Karena sebelumnya aku sudah menghabiskan waktu bersama mamanya, kali ini Galih yang meminta waktu berdua denganku.
Setelah makan siang bersama, aku dan Galih bertolak ke salah satu mall. Galih mengajakku nonton. Sesampainya di sana, aku duduk sementara Galih melipir membeli popcorn dan minuman.
Mataku tidak lepas dari punggung kokoh Galih yang menjauh dariku. Lagi-lagi aku terpana. Tampak belakang saja dia sudah luar biasa. Sepertinya, aku akan betah memeluknya.
Aku berdehem pelan, mengalihkan tatapan, sambil mengipas-ngipas wajahku yang mendadak menghangat. Bisa-bisanya dimulai dari membayangkan memeluknya dari belakang, malah berlanjut jadi saling bertukar saliva.
Padahal aku yang memintanya menahan diri, tapi justru aku yang mulai berpikir menyerangnya.
"Na, arah jam 10."
"Cowok yang pake kaus hitam? Ganteng banget gila!"
Kepalaku tergerak ke arah suara yang ternyata berada tak jauh dariku. Ada dua perempuan—yang kuperkirakan masih duduk dibangku kuliah—tengah memandangi Galih.
Walaupun ada satu lagi laki-laki yang berdiri di sana, sudah jelas mereka mengamati Galih. Cuma Galih yang pakai kaus hitam.
"Dari belakang aja ganteng banget, Na."
"Mana tinggi lagi. Tipe gue banget."
"Otot lengannya dong, Na. Ihh gila!"
Karena pujian barusan, aku jadi ikut memerhatikan lengan Galih. Padahal lengan itu sering memeluk atau menggandengku, tapi aku tidak pernah benar-benar memerhatikan.
Lengannya memang bukan tipe berotot sampai kausnya kelihatan sesak. Namun cukup besar, liat, dan kokoh. Ditambah tangannya yang besar dengan jari-jari panjang.
Aku memejamkan mata. Lagi-lagi aku memikirkan yang tidak-tidak.
Saat aku membuka mata, Galih telah melangkah menghampiriku dengan seember popcorn dan segelas minuman. Aku memang sengaja memintanya memesan satu saja karena aku masih lumayan kenyang.
Galih duduk di sebelahku, berdempet lalu satu tangannya segera merangkul pinggangku begitu aku mengambil alih popcorn-nya.
Saat itulah, pandanganku tidak sengaja mengarah ke dua perempuan yang sebelumnya sibuk memuja Galih. Mereka berdua tersenyum canggung lalu pergi.
"Kamu senyum sama siapa?"
"Huh?" Aku menatap Galih saat mendengar pertanyaannya. "Nggak. Tadi ada dua cewek duduk di situ. Mereka lucu."
Galih hanya manggut-manggut dan obrolan kami beralih ke topik lain.
Pesona Galih hari ini, sepertinya sedang menguar secara berlebihan. Buktinya, saat kami akhirnya duduk menunggu film dimulai. Ada dua perempuan yang duduk di depan kami yang sesekali menengok, tersenyum, dan berbisik satu sama lain.
Bukannya berprasangka buruk, tapi mata mereka memang jelas melirik Galih.
Mereka berdua baru berhenti ketika Galih menarik tanganku untuk dia cium lalu diletakkan di pangkuannya.
Hebatnya, ketenaran Galih tidak hanya sampai di situ.
Sewaktu aku dan Galih mendapat titipan bahan masakan dari Mama Galih, kami berkeliling sambil mendorong troli. Sebelumnya, Galih memang tidak melepasku tanganku dan selalu berada di sampingku.
Tapi aku terpaksa melipir ke rak lain karena ada yang kelupaan. Saat aku kembali dan melihat Galih sedang memilih-milih buah. Aku mendapati seorang perempuan yang mungkin berusia 40an terus mencuri pandang ke arah Galih.
Masih ada?
Tentu.
Tepatnya di kasir. Entah kenapa, aku refleks merangkul lengan Galih dan merapatkan tubuhku. Saat aku mendongak—ingin tahu reaksinya—ternyata Galih juga tengah menunduk menatapku sembari tersenyum.
Setelah selesai melakukan pembayaran, aku melepas lengannya. Takut dia kesusahan berjalan dengan aku menempel padanya. Namun Galih justru merangkul pinggangku posesif sembari berjalan beriringan.
"Aku baru sadar, fans kamu banyak juga," kataku begitu selesai memasang seatbelt.
Galih melirikku sebentar dengan dahi mengenyit samar kemudian fokus memutar setir. "Oh ya?"
"Jangan pura-pura nggak tau."
Galih tertawa ringan. "Kenapa juga aku harus tau?"
"Aduh, sombongnya."
Galih mengelus pipiku. "Kamu juga sama."
"Apanya?"
"Fansnya banyak."
"Tau dari mana?"
Ya aku akui. Selama berpacaran dengan Galih, tidak sedikit laki-laki yang mendekatiku meski tahu aku punya pacar.
Tapi kasus Galih berbeda dariku. Galih itu tipe yang sekali lihat, bisa bikin perempuan terpesona dan mulai berpikir liar tentangnya.
"Pas kuliah aja kamu banyak yang naksir, kan?"
"Itu dulu."
"Sama aja. Makanya aku harus ekstra jagain kamu."
Kayaknya bukan cuman Galih. Aku juga harus ekstra menjaganya dari perempuan lain. Melihat bagaimana dia bisa menarik perhatian lawan jenis meskipun hanya diam di tempat, bukan tidak mungkin ada yang berniat mendekat meski tahu Galih menjalin hubungan dengan seseorang—khususnya aku.
"Ngomong-ngomong, dari fans sebanyak itu, masa sih nggak ada yang menarik, Kak?" tanyaku penasaran.
"Nggak ada."
"Dibanding nunggu aku yang nggak jelas, kenapa nggak coba kenal sama orang lain?"
Lampu merah di depan sana membuat mobil berhenti. Galih menoleh, menatapku lurus-lurus. "Jelas kok."
Aku mengernyit.
"Aku tau kamu sama dia bakal pisah suatu hari nanti. Dia nggak pantes dapetin kamu, Cha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomanceTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...