19. menjenguk

47.9K 2.9K 6
                                    


Aku baru kembali dari toilet ketika melihat Rahma sedang dalam aksi saling dorong-dorongan dengan seseorang di dekat pintu. Aku mengernyit, sedikit ragu untuk mendekat. Namun saat mataku dengan jelas melihat siapa laki-laki itu, aku segera menghampiri Rahma.

"Chaca nggak ada!" Rahma masih berusaha mendorong Tama keluar.

"Rahma." Aku menyentuh pundaknya hingga dia berbalik.

Begitu pun Tama yang segera mengalihkan pandangannya padaku. "Chaca."

"Biar gue yang urus," kataku. Aku paham Rahma hanya ingin melindungiku, tapi Tama adalah urusanku.

Rahma tidak langsung setuju, protes siap ia layangkan namun aku buru-buru mengangguk meyakinkannya. Akhirnya setelah beberapa detik terdiam, Rahma menjauh dari pintu.

"Kita bicara di luar," kataku tanpa menoleh ke arah Tama.

Setelah berada di luar dan yakin Tama mengikuti, aku berbalik tanpa menunjukkan ekspresi bersahabat. "Gue harus bilang berapa kali sih biar lo dengerin?"

Tama maju selangkah. "Cha, dengerin aku dulu."

Aku mundur dua langkah. "Apa lagi sih? Semuanya udah selesai dibahas."

"Aku datang ke sini karena Mama aku, Cha," ucap Tama tenang dan ... ekspresi memohon, mungkin.

Sebelum aku menyuarakan isi kepalaku, Tama lebih dulu melanjutkan.

"Mama aku sakit, Cha. Dan Mama mau ketemu sama kamu."

Aku bergeming. Antara terkejut dengan kabar yang Tama berikan dan mencoba mencari tahu apa yang dikatakannya barusan jujur atau bohong. Beberapa saat kemudian, aku menemukan jawabannya.

Tama tidak sedang berbohong.

"Tunggu di sini," kataku lalu bergegas masuk.

Apa yang kulakukan sekarang bukan karena Tama, tapi Tante Desi—mamanya. Menjalin hubungan dengan Tama selama bertahun-tahun, selama itu pula aku mengenal orang tuanya. Terutama Tante Desi.

Kebaikan demi kebaikan Tante Desi silih berganti muncul di kepalaku. Dan aku tidak bisa menjadikan perbuatan Tama sebagai alasan untuk tidak menemui Tante Desi. Apalagi jika beliau yang meminta.

Mereka berdua—Tama dan Tante Desi—adalah dua orang berbeda meski mereka keluarga. Kesalahan Tama, tetaplah kesalahannya. Bukan Tante Desi. Jadi aku tidak akan menaruh rasa dendam padanya.

"Cha, lo mau ke mana?" tanya Rahma saat aku menyambar tasku.

"Rumah sakit. Nyokapnya sakit dan minta ketemu sama gue," jawabku singkat, padat, dan jelas.

Rahma mengenyit. "Lo yakin ikut sama dia?"

Aku mengangguk dengan senyum tipis. "Gue duluan, ya."

Berada di dalam mobil bersama Tama, aku memakukan pandanganku keluar jendela. Tidak ada godaan sama sekali untuk menoleh ke arahnya.

"Tante Desi sakit apa?" tanyaku.

"Jantung."

Dan keadaan kembali hening. Sepertinya, Tama juga paham aku tidak ingin bicara banyak atau menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Jadi dia diam dan fokus membawaku ke rumah sakit di mana Tante Desi dirawat.

"Papa aku lagi pulang ke rumah, jadi kamu bisa bebas ngobrol sama Mama." Itu kata Tama sebelum menggeser pintu ruangan tempat mamanya. Dia menunggu di luar, sementara aku masuk.

Tante Desi yang terbaring di tempat tidur menoleh ke arahku. "Chaca?"

Aku mengulas senyum dan mempercepat langkahku. "Iya, Tante. Ini Chaca." Lalu di kursi sampingnya dan menyentuh tangannya.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang