16. belum boleh

59.5K 3K 11
                                    


Ciuman dan usapan Galih pada punggungku baru berhenti begitu ponselnya berdering. Tapi mungkin, jika yang menghubunginya bukan mamanya, aku tidak yakin Galih berniat berhenti.

Galih menghela napas saat menarik wajahnya menjauh dariku lalu meraih ponselnya. "Halo, Ma?" Galih melirikku, tersenyum tipis, kemudian menarikku mendekat padanya.

"Udah selesai. Tinggal tunggu mendidih." Galih menjawab mamanya, tapi matanya tidak lepas dariku.

Karena perlakukannya itu, aku sampai harus mengalihkan pandangan karena jadi salah tingkah terus ditatap seintens itu.

"Enak kok, Ma. Chaca sendiri tadi yang nyobain."

Mendengar namaku disebut, aku refleks mendongak. Mengembalikan pandanganku pada Galih. Netra kami kembali bertemu.

"Iya. Ini Chaca ada di samping aku."

"Mama mau ngomong?" Galih mengangkat alis, memberi isyarat lewat matanya apakah aku mau atau tidak.

Tanpa perlu berpikir panjang, aku mengangguk. Galih menyerahkan ponselnya padaku. "Halo, Tante."

"Chaca, gimana? Badannya udah enakan?"

Aku melirik Galih—astaga, kedua matanya masih mengarah padaku—sebelum menjawab, "Udah enakan, Tante. Besok pasti udah sembuh total."

"Kamu kalau ada apa-apa, jangan sungkan minta tolong sama orang lain. Apalagi Galih. Ya?"

Senyumku terkembang menerima perhatian besar dari orang tua Galih. Padahal hubungan kami masih dalam masa penjajakan, tapi perlakuannya sudah seperti mertua ke menantu.

"Iya, Tante. Seharian ini aku emang repotin dia kok," kataku diakhiri tawa ringan.

Karena sibuk ngobrol dengan mamanya, aku pasrah-pasrah saja sewaktu Galih menggiringku untuk duduk. Dia pun ikut duduk di sebelahku. Menopang pipi kirinya dan kembali menatapku lurus-lurus.

"Dia itu malah seneng direpotin sama kamu."

Aku dan Mama Galih kompak tertawa.

"Cha, nanti kalau kamu udah sembuh, main ke rumah, Tante. Kita masak bareng-bareng."

"Ah, kepiting!" aku berseru semangat. Astaga! Aku hampir saja lupa dengan janji yang kubuat.

Mama Galih tertawa di ujung sana. "Iya, Tante mau bagiin resep kepiting. Sekalian kita bikin cookies. Mau?"

"Mau! Hehe."

Alasan aku terlalu bersemangat menerima ajakan Mama Galih adalah karena ini pengalaman baru untukku. Mamaku buta soal memasak, terlebih kesibukannya bekerja membuatnya tak punya waktu untuk sekedar belajar atau membiasakan diri.

Makanya aku tidak punya memori di mana anak dan mamanya asyik memasak di dapur.

"Tante tunggu loh."

"Iya, Tante."

"Ya udah, sekarang kamu makan terus istirahat lagi."

"Tante juga jaga kesehatan biar nggak sakit kayak aku."

"Iya, sayang."

Senyumku masih terkembang saat aku mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. Galih tetap diam, mungkin menungguku menceritakan obrolanku bersama mamanya.

"Minggu nanti, aku mau ke rumah Mama kamu."

Galih menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Mau berbagi resep?"

Aku mengangguk antusias. Tidak sabar menunggu hari Minggu.

**

Tibalah hari di mana aku berkunjung ke rumah Mama Galih—untuk kedua kalinya. Sepertinya Minggu lalu, sang pemilik rumah menyambutku dengan hangat.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang