6. nyaris

75K 3.8K 24
                                    

“Chaca.”

Panggilan itu hampir tidak pernah terpikir olehku akan terdengar di salonku. Maksudku, untuk apa Galih datang ke salon khusus perempuan ini? Makanya, aku terkejut melihatnya baru saja masuk.

Apalagi tiga hari lalu, ada adegan di mana kami berpelukan. Aku sendiri merasa agak canggung bertemu dengannya.

Aku mengibas apronku, membersihkan sisa rambut yang mungkin ada di sana lalu menghampiri Galih. “Kak Galih, ngapain ke sini?”

Galih bergeser dari posisinya dan terlihat seorang wanita paruh baya yang ternyata bersembunyi di belakangnya. “Mama gue mau creambath, Cha. Jadi gue rekomendasiin tempat lo.”

“Siang, Tante” Aku mengulurkan tanganku disertai senyum mengembang. Di beberapa bagian wajahnya, kerutan memang cukup kentara. Tapi kerutan itu sama sekali tidak memudarkan kecantikan Mama Galih.

Beliau punya wajah yang adem dan ramah. Agak berbeda dengan Galih yang justru punya struktur wajah tegas, membuat orang-orang merasa segan menegurnya duluan.

Senyum Mama Galih semakin mengembang, diikuti tangannya yang menyambutku. “Siang, sayang. Kamu yang namanya Chaca?”

“Iya, Tante.” Aku melirik Galih sekilas. “Saya temannya Kak Galih.”

“Oh, temen?” Mama Galih tertawa pelan lalu tiba-tiba menyikut anaknya. Sementara Galih malah mengalihkan pandangannya.

Aku tidak mengerti arti aksi kode-kodean mereka hanya bisa mengernyit.

“Mama langsung creambath aja sana,” kata Galih pada mamanya.

Lagi-lagi Mama Galih tertawa sebelum akhirnya menatapku. “Tante duduk di mana, Cha?”

Aku baru saja menengok, Amel lebih dulu menyela sambil menunjuk kursi kosong. “Di sini, Bu.” Mama Galih langsung menghampiri Amel ketika aku mengangguk padanya.

“Kak, lo mau balik atau nunggu di sini?” tanyaku pada Galih yang masih betah berada di posisinya.

“Disuruh nunggu.”

“Ya udah, duduk di sana aja, Kak. Butuh minum nggak?”

“Nggak usah.”

Aku mengangguk. “Oke.” Lalu meninggalkannya untuk melakukan tugasku.

Pelanggan hari ini, dibawa khusus oleh Galih. Maka dari itu, aku yang harus turun tangan. Namun tidak kusangka, sementara melakukan tugasku, Mama Galih tidak berhenti bertanya padaku.

“Cha, kamu sama Galih kenalnya sejak kapan?” tanya Mama Galih untuk kesekian kalinya.

“Dari kuliah, Tante. Tapi dulu nggak deket-deket banget, cuman sebatas kenal. Eh, baru-baru ini kita malah sebelahan apartemen.”

“Berarti baru ini, ya, kalian mulai dekat.”

“Ya gitu deh, Tante. Hehee.”

“Kamu beda umur berapa sama Galih, sayang? Soalnya dari tadi kamu manggilnya Kak Galih.”

“Dua tahun.”

“Oh ya? Tante pikir lebih muda lagi. Ternyata nggak beda jauh sama Galih.”

Aku tertawa ringan. “Makasih pujiannya, Tante. Tau aja pujian yang bikin cewek seneng.”

“Tau, lah. Tante kan juga perempuan.”

Rasa penasaran Mama Galih tentangku masih berlanjut. Sepanjang rambutnya di-creambath, aku tidak diberinya jeda untuk diam.

“Lain kali datang ke rumah Tante, yuk. Tante suka ngobrol sama kamu,” ajak Mama Galih tiba-tiba.

Butuh waktu untukku bisa menjawab ajakan Mama Galih. Ajakannya barusan terlalu mendadak. Dan lagi, aku dan Galih tidak begitu dekat sampai bisa bertandang ke rumah orangtua.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang