2. unit sebelah

89.4K 4.3K 18
                                    

Tiga bulan lamanya, aku akhirnya sembuh. Ya, aku kembali dalam keadaan yang jauh lebih baik. Aku telah siap menjalankan rutinitas sebagai mestinya.

Apartemen dan salonku sudah terlalu lama aku tinggalkan.

Bersama dengan koper, aku menuju unit apartemenku. Baru saja mengeluarkan kunci dari tas, aku menoleh saat pintu unit di sebelahku terbuka. Menampilkan sosok laki-laki yang kukenal.

Dan laki-laki itu pun sama sepertiku, dia terpaku dengan pintu setengah terbuka. “Hai,” sapanya setelah hening panjang.

“Hai, Kak.”

Dia Galih. Dia teman baik Tama. Dulunya begitu, aku tidak terlalu tahu sekarang.

Meski dia adalah teman baik Tama dan aku pacarnya—dulu—kami tidak dekat sama sekali. Sebenarnya aku mau-mau saja berteman dengannya, tapi dulu entah mengapa Galih seakan menjauhiku.

Galih adalah senior Tama saat di kampus. Kami terpaut dua tahun. Terkadang kami berada di satu tempat karena Tama, namun tidak pernah sekalipun saling bertegur sapa. Sekali lagi, dia yang sepertinya anti ngobrol atau dekat-dekat denganku.

Bahkan sampai dia lulus pun saat Tama mengajak teman-temannya nongkrong termasuk Galih dan aku ikut, sikapnya tetap sama.

Pertama kalinya Galih menghubungiku adalah ketika mengirimkan rekaman suara Tama tiga bulan lalu. Hanya itu dan entah bagaimana kami malah bertemu lagi. Apa dia akan menghindariku lagi?

“Lo tinggal di sini?” tanyaku.

Galih mengangguk. “Lo akhirnya pulang.”

Alisku terangkat. Dari kalimatnya, apa aku bisa menafsirkan bahwa Galih tahu aku tinggal di sebelah unitnya? “Iya. Gue harus kerja, kan, makanya gue balik.”

Galih tersenyum amat tipis lalu keluar dari apartemennya, mendekatiku. Karena tidak pernah ngobrol atau berhadapan dengannya, aku baru tahu ternyata Galih lumayan tinggi. Aku harus sedikit mendongak agar bisa menatap matanya ketika berbicara.

Dia tidak menghindariku lagi.

“Kabar lo gimana?” tanyanya.

Untuk dua orang yang tidak pernah bertukar pertanyaan, rasanya jadi aneh saat Galih menanyakan kabarku. “Baik, Kak.”

“Harusnya sih emang udah baik. Tiga bulan itu lama,” sarkasnya.

Dia ikut menghitung waktu kepergianku? Semakin aneh. Aku tertawa hambar. “Yah, lumayan.” Aku membasahi bibirku. “Ngomong-ngomong makasih untuk waktu itu, Kak. Sori karena baru bisa bilang sekarang.”

Galih menatapku beberapa detik. “Mau ngobrol di dalam?” Galih mendelik ke arah unit apartemennya.

“Huh?”

“Kayaknya lo punya banyak pertanyaan.”

Aku menunduk, menyembunyikan senyum getirku. Dia benar. Ada banyak pertanyaan yang kusimpan berbulan-bulan dan tidak tahu pada siapa harus kutanyakan. Setelah mengangguk, menerima ajakannya, aku masuk ke dalam apartemennya bersama koperku.

Galih mempersilakanku duduk, sementara dia berlalu ke pantry dan kembali tidak lama kemudian sambil membawa dua gelas es kopi. Galih duduk di sebelahku dengan memberi jarak cukup lebar.

Aku ikut meneguk kopi saat melihat dari sudut mataku dia menikmati kopinya. Ada jeda panjang sebelum akhirnya aku mengajukan pertanyaan yang selama ini menggangguku.

“Setahu gue, lo sama Tama itu teman baik, kan, Kak?” Aku melirik, Galih mengangguk kecil. “Tapi kenapa lo malah kirimin rekaman itu ke gue? Alasannya apa?”

“Walaupun orang-orang lihat gue sama dia teman baik, bukan berarti gue cuma diam lihat dia duain pacarnya. Salah tetap salah, Cha. Teman baik nggak bisa dijadiin alasan gue membenarkan kelakuan dia,” jawab Galih tanpa pikir panjang.

Tanpa sadar aku tertawa pelan.

“Kenapa ketawa?” tanya Galih heran. Dia bahkan sampai mengerutkan kening dalam-dalam.

Aku menggeleng. “Aneh aja.”

“Apanya yang aneh? Kata-kata gue barusan?” Galih menyerong posisi duduknya ke arahku.

“Bukan itu. Yang aneh itu kita, Kak. Padahal dulu kita nggak dekat sama sekali, ngobrol sepatah dua kata aja nggak pernah, tapi lo tiba-tiba chat gue. Terus kita ketemu karena ternyata tinggal sebelahan dan sekarang lo ngomong panjang lebar. Aneh, kan?”

Dalam bayanganku beberapa menit lalu, Galih akan canggung berada di dekatku karena dulu dia seakan tidak punya minat untuk sekedar jadi temanku. Tapi nyatanya, dia bisa bicara banyak juga.

Galih menyunggingkan senyum. “Ada pertanyaan lain?”

Galih mengalihkan topik dan aku mengikuti. “Ada.”

“Silakan.”

Aku sedikit ragu untuk menanyakannya, tapi mumpung ada bisa menjawab, aku memberanikan diri. “Tama, Alina, gimana kabar mereka?”

Mendadak ekspresi Galih berubah. Mukanya berubah masam. Aku sempat terkejut, apa pertanyaanku salah?

“Lo masih penasaran sama kabar Galih setelah disakitin?” tanya Galih.

“Bukan gitu, Kak. Gue mau tau hubungan mereka sekarang gimana. Langgeng atau apa?”

Bukan karena aku masih ada rasa. Sumpah. Sejujurnya, aku berharap hubungan mereka berakhir dan Tama menyesal mengkhianatiku. Dia akan tahu bahwa melepasku adalah pilihan paling bodoh.

“Kalau langgeng kenapa, kalau nggak berhasil kenapa?” kata Galih datar.

“Nggak apa-apa. Lupain pertanyaan gue barusan.” Lebih baik diakhiri daripada diteruskan. Lagi pula aku bingung apa yang salah dengan pertanyaanku sampai muka Galih asem begitu.

Galih meneguk kopinya hingga tandas lalu menghela napas kasar. Dia lebih menakutkan daripada yang kukira.

Demi atmosfer tegang, aku berdeham dan menanyakan hal lain. “Lo … sejak kapan tinggal di sini, Kak?”

“Sebulan lalu,” jawab Galih tak sedingin tadi.

Akhirnya obrolan kami berlanjut, membahas tentang masa lalu, penghuni yang sebelumnya tinggal di unit Galih, apa yang kulakukan selama di rumah Nenek, dan banyak lagi.

Tidak kusangka, ngobrol dengan Galih bisa mengalir dan nyaman. Sampai-sampai aku seakan bisa menceritakan segalanya.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang