“Terus kamu mau apa?!”
Putus.
Kata itu, terus terngiang di kepalaku. Selalu sama setiap kali kami bertengkar, entah itu karena masalah sepele atau besar. Tama seakan sengaja meneriakkan pertanyaan itu untuk memancingku mengakhiri hubungan ini.
Aku memang ingin mengatakannya, tapi di sisi lain aku ingin bertahan. Hubungan kami telah berjalan hampir 7 tahun lamanya dan mengakhirinya hanya karena kemarahan sesaat, akan membuat waktu kami sia-sia.
“Aku nggak mau apa-apa. Aku cuma mau kamu minta maaf, senggaknya tunjukin muka bersalah di depan aku,” ucapku.
“Kenapa aku harus minta maaf? Cha, aku sibuk. Kamu yang harusnya ngerti!”
Aku menunduk lesu di kursiku. Alasan sibuknya sudah tidak bisa kuterima. Seminggu lamanya, dia seakan menghilang. Semua pesan dan teleponku terabaikan. Tidak ada usahanya darinya untuk mengabarkan sebentar saja.
Jika ini yang pertama, aku tentu bisa mengerti. Aku bukan anak ABG yang ingin 24 jam berkomunikasi dengannya, aku hanya ingin tahu kabarnya sebentar saja. Tapi hal semacam ini telah berulang hampir beberapa bulan lamanya. Dan alurnya selalu sama.
Tama menyalahkanku yang katanya tidak bisa mengerti.
Memang sepele, tapi jika dilakukan berulang, kira-kira siapa yang tidak lelah? Aku pun begitu. Energiku terkuras habis selalu bertengkar dengannya, namun di sisi lain aku masih ingin mempertahankan apa yang kujaga selama bertahun-tahun.
“Lima menit aja, Tam, kamu sempetin waktu hubungin aku.” Air mataku hampir jatuh, tapi kutahan mati-matian.
Tama berjalan mondar-mandir di depanku. Memijit pelipis lalu menghela napas. “Sekarang kan kita ketemu, apa lagi yang mau kamu permasalahkan? Kita bukan anak kecil yang harus terus chatingan, teleponan, kita udah dewasa, Cha. Atau kamu curiga aku selingkuh? Main sama cewek lain dan jadiin pekerjaan sebagai alasan? Bukannya kita janji untuk saling percaya?”
Kecurigaan itu, pernah terlintas. Tapi kutepis jauh-jauh karena aku terlalu percaya padanya. “Tam, lima menit. Aku nggak minta kamu selalu kabarin aku. Setiap ketemu pun, kamu kayak ogah-ogahan. Gimana aku nggak sakit hati?”
“Oh, sekarang topik masalahnya lain lagi? Merembes lagi, kan? Emang, ya, kamu niatnya emang pengen berantem.”
Air mataku jatuh. Dasar playing victim. Aku tersenyum getir lalu menatapnya. “Semua yang aku bilang barusan udah kutahan berbulan-bulan, Tam.”
“Ya udah, kamu mau apa?” tanyanya dengan tampang menantang.
Aku memalingkan muka. “Kamu pulang aja, aku nggak mau berantem lagi.”
Kudengar, dia menghela napas kasar sebelum keluar dari apartemenku. Saat itulah, air mataku mengalir deras sampai sakit di dadaku perlahan berkurang, namun tidak benar-benar hilang.
Sekarang, kepalaku dipenuhi oleh pertanyaan, apa pilihanku bertahan dengannya benar atau justru semakin menyakitiku?
**
Gara-gara menangis sampai tertidur, bangun-bangun mataku bengkak dan kepalaku berat. Tanpa mengecek ponsel—kebiasaan setiap bangun tidur—aku langsung menuju ke pantry untuk mengompres mataku dengan es batu.
Aku tidak mau sesampainya di salon, anak-anak buahku akan bertanya kenapa mataku bengkak. Masa aku jawab karena menonton film, padahal aku tidak suka menonton film atau drama.
Saat bengkaknya mulai reda, aku kembali ke kamar, bersiap mandi untuk berangkat ke salon. Niatnya aku ingin mengecek ponselku sambil lalu. Sekedar mengecek apa ada hal penting atau tidak. Tapi aku malah terdiam mendapati banyak notifikasi, tidak seperti biasanya.
Cha, lo putus sama Tama?
Direct messsage dari salah satu teman kuliahku yang pertama kali menarik perhatianku. Aku duduk di pinggir tempat tidur dan membukanya. Kupikir ada foto atau semacamnya, ternyata hanya pesan itu.
Tapi saat aku menengok DM lain, ada lima orang yang punya pertanyaan sama. Dua di antara adalah sahabatku ketika kuliah. Salah satu dari mereka menyertakan foto yang membuat dadaku serasa dipukul.
Jadi ini mereka bertanyaan seperti itu?
Foto yang dikirimnya adalah screenshot dari postingan Tama. Di mana Tama sedang merangkul seorang perempuan yang tidak kukenal. Mereka berdua tersenyum ke arah kamera, kelihatan sangat akrab.
Berbagai kemungkinan menari-nari di kepalaku. Mungkin perempuan itu sepupunya, teman baiknya, kenalan yang sudah dianggap saudara, atau mungkin … perempuan yang sedang dekat dengannya.
Untuk mencari jawaban pasti, aku keluar dari aplikasi Instagram dan membuka Whatsapp. Aku ingin menghubungi Tama, namun pesan teratas dari nomor tak dikenal menghentikan gerakan jariku.
Entah mengapa aku merasa pesan itu adalah jawaban dari pertanyaanku. Ada yang terus menarikku agar menekannya. Apalagi terlihat langsung kalau isinya adalah sebuah rekaman suara. Akhirnya aku membuka dan memutarnya.
“Kalian deket? Maksud gue, lo sama Alina?”
Aku mengernyit. Suaranya asing.
“Kemungkinan besar Alina juga suka sama gue. Malahan dia ngajak gue nonton minggu depan.”
Bertahun-tahun mendengar suaranya, aku bisa langsung tahu dari kata pertama bahwa itu Tama. Siapa Alina? Kenapa mereka membahas Alina? Semakin aku mendengarnya, aku semakin paham dan … sakit hati.
“Sebenarnya, gue mau putus sama Chaca. Tapi dia nggak mau mutusin gue walaupun marah besar sama gue. Kalau gue yang minta putus, kesannya jadi brengsek banget.”
Aku terus mendengarkan rekaman hingga selesai dengan perasaan hancur. Sekarang aku tahu alasan di balik sikap dinginnnya beberapa bulan terakhir. Hatinya sudah diisi orang lain.
Hari ini juga, aku memutuskan mengakhiri hubungan yang tidak ada gunanya jika diteruskan. Aku meminta putus dari Tama seperti yang dia mau melalui pesan. Lalu menghapus kontaknya.
Sepanjang hari, aku berbaring di tempat tidur. Meratapi kebodohanku yang mau bertahan meski diabaikan berulang kali. Aku benar-benar hancur. Lalu secara impulsif, aku memutuskan lari ke rumah nenekku di Solo.
Tanpa pikir panjang, aku memesan tiket. Mengemas barang. Mengabari Rahma agar menangani salon dalam waktu yang belum ditentukan. Dan benar-benar lari dari masalah. Aku harus menepi untuk menenangkan diri.
Aku harus melupakan Tama dan segala rasa sakit yang dia berikan sebelum kembali ke kehidupanku yang biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomanceTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...