13. langsung nikah aja, gimana?

80.1K 3.5K 30
                                    


"Ini." Galih menunjuk pipiku.

"Nggak!"

Sebelah alis Galih terangkat heran. "Pipi juga nggak boleh?"

"Nanti salepnya nempel." Aku berhasil turun dari pangkuannya dan mengambil posisi duduk di sampingnya. "Satu lagi. Kita belum ada status, Kak. Oh iya, mumpung aku ingat. Kita mesti punya batesan, sejauh apa kontak fisik yang boleh dilakuin."

"Kita udah pernah ciuman. Bi-bir." Galih menekankan kata terakhir sambil menyentuh bibirku.

"Oke." Aku menangkap tangannya dan menurunkannya dari bibirku. "Itu pengecualian."

Galih mengangkat bahu. "Jadi, sejauh apa yang boleh?"

"Pelukan." Karena menurutku, jika menjadi ciuman sebagai batasan. Resikonya terlalu tinggi. Ciuman itu bisa jadi awal kekhilafan muncul. Sembari ciuman, biasanya tangan mulai menjamah ke mana-mana. Baju dilepas dan... terjadilah.

Pelukan juga bisa sih, tapi tidak terlalu menimbulkan nafsu.

"Oke," balas Galih tanpa protes.

Padahal aku mengira Galih bakal tolak mentah-mentah ideku. Namun dengan mendengar jawabannya, aku semakin yakin Galih benar menyukaiku. Bukan cuman karena fisik atau nafsu sesaat.

Baru saja aku tersanjung dengannya. Galih malah segera menarik tubuhku hingga kami terbaring di sofa dengan aku berada di atasnya. Belum sempat menarik diri, Galih lebih dulu memelukku.

"Kak."

"Apa lagi? Kita cuma pelukan, Cha," katanya sambil mengelus punggungku.

"Tapi posisinya nggak gini juga dong," protesku, tapi sebenarnya aku nyaman-nyaman saja berada dalam dekapannya. Apalagi karena posisi telingaku yang menempel di dadanya, aku bisa jelas mendengar detak jantungnya.

"Sama aja."

***

Pagi ini, lagi-lagi Galih bertandang ke unitku. Lengkap dengan sarapan yang dibelinya.

Menerima perlakuan super baik dari Galih, membuatku seketika mengingat hubunganku bersama Tama dulunya.

Bertahun-tahun pacaran, bahkan di awal pacaran yang katanya selalu manis dan penuh cinta pun, Tama tidak pernah memanjakanku seperti yang dilakukan Galih.

Tama justru tidak suka jika aku merajuk atau menunjukkan sisi manjaku. Karena itu, aku terbiasa bersikap dewasa dan tenang di depannya.

Dan bodohnya, aku baru sekarang. Ternyata tidak salah aku putus dengan laki-laki itu.

"Cha."

Pikiranku tentang Tama segera menguap begitu mendengar suara Galih yang duduk di sampingku. Aku melirik sarapannya yang ternyata sudah tandas. "Hm?"

"Nanti malam, aku mau ngajak kamu makan kepiting."

Mataku melebar. "Kepiting? Mau!" sambutku semangat tanpa pikir panjang.

Galih tersenyum lebar melihat tingkahku lalu mengusap pucuk kepalaku. "Dandan yang cantik, ya."

Aku mengangguk cepat dengan senyum yang belum juga luntur. Akhirnya aku bisa tahu di mana makanan enak itu berasal.

Oh, iya, tadi Galih memintaku dandan yang cantik. Berarti itu restoran, kan? Aku mengangguk-angguk sambil membayangkan kepiting terenak itu akan kembali kusantap.

***

Janji yang kubuat dengan Galih pagi tadi, akhirnya malam ini aku pulang cepat. Walaupun aku sedikit tidak tega meninggalkan Eka sendirian, tapi malah dia yang menenangkanku.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang