15. transfer virus

61.9K 3.1K 14
                                    


"Hai!"

Sapaan itu menyambut begitu aku membuka pintu. Galih berdiri di sana dengan senyum dan paperbag yang ditentengnya. "Oh? Hai, Kak."

Senyum Galih seketika menghilang ketika memerhatikan wajahku. "Kamu sakit?"

Aku menutup hidungku dengan selembar tisu yang kupegang. "Cuma flu."

"Itu juga sakit, Cha." Galih mendaratkan punggung tangannya di keningku.

"Tapi masuknya masih tergolong ringan."

Mungkin, dua hari yang lalu hidungku memang sudah mulai gatal. Lalu kemarin, aku makin sering bersin-bersin. Dan hari, malah makin parah. Hidungku tersumbat dan tubuhku jadi terasa lesu.

"Sakit tetep aja sakit."

Galih bersiap melangkah untuk masuk, dengan cepat aku merentangkan tangan menghalanginya. "Ngapain?" tanyaku.

Galih memiringkan kepalanya dan bertanya, "Aku nggak boleh masuk?"

"Jangan deh, Kak. Nanti kamu ketularan," cegahku.

Sayangnya, Galih tidak peduli. Dia mengangkat tubuhku agar menyingkir dari jalan, baru setelah itu Galih masuk. Pada akhirnya, aku Cuma bisa pasrah. Tapi sebisa mungkin, aku menjaga jarak darinya. Kasihan kalau Galih tertular.

"Udah makan?" Galih menoleh ke arahku setelah mengeluarkan sesuatu dari paperbag yang diletakkan di kitchen bar.

Aku mengangguk dari jarak sekitar 3 meter darinya.

"Padahal aku bawa kepiting masakannya Mama."

Terlihat menggiurkan, tapi aku tidak bisa merasakan nikmatnya. Tadi saja saat makan malam, aku Cuma sekedar makan. Rasanya hambar gara-gara hidungku yang tersumbat. "Aku nggak nafsu makan."

Galih memasukkan food container berisi kepiting ke dalam kulkas. "Terus tadi makan apa?"

"Sambel cumi."

"Minum obat?"

"Udah."

Galih mengangguk lalu menghampiriku. Dia meraih tanganku kemudian menarikku menuju kamar dalam diam. Di dalam Galih membawaku ke tempat tidur dan membaringkanku di sana. Dengan telaten Galih membenarkan posisi bantal dan membungkusku dengan selimut.

Galih menunduk, mengikis jarak yang justru membuatku waswas. Bisa-bisa dia beneran ketularan.

"Kamu istirahat aja. Besok aku ke sini lagi," katanya sembari mengusap kepalaku. Butuh waktu beberapa detik hingga Galih berdiri dan netra kami terputus.

Aku mencekal tangan Galih sebelum dia menjauh. "Kak, makasih," ucapku tulus. Selama ini Galih selalu memperlakukanku dengan baik, tapi hingga saat ini belum banyak yang bisa aku lakukan untuknya.

Aku merasa utang budi, namun di saat bersamaan aku juga bahagia. Ada lagi satu orang yang ternyata sangat menyayangiku.

Galih tersenyum lembut. "Kalau butuh apa-apa, hubungin aku."

Itu pesannya sebelum Galih keluar dari kamarku. Mungkin karena beberapa jam lalu aku sudah minum obat, rasa kantukku datang tak lama kemudian. Aku memejamkan mata dan mulai meninggalkan kesadaran.

**

Harapannya, keesokan harinya tubuhku mulai membaik. Apalagi dengan bantuan obat dan istirahat yang cukup—aku tidur lebih lama dari biasanya.

Ternyata kondisiku malah semakin parah. Aku sampai harus bernapas dari mulut, kepalaku nyut-nyutan, dan suhu tubuhku meningkat.

Aku menempelkan ponselku ke telinga yang sejak tadi berdering. "Halo?" Oh, astaga! Suaraku jadi sengau.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang