12. Cium yang lain

84.3K 3.4K 30
                                    


"Kak, ada mobil berhenti di depan." Eka menghampiriku begitu aku keluar dari toilet.

"Itu bukan mantan Kak Chaca?" tanyanya agak was-was.

Aku berjalan cepat menuju dinding kaca bagian depan dan menajamkan penglihatanku. Mobilnya tidak asing, tapi itu bukan mobil Tama.

"Bukan, ya?" Eka yang berdiri di sampingku bertanya lagi.

Belum sempat menjawab, pintu mobil itu terbuka dan perlahan sosok di dalam sana keluar. Galih! Aku bernapas lega.

"Lo kenal, Kak?"

Aku mengangguk, mengulas senyum, dan mengajak Eka kembali duduk sembari menunggu jemputannya. Namun ekor mataku yang masih menangkap pergerakan Galih di luar sana melihatnya melangkah mendekat.

Eka sudah duduk di salah satu kursi sementara aku membeku di tempat. Mau apa dia? Menghampiriku? Tapi untuk apa?

Tubuhku masih kaku saat Galih menarik pintu hingga dia berdiri di hadapanku. Tentu dengan senyum manisnya.

"Ngapain ke sini?" tanyaku.

"Di dalam mobil sempit, Cha."

Eka tiba-tiba ada di belakangku dan berbisik, "Kak, siapa?"

Galih tersenyum, sedikit bergeser, lalu mengulurkan tangannya pada Eka. "Galih. Pacarnya Chaca."

"Pacar?!" seru Eka.

Aku menangkap tangan Galih, berbalik cepat, jadi kini Galih berada di belakangku. "Bukan!"

Eka menatapku dan Galih bergantian. Mungkin mencari tahu siapa yang berkata jujur.

"Sori, ralat. Calon pacar," sahut Galih.

Aku menengok dengan kernyitan dalam. Tapi malah dibalas kendikan bahu olehnya.

Eka mengangguk-angguk. "Oh, calon. Semoga cepat jadi pacar." Eka mengacungkan dua ibu jarinya ke udara.

"Kamu jadi orang pertama yang bakal saya traktir kalau kami jadian," kata Galih sembari mengangkat tangannya yang ternyata masih kugenggam.

"Janji, ya, Kak?"

"Tenang aja," janji Galih.

"Semoga disegerakan," kata Eka lagi.

"Kita nggak lagi persiapan nikah, Eka," kataku.

"Disegerakan pacaran, Kak. Tapi kalau ternyata bisa sepaket sama nikah, kenapa nggak?"

"Aamiin!" sambut Galih semangat.

"Pacarku udah sampe, Kak!" Eka buru-buru mengambil tasnya. "Aku duluan, ya, Kak," pamitnya lalu keluar meninggalkanku berdua saja dengan Galih.

"Harus banget, ya, nyamperin aku sampe sini?" tanyaku sinis saat mobil yang ditumpangi Eka pergi.

Galih mengangguk. "Biar kamu aman."

Aku mendecih. "Ya udah, ayo pulang," ajakku sembari menarik tanganku. Namun Galih malah mengeratkan genggamannya.

Tanpa mengatakan apa pun, Galih membawaku mengambil tas dengan saling bergandengan. Galih hanya melepasku sebentar saat mengunci salon dan kembali menggandengku menuju mobilnya.

Sesampainya di apartemen pun, dimulai turunnya kami dari mobil, Galih terus menggenggam tanganku.

Tapi senyumku seketika luntur melihat seseorang sedang menunggu di depan pintu unitku. Tama. Langkahku memelan, namun Galih tetap melaju santai meski sadar keberadaan Tama.

Mata kami akhirnya bertemu. Tama yang awalnya tersenyum, berubah masam saat melihat tangan kami saling terjalin.

"Galih?" ujar Tama melihatku dan Galih bergantian.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang