10. menginap part 2

93K 3.6K 42
                                    

Tanganku sudah diobati, perutku pun telah terisi penuh, namun aku masih tertahan di apartemen Galih. Aku mau pulang, dari tadi. Tapi Galih terus saja mengulur-ulur waktu.

"Kak, aku mau pulang," ulangku untuk kesekian kalinya.

Sekarang aku sedang berdiri, sementara Galih duduk di dekatku. Dia mencekal tanganku dan tidak mengizinkanku melangkah lebih jauh lagi.

"Kamu nginap aja, gimana?" kata Galih dengan santainya.

Mataku melotot. "Hah? Nginap?"

"Iya, Cha. Malam ini aja."

Aku menghela napas lelah. Lama-lama aku bisa berubah pikiran dan batal mempertimbangkan hubungan kami. "Nggak mau."

"Ya udah, aku yang nginap di tempat kamu."

Aku memutar bola mata. "Ya sama aja dong!"

"Makanya kamu nginap di sini aja," bujuk Galih.

Dengan sangat terpaksa, aku kembali duduk di sebelahnya. Untuk memberinya penjelasan, siapa tahu dengan begini Galih mau melepasku. "Kak, status kita belum jelas. Aku memang pengen coba, tapi bukan berarti kita udah resmi pacaran. Satu lagi, cewek sama cowok dewasa ada dalam satu tempat. Bukan nggak mungkin kamu bisa kebablasan."

Galih mengangguk setelah dengan serius mendengar penjelasanku. "Aku janji nggak, Cha. Lagian kamu juga udah pernah nginap di sini, kan?"

"Itu beda, Kak. Dan aku nggak percaya sama janji kamu."

"Aku serius."

"Kamu pikir aku bisa percaya setelah rasain sendiri benda pusaka kamu itu berdiri?" Aku mengendik ke arah selangkangannya.

Galih malah tersenyum geli. "Udah kubilang, itu normal. Siapa coba laki-laki yang nggak nafsu pas ciuman sama perempuan yang dia suka?"

Aku menarik tanganku dari genggamannya. "Ih, Kak!" Lalu memukul pelan bahunya.

Menerima pukulanku, Galih tertawa kecil dan kembali menangkap tanganku. "Nginap, ya?"

Kayaknya di kamusnya Galih memang tidak ada yang namanya menyerah. Justru malah aku yang lelah dan pada akhirnya memilih menyerah. Aku diam sebentar sebelum bertanya dengan suara pelan. "Aku tidur di mana?"

"Di kamar, sama aku," jawabnya enteng.

Mataku melotot. "Kak."

"Aku nggak akan macem-macem, Chaca." Galih mencoba meyakinkanku lagi.

Aku diam, tak percaya dengan janjinya. Aku merasa harus kabur dari sini sekarang juga.

Sejujurnya, aku ragu menyanggupi permintaan Galih bukan karena aku takut akan sex. Saat bersama Tama, tentu kami kadang melakukannya. Namun aku bukan penganut sex tanpa perasaan.

Hal-hal intim mesti kulakukan dengan laki-laki yang benar kusuka. Sementara Galih, aku sadar perasaanku untuknya bisa berkembang. Tapi menurutku, tidur dengannya—dalam artian khusus—masih terlalu dini.

Ada tahap-tahap kontak fisik yang harusnya kami lewati. Mulai dari pegangan tangan, pelukan, ciuman, lalu akhirnya ke jenjang yang lebih intim. Oke, aku tahu kami memulai dengan ciuman, tapi itu masih termasuk awal.

Dan untuk sex, aku tidak akan memberinya dengan mudah.

"Oke. Nanti kamu bisa pukul aku pake apapun kalau sampe aku macem-macem sama kamu," tambah Galih.

"Pake hape?"

Galih mengangguk. "Iya, pake balok kayu juga boleh."

"Kenapa sih kamu pengen banget aku nginap?" tanyaku.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang