“Cha.”
Aku menoleh sekilas dan kembali lanjut menata rambut perempuan yang sedang duduk membelakangiku. “Hm?”
Rahma menarik kursi, merapat padaku, dan bertanya, “Lo udah punya pacar baru, ya?”
“Pacar?” Aku mengernyit bingung. Dekat sama lawan jenis saja tidak, bagaimana caranya aku bisa punya pacar?
Rahma mengangguk. “Yang tadi siang nganter lo.”
Aku hampir tertawa ketika mengingat laki-laki yang Rahma maksud. “Dia bukan pacar gue.”
“Masa sih? Tapi muka cowok itu kayaknya berseri-seri banget pas pamit sama lo.”
“Bukan, Ma. Kita udah kenal dari zaman kuliah, terus baru-baru kita jadi tetangga,” terangku.
“Kalian cocok.”
Kali ini aku tertawa betulan. “Kalau kelihatan cocok, mesti pacaran gitu?”
“Gue dukung kok, Cha. Gantengan dia juga daripada mantan lo.”
“Iya sih.”
“Nah, kan!” seru Rahma semangat. “Pepet aja, Cha.”
“Nggak, ya. Gue nggak mau pacar-pacaran dulu, lagian dia lagi naksir sama seseorang.” Aku jadi ingat lagi sama percakapan kami sementara dalam perjalanan.
“Yaah, gagal dong.” Rahma mendesah kecewa. Seakan aku kehilangan kesempatan besar.
“Apa sih?”
“Semisal dia gagal sama cewek yang dia taksir, lo harus buru-buru maju, Cha.”
“Ngapain? Gue nggak suka sama dia.”
“Halah! Hari ini sih lo bisa bilang nggak suka, tapi besok? Perasaan nggak ada yang tau, Cha.”
“Nah makanya, hari ini gue bilang nggak suka sama dia.”
“Pokoknya lo …”
Aku melirik ke arahnya karena kalimatnya menggantung. “Kenapa berhenti?”
“Cha, itu,” bisik Rahma dengan tatapan tertuju ke arah pintu.
Penasaran dengan sesuatu yang membuat ekspresi Rahma berubah 180 derajat, aku mengikuti arah pandangnya. Di luar sana, berdiri seorang laki-laki yang tak ingin kulihat lagi.
Tama.
Sejujurnya, aku tidak mau berurusan lagi dengan laki-laki itu. Tapi jika dibiarkan, laki-laki itu akan terus datang mengganggu. Aku meminta Rahma menggantikanku lalu keluar menghampirinya.
“Mau apa lo ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi.
Tama tersenyum lemah. “Aku mau ngomong sama kamu, Cha.”
Aku menengok, menunjukkan keadaan salon yang cukup ramai. “Gue sibuk.”
“10 menit aja,” katanya panik. Mungkin dia tidak menyangka aku akan menolaknya tanpa pikir panjang.
“5 menit. Setelah itu jangan dateng lagi ke sini. Ganggu tau,” tegasku.
Tama mengangguk lalu mengikutiku masuk ke salon. Aku sih bisa saja bicara di luar, tapi akan jadi masalah jika pembicaraan kami menarik perhatian. Saat aku berjalan masuk saja, mata Rahma tidak melepas pandangan hingga aku dan Tama menghilang di balik pintu.
“Kamu ada di mana selama ngilang?”
“Langsung aja ke intinya. Nggak usah basa-basi, waktu lo nggak banyak,” balasku.
Tama mengangguk pelan. “Aku mau minta maaf, Cha. Aku nyesel lepasin kamu, harusnya aku nggak lakuin itu. Ternyata kamu yang terbaik buat aku, makanya aku pengen kita bisa kayak dulu, Cha. Kita ulang semuanya dari awal, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomanceTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...