18. pernikahan Eka

51.6K 3.1K 46
                                    


"Hah! Serius lo mau nikah?" Rahma berseru kaget.

Aku juga kaget sih, tapi keduluan Rahma aja. Jadinya, aku cuman menatap undangan yang Eka bagikan.

"Serius dong, Kak," balas Eka.

"Ini beneran?" Kali ini aku yang bersuara setelah membuka undangannya dan membaca detailnya.

"Bener, Kak." Eka tertawa. "Bukan prank."

"Tega lo ninggalin kita-kita," sahut Laras lalu menarik Andini dan Amel untuk saling berpelukan.

"Mau gimana lagi." Eka mengendikan bahu. "Dia udah kebelet."

"Aaa! Gue juga mau!" Giliran Amel yang mendramatisasi keadaan.

Aku dan Rahma cuman bisa geleng-geleng menyaksikan tingkah mereka bertiga.

Perhatianku baru teralihkan ketika Eka berkata, "Kakak-kakak dateng, ya." Aku mengangguk, tanpa diminta pun aku pasti datang.

"Gimana, ya?" Rahma mengernyit, seperti sedang menimbang-nimbang. "Gue nggak ada gandengan. Mesti mikir dua kali buat dateng kondangan sendiri."

Eka terkekeh. "Masih ada sebulan, Kak."

"Seandainya cowok bisa langsung dipilih." Rahma mendecakkan lidah.

"Harus, Kak." Eka melirikku dengan senyum jahil. "Kak Chaca aja udah punya gandengan."

Semua mata langsung tertuju padaku. Mereka melihatku seperti maling yang ketahuan dan siap diinterogasi. Padahal aku difitnah. Ya walaupun sebenarnya hubunganku dan Galih memang berniat ke sana, tapi kan belum.

Rahma bersedekap dengan mata memicing. "Kalian udah pacaran?"

Belum lagi Andini, Laras, dan Amel yang menatapku dengan alis terangkat penasaran.

"Belum!" tegasku.

Raut wajah Rahma kembali normal, bahkan tersenyum lalu menepuk-nepuk bahuku. "Tapi nggak apa-apa sih. Ajak aja buat nemenin lo."

Aku memutar bola mata malas.

"Iya, Kak. Biar di sana nggak digodain cowok-cowok," timpal Andini dan disambung anggukan yang lainnya.

Aku mengernyit menatap mereka satu per satu. "Kalian kok mendadak jadi kompak gini?"

**

Soal perkataan Rahma tadi siang, aku jadi kepikiran. Apalagi sebelum pulang, Eka menyampaikan dengan serius untuk mengajak Galih sekalian di pernikahannya.

Aku bukannya tidak ingin mengajak Galih, hanya saja bagaimana caranya aku menyampaikannya? Selain itu, memangnya dia mau? Galih pasti punya kesibukannya sendiri.

Namun meski ragu mengajaknya, ketika aku sedang menggulir layar ponsel demi mencari dress yang bisa kupakai nanti, tiba-tiba aku kepikiran mencarikan Galih sekalian.

Dari pemikiran awal itu, aku berakhir mencari pakaian sepasang sekalian saja. Yang warnanya senada. Walaupun belum pasti Galih bisa atau tidak.

Ketika paketku tiba, aku puas dengan dress-nya dan juga kemeja Galih. Aku bisa membayangkan bagaimana pasnya kemeja ini memeluk tubuh Galih. Untuk saat ini, cukup bayangkan saja.

Seminggu sebelum acara pernikahan Eka, barulah aku memberanikan diri mengajaknya. Untungnya, suasananya juga mendukung.

Kami duduk bersebelahan di depan TV yang memutar film—yang sebenarnya tidak terlalu kuperhatikan. Karena sekarang dalam kepalaku sibuk mengatur kata demi kata sebelum mengeluarkannya dari mulutku.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang