Bangun-bangun, aku tidak menemukan Galih di sebelahku. Ya, semalam kami tidur sekamar dan bahkan satu ranjang. Tapi hanya tidur—dalam arti sebenarnya. Galih menepati janjinya.
Keluar dari kamar, menuju pantry, lalu mengecek kamar mandi, aku tetap tidak menemukan Galih. Kalau berangkat kerja, tidak mungkin. Ponselnya masih ada di kamar.
Tidak ingin ambil pusing, aku kembali ke apartemenku untuk mandi dan bersiap sarapan.
Selesai membersihkan diri, aku berhenti di dekat tempat tidur, di mana ponselku bergetar. Dan di saat bersamaan, pintu unitku diketuk. Mengabaikan siapa orang yang ada di luar sana, aku mengangkat telepon dari Galih.
"Halo, Kak?"
"Cha, kamu di mana?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Di kamar."
"Kamar? Kamar siapa?"
"Kamar aku lah."
Galih terdengar menghela napas lega di ujung sana. "Aku di depan unit kamu."
"Ngapain?"
"Bawa sarapan buat kamu."
"Tunggu, aku pake baju dulu." Tanpa menunggu respons dari Galih, aku memutus sambungan telepon. Buru-buru membuka lemari dan menarik pakaian yang pertama tertangkap mataku.
Masih dengan rambut yang terbungkus handuk, aku membuka pintu. Galih dengan setelan rapinya tersenyum ketika akhirnya aku muncul. "Ayo, sarapan bareng." Galih masuk tanpa ragu.
"Itu apa?" tanyaku sambil mengekor di belakangnya.
"Bubur." Galih meletakkannya di meja. "Suka, kan?"
"Suka." Aku melangkah cepat menghampiri Galih dan merebut kantong kresek di tangannya. "Aku aja."
Tidak tahu diri namanya jika aku hanya diam memerhatikan Galih menyiapkan sarapan. Padahal dia yang repot-repot beli dan mengantarnya. Kali ini, biar aku yang siapkan.
Galih mengelus pipiku. "Yang nggak pake kacang punya kamu," katanya sebelum beranjak ke arah kulkas.
"Kok tau aku nggak suka kacang?" Aku mengernyit curiga.
"Cha, coba hitung berapa tahun kita saling kenal?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari bagian dalam kulkasku.
"Tapi kan kita jarang ketemu. Kalaupun ketemu, kamu kelihatan cuek banget sama hal-hal sekitar. Termasuk aku."
Kembali aku mengingat masa-masa kuliah dan beberapa tahun setelah lulus. Di mana aku sesekali bertemu Galih. Dia itu salah satu teman Tama yang paling banyak diam. Apalagi mengajakku ngobrol duluan. Itu akan mungkin terjadi.
Makanya, aku tidak langsung percaya ketika Galih menyatakan perasaan suka mengingat bagaimana dulu dia seakan menghindariku.
Galih menoleh, tersenyum kecil sambil menutup pintu kulkas, lalu menghampiriku. Dia berdiri di hadapanku, dipisahkan meja. "Kelihatan cuek bukan berarti nggak peduli."
Mata kami terkunci selama beberapa saat. Aku diam karena masih mencoba mencari-cari sebuah petunjuk tentang Galih di masa lalu. Sementara Galih, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
"Selain itu, aku banyak tau tentang kesukaan kamu dari mantan kamu itu." Galih berjalan mengitari meja dan akhirnya duduk di sebelahku.
Mataku melebar lalu menunduk menatapnya. "Kepiting juga?"
Galih mengangguk.
"Jangan-jangan ..."
"Iya, aku pake makanan kesukaan kamu biar kita bisa deket," sela Galih.
"Licik banget."
"Apa, apa?" Galih terkekeh. "Licik?"
"Iya."
"Itu bukan licik, tapi pinter, Cha." Galih membela diri.
Aku mencebik kesal. "Aku jadi kayak gampangan banget, digoda pake makanan," gumamku.
"Nggak ada yang bilang kamu gampangan." Galih menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. "Ayo makan."
Meski masih kesal, aku tetap menurutinya. Menyendokkan bubur dan ... enak! Mendadak suasana hatiku berubah karena makanan enak. Ya, kayaknya aku memang gampangan kalau soal makanan.
"Enak?" tanya Galih.
"Enak," jawabku sembari terus menyuapkan ke dalam mulutku.
Di sela kegiatan makanku, terpaksa aku berhenti karena merasa risi terus ditatap oleh laki-laki di sebelahku ini. Dia bahkan tidak menyentuh makanannya.
Aku menoleh. "Kamu nggak makan?"
"Ini lagi makan." Galih berhenti menatapku lalu mengangkat sendoknya.
Aku tersenyum melihat tingkahnya sebelum kembali melanjutkan makanku. Belum lama, lagi-lagi Galih berhenti dan memusatkan perhatiannya padaku.
"Kalau nggak laper, nggak usah dipaksa," kataku tanpa mengalihkan pandangan dari buburku.
Aku hampir menjatuhkan sendokku ketika secara mendadak Galih menarik kursiku mendekat ke arahnya. Aku menoleh dengan mata terbelalak kaget. Dan orang ini hanya melemparkan senyum tanpa rasa bersalah.
Aku yang tadinya ingin marah, entah bagaimana ikut tersenyum melihat senyum Galih. Akhirnya aku pasrah dengan posisi kami yang nyaris menempel.
Tinggal beberapa sendok lagi sampai bubur di mangkukku habis saat ponselku yang berada di atas meja bergetar. Panggilan masuk dari nomor tidak dikenal.
Emm, ralat. Sejujurnya aku hafal deretan angka itu. Hanya saja, aku tidak lagi menyimpannya.
"Nggak diangkat?" tanya Galih karena ponselku bergetar untuk kedua kalinya.
Aku mengulas senyum tipis. "Kayaknya, itu Tama." Mengenalnya dekat selama bertahun-tahun, nomornya itu sudah kuhafal di luar kepala.
"Dia masih ganggu kamu ternyata," ucap Galih pelan.
"Cuma nelfon, nggak usah dipikirin," kataku menenangkan.
"Pulang nanti, aku jemput." Galih mengusap pipiku.
"Nggak usah," tolakku.
"Jam 9, kan?"
Aku memutar bola mata. Status saja belum jelas, tapi posesifnya sudah minta ampun. Tapi aneh juga, aku tidak protes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
عاطفيةTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...