3. saus kepiting

80K 4.3K 24
                                    

Suara ledakan kecil diikuti confetti yang berjatuhan, menyambutku begitu masuk ke salon. Rahma, Andini, Laras, Amel, dan Eka, berjejer di sisi kanan dan kiri dengan senyum merekah.

Welcome back, Bu Bos!” Rahma bertepuk tangan lalu diikuti lainnya.

Aku tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Ini siapa yang bersihin nih?” Aku menunjuk confetti yang berserakan di dekat kakiku.

“Gampang itu, Kak. Gue aja.” Laras menawarkan diri.

“Jangan, jangan,” tolakku. Padahal aku cuman bercanda tadi. “Gue aja. Kalian balik prepare dan makasih buat sambutan meriahnya.”

“Ini sih nggak meriah. Atau lo mau yang lebih meriah?” tanya Rahma.

“Nggak! Repot bersihinnya.” Aku akhirnya mendorong mereka agar kembali menyiapkan dan beres-beres karena sebentar lagi salon akan buka. Saat yang lain telah kembali ke posisi masing-masing, Rahma tetap di tempatnya.

Mataku menyipit menatapnya. “Mau nanya apa lo?”

Rahma terkekeh, menengok sekilas, lalu maju selangkah. “Gue seneng lo akhirnya balik,” ucap Rahma pelan.

Rahma dan aku sudah cukup lama saling mengenal. Kami dulunya satu kantor saat sama-sama fresh graduate dan secara kebetulan kami punya minat yang sama. Sampai akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja dan memulai usaha sendiri. Tanpa kuminta, Rahma malah menawarkan dirinya untuk bekerja bersamaku.

Makanya dia jadi salah satu orang yang kupercaya.

Aku mengendikan bahu. “Soalnya gue takut salon gue nggak keurus.”

“Apa, apa? Coba ulangi?” Rahma melipat kedua tangannya di depan dada.

Aku terkekeh, tak tahan melihat wajahnya. “Udah, ah. Gue mau siap-siap.”

Baru beberapa langkah meninggalkan posisiku, Rahma menahanku. “Cha, bentar.”

Aku mengangkat alis.

“Sebenarnya gue nggak mau kasih tau ini, tapi setelah gue pikir-pikir, kayaknya lo harus tau.”

Aku mengernyit. Kalimatnya barusan terlalu berbelit-belit. “Iya, jadi apa yang lo mau lo omongin?”

“Emm,” jeda sejenak sebelum Rahma melanjutkan, “jadi gini. Sebenarnya Tama beberapa kali dateng ke sini nyariin lo, Cha.”

Aku diam.

“Kadang dia cuman nunggu di luar, kadang juga masuk nanya lo ada di mana,” lanjut Rahma.

“Tapi dia nggak ganggu kalian, kan?” tanyaku.

“Nggak sih.”

“Ya udah, ini terakhir kalinya kita bahas dia. Oke?” Tidak ada gunanya membahas orang yang telah menyakitiku. Dia itu pantas dilupakan dan membuangnya jauh-jauh.

“Iya, Cha, gue tau. Tapi yang gue takutkan, kalau dia dateng lagi. Sementara lo ada di sini sekarang.”

Aku mengulas senyum untuk menenangkannya, meski sebenarnya aku juga mulai memikirkannya. “Lo tenang aja. Nyokap bokap gue nggak mungkin tinggal diam seandainya Tama macam-macam sama gue.”

Dibandingkan menenangkan Rahma, kata-kata barusan lebih ditujukan untuk menenangkan diriku sendiri.

**

Pintu lift nyaris tertutup, namun urung ketika tangan seseorang terulur menahannya. Aku mengangkat kepala, menunggu pintu lift terbuka sepenuhnya dan memperlihatkan orang di luar sana.

Galih.

Dia baru saja pulang kerja, sama sepertiku. Aku tersenyum ketika Galih masuk dan berdiri di sampingku. Tidak ada yang bersuara sampai pintu tertutup.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang