Kemarin bab ini dah hampir rampung, tapi tiba2 filenya error. Gak mau kebuka. Gue langsung drop dan butuh waktu lagi buat nulis ulang.
Thanks buat kalian yg msh nunggu and happy reading!
👻👻
Kembali ke rutinitas seperti hari-hari sebelumnya. Tapi hari ini agak berbeda. Ya bukan penampilanku atau interior salon, melainkan suasana hatiku.
Walaupun agak enggak mengakuinya, namun tidak ada hal lain yang kemarin aku lakukan selain berkunjung ke rumah Galih. Dan itu satu-satunya hal di luar rutinitasku sehari-hari.
Jadi, ya, itulah alasanku tak berhenti tersenyum.
Sementara mengoleskan cat ke rambut pelanggan, sudut bibirku selalu tertarik ke atas tanpa aku sadari. Aku baru sadar ketika melihat pantulan diriku di cermin atau mendapat teguran dari Rahma.
Seperti sekarang.
"Gue nggak tau apa yang bikin lo seneng, tapi pipi gue yang kerasa kebas lihat lo senyum dari tadi." Begitu katanya.
Aku hanya tersenyum. Bukan aku tidak ingin membagikan alasanku bahagia pada Rahma, tapi kurasa belum saatnya. Aku dan Galih masih dalam tahap penjajakan dan aku tidak begitu suka berkoar-koar, sementara hubungan kami belum kuperjelas.
"Bukannya gue nggak seneng lo seneng, cuma gimana, ya, Cha—"
Aku terkekeh. "Iya, iya. Gue paham. Lo tenang aja, gue nggak gila kok."
Rahma memutar bola matanya. "Gue nggak bilang lo gila."
Aku masih ingin ngobrol ringan bersama Rahma, namun urung karena Laras menghampiriku. Dia berdiri di dekatku dan berkata dengan suara pelan. "Kak, ada yang nyariin."
Aku melarikan tatapanku ke arah pintu masuk. Cuma ada satu tamu yang berdiri di sana dan aku tidak kenal. Perempuan berambut panjang, pipi cabi, namun punya tubuh yang proporsional meski tidak tinggi.
Mukanya memang agak familiar, tapi tetap saja aku tidak ingin pernah bertemu dengan orang itu. "Gue nggak kenal, Ras," bisikku.
"Tapi dia nyari yang namanya Natasha, Kak," kata Laras.
"Dan di sini, yang namanya Natasha cuma elo," timpal Rahma.
Aku belum berniat meninggalkan tempatku. Masih ada satu dua hal yang aku pertimbangkan.
"Cha, udah sana. Biar Laras yang lanjut kerjaan lo."
Akhirnya aku beranjak, menghampiri perempuan itu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah.
"Saya Alina," katanya singkat.
"Alina?" ulangku sembari mengingat-ingat. Siapa tahu, memang aku kenal perempuan ini dan melupakannya. Aku masih terus mengais ingatanku sampai aku menemukannya.
Senyumku perlahan luntur bersamaan dengan namanya yang terngiang di kepalaku. Namanya yang disebut ketika aku mendengar rekaman suara Tama yang dikirimkan Galih. Namanya yang diucap Galih saat datang ke salon. Dan fotonya yang diunggah di malam di mana aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengan Tama.
Aku mengangguk samar. "Sekarang saya ingat."
"Ada yang mau saya omongin sama, Mbak."
Setidaknya dia masih punya sopan santun. Kalau tidak sudah kuusir dari tadi. "Kita bisa ngobrol di dalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomanceTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...