datang."
"Shhh," jawab Kakek itu untuk menyuruh laki-laki yang ada di depannya diam.
Sedetik kemudian, Kakek itu menoleh ke belakang, lebih tepatnya menengok ke arahku yang diikuti oleh Melvin.
Aku melihat wajah terkejut laki-laki itu ketika melihatku yang sedang memperhatikan dirinya. Terlihat sekali wajahnya yang salah tingkah.
Melvin Aditama adalah cucu dari Kakek Marco sekaligus temanku dari kecil yang berada di Bandung. Sebelum aku ikut ayah sama bunda ke Jakarta, Melvin adalah orang pertama yang menangisi aku karena ingin pergi jauh, aku juga ikut menangis. Cuma dia temanku, selalu pergi bersama. Sudah dua tahun tidak bertemu, tidak ada perubahan di dirinya. Tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang putih, dan wajahnya yang ... tampan.
Kakek itu berjalan menghampiriku, tongkat yang biasa dia pakai membuatku mengenalinya, karena ada tulisan namanya di tongkat itu.
Aku langsung berdiri untuk mencium tangannya dengan takzim.
"Kakek Marco, apa kabar?" tanyaku sembari menarik kursi untuk beliau duduk. Aku melirik Melvin yang masih berdiri, menatapku dengan dalam.
"Alhamdulillah, Kakek baik. Kamu gimana tinggal di sini? Nyaman? Gimana dengan keluarga kamu? Apa masih sama memperlakukan kamu?"
Aku diam. Pertanyaan beruntun yang keluar dari mulut Kakek membuatku tidak bisa menjawabnya. Berbicara tentang kenyamanan dalam keluarga membuat mulutku terkunci rapat, dan sepertinya beliau tahu apa jawabanku.
"Tidak usah di jawab, Kakek sudah tahu. Mereka memang tidak akan berubah sampai kapan pun."
Kakek Marco adalah sahabat dekat dari alm Kakekku, Kakek Rian. Sebelum Kakek Rian meninggal, beliau menitipkan pesan ke Kakek Marco untuk selalu melindungi dan mengawasiku, ternyata pesan yang dibuat Kakek Rian membuat Ayah marah sehingga memutuskan untuk pindah ke Jakarta.
"Ikut kembali dengan Kakek ke Bandung, ya?"
Aku menggeleng, "untuk sekarang kayaknya tidak bisa, Kek, tapi tidak tau nanti."
Kakek Marco hanya tersenyum mendengar jawabanku. "Hubungi Kakek jika kamu sudah berubah pikiran, Nak. Oh iya, sepertinya nomor hapemu sudah ganti?"
"Iya, Kek. Ayah menyuruhku untuk mengganti nomor hape."
Terdengar suara helaan napas keluar dari mulut Kakek. Sepertinya Kakek Marco sudah lelah menghadapi sikap Ayah. Memang sebelum pindah ke Jakarta, Ayah meminta aku, Sarah, dan bunda untuk mengganti nomor. Entah dengan alasan apapun itu, aku hanya menurutinya saja.
"Kakek minta nomormu, Nak." Aku mengangguk. "Melvin, cepat ketik nomor Nada," suruh Kakek Marco. Ku lihat Melvin segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
Setelah mencatat nomorku, Melvin kembali memasukkan ponsel ke sakunya.
"Makasih, ya, Kek, udah peduli sama Nada," ucapku yang dibalas dengan anggukkan Kakek Marco.
"Sudah menjadi tugas Kakek sekarang untuk melindungi kamu setelah kepergian Rian, jangan sungkan untuk hubungi Kakek lewat Melvin, ya, Nak."
Aku mengangguk cepat, mataku sedikit mengembun mendengar perkataan dari Kakek Marco, ternyata ada orang yang benar-benar sayang terhadapku, meskipun banyak orang yang bilang darah lebih kental daripada air. Mungkin aku akan menghapus peribahasa itu untuk diriku sendiri.
"Kalau begitu Kakek pulang dulu, ya, Nak. Melvin cerewet sekali menyuruh Kakek pulang terus, padahal Kakek suka tempat ini."
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Melvin yang tiba-tiba melotot, tidak terima dengan ucapan Kakek Marco.
"Kok, aku, Kek?"
"Siapa lagi kalau bukan kamu? Sebelum melihat Nada, kamu menyuruh Kakek pulang, setelah melihatnya malah diam saja. Kakek pikir kamu bakal ... "
"Kakek!"
Melvin langsung memotong ucapan dari Kakek Marco. Entah, beliau ingin mengucapkan sesuatu tetapi malah Melvin yang sedikit terlihat panik. Bahkan dia malah menggaruk kepala belakangnya.
Kakek Marco yang melihat tingkah Melvin hanya tersenyum kecil. Berbeda dengan aku yang semakin bingung melihat sikap mereka berdua.
"Oh iya, ngomong-ngomong Kakek tinggal di mana?" tanyaku.
"Kakek tinggal di apartemen milik Melvin. Itu terlihat gedungnya," tunjuk Kakek Marco, aku mengikuti arahan dari telunjuknya. Ternyata tidak jauh dari tempat donat.
"Nanti kalau kamu bosen, kamu bisa main ke tempat Melvin."
"Hah?"
"Hah?"
Aku dan Melvin menjawab pertanyaan Kakek Marco berbarengan. Pipiku terasa panas ketika Melvin menatapku, terlihat sudah rona merahnya. Aku langsung menunduk.
"Kakek apaan sih, masa Nada main ke apartemen aku? Yang ada nanti malah di grebek sama orang-orang," ucap Melvin.
"Memangnya kamu mau ngapain Nada sampai berpikiran untuk di grebek?" tanya balik Kakek Marco.
"Ya .. Em ... Nggak tau lah, terserah Kakek aja mau ngomong apa. Aku tunggu Kakek di luar," jawab Melvin yang sedang merajuk, terlihat wajahnya yang kesal.
"Ada-ada saja kelakuan anak itu. Yaasudah, Kakek pulang dulu, ya. Nanti Melvin akan menghubungi kamu, Nak. Jaga diri baik-baik, ya. Kakek akan sangat marah jika ada satu luka yang tergores di kulitmu karena perbuatan seseorang."
"Kakek tenang saja, aku kan pemilik sabuk hitam," kataku sambil menepuk pundak kiriku dengan bangga.
"Baiklah, Kakek percaya sama kamu."
Aku membantu Kakek Marco untuk berdiri lalu aku tuntun beliau menuju Melvin yang sedang menunggu di luar, tepatnya di depan mobil berwarna hitam miliknya.
Melvin yang melihatku bersama Kakek langsung berlari kecil menghampiri kami, lalu mengambil alih Kakek dariku.
"Makasih, ya, Kek, udah repot-repot ke Jakarta untuk bertemu denganku."
"Iya, Nak, sama-sama. Kalau bukan permintaan Melvin yang sering merengek, Kakek sangat malas untuk pergi jauh, apalagi kondisi kaki Kakek begini."
Aku melihat Melvin yang kembali salah tingkah ketika aku menatapnya. Ada apa dengan anak ini? Mengapa dia meminta Kakek Marco untuk menemuiku. Sepertinya Melvin sangat irit bicara kepadaku sekarang, tidak seperti biasanya.
"Yuk, Kek," ajak Melvin menuntun Kakek Marco ke mobilnya. Aku tetap menunggu di sini. Kulihat Melvin membukakan pintu penumpang depan untuk Kakeknya, setelah itu dia membuka pintu penumpang belakang, sepertinya ingin mengambil sesuatu. Dan benar saja, terlihat dia sedang memegang setangkai bunga mawar, lalu berjalan menghampiriku?
Aku sedikit heran, karena Melvin berjalan sangat cepat ke arahku. Dia menyerahkan bunga itu, tak lupa ada secarik kertas yang tertempel di batang bunga mawarnya. Tanpa berbicara apapun, dia langsung kembali ke mobilnya.
Rasanya sangat de javu ketika menerima bunga ini. Setelah melihat mobil milik Melvin pergi, aku langsung masuk ke tempat donat, melanjutkan kegiatanku yang tertunda.
"Ciee, dari pacar, ya, Mbak?" ledek Dea yang dengan sengaja sedang menungguku di pintu masuk.
"Ish, kamu ini. Minggir," kataku melengos masuk.
"Ciee, Mbak Nada, ciee. Pajak jadiannya dong."
***
Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Tanpa Status
Teen FictionCERITA INI MENGGUNAKAN ALUR MUNDUR, YA, TEMAN-TEMAN!! SELAMAT MEMBACA! "Dari awal memang salahku, mencintai seseorang yang memang tidak menginginkan untuk bersama. Senang pernah bersama mu, mungkin jika ada kehidupan yang kedua kalinya, aku tidak ak...